18; husbandfree

5.8K 380 17
                                        

"Kalau soal pernikahan, sih, belum tentu." Aku ragu akan berakhir pernikahan antara aku dan Pak Ajun, aku tak pernah mengharapkan lebih, tetapi kalau dia minta kesepakatan sederhana yang membuat dia tetap dekat dengan anak-anak adalah yang mungkin terjadi. "Cuma, bentuk tanggung jawab, pastinya iya."

Jika ada kemungkinan lain yang bisa terjadi ... kalau Pak Ajun berhasil mengobati luka dan meyakinkanku, aku tak akan mengelak untuk berubah pikiran. Jadi, saat ini, aku hanya perlu menjalani yang ada di depan mata.

"Tanggung jawab buat anak, sih, harusnya nikahin ibunya, Kak," kata Vivian, tak salah sih.

Aku hanya menggedikan bahu menanggapinya.

"Kapan dia dateng? Gue kepo, deh. Anak-anak ganteng banget soalnya, Bapaknya pasti ganteng juga, iya kan?" Aku hanya tersenyum, kalau Vivian melihat langsung siapa, pasti gadis itu kegirangan bukan main.

Kehaluannya terwujud.

"Dia gak dateng, tapi ngajak kami ke rumahnya Minggu nanti, nanti aja deh keponya, toh kan kebongkar juga di hari H."

"Ish, serah deh." Vivian menyerah begitu saja.

Hari itu berjalan lancar dengan baik, meski pikiran ini masih senang berwara-wiri memikirkan banyak hal, pada akhirnya aku memutuskan fokus pada perkembangan anak-anak. Kami pulang siang itu dan membiarkan Vivian mengurus selebihnya.

Makan siang, bermain dengan anak-anak, kemudian mandi dengan tenang.

Namun, ada orang yang senang sekali menggangguku, sepertinya.

Siang itu, kala aku selesai mandi, pesan masuk ke ponselku.

"Apa kamu dan anak-anak sudah makan siang?" Basa-basi ala-ala anak pacaran dari Pak Ajun.

Hm ....

"Oh, sudah, kok, Pak." Aku menjawab seadanya.

"Syukurlah, apa kamu mau hal lain? Ngidam?"

Aku mengerutkan kening, ngidam? Aku kan sudah melahirkan, bukan tengah hamil.

"Pak, saya kan sudah melahirkan."

"Kali saja kamu punya hal yang dulu kamu ingin saat hamil, dan gak kesampean." Aku menghela napas, ada-ada saja pria ini, dia semakin waktu semakin aneh, padahal baru tadi pagi.

Namun, aku ingin mengerjainya. "Ada, sih, Pak."

"Apa itu? Coba katakan!" Ia terlihat sangat antusias.

"Saya kemarin ada liat es pisang ijo, tapi saya mau yang penjualnya itu om-om berkumis tebal, dia ada di pinggir jalan saat saya masih tinggal di rumah saat saya mengandung. Dia ada di sana biasanya."

"Oh, itu, di mana tepatnya?" Aku tersenyum geli. Mampus kamu, Pak Ajun!

"Itu dia, Pak. Saya lupa, pokoknya di pinggir jalan, om-om berkumis tebal, saya mau banget itu, Pak, cuman lupa terus." Aku menyematkan emotikon sedih di sana, agar dia semakin iba, tapi aslinya aku tertawa terbahak telah menipunya. "Dia sekitar ...." Aku menyebutkan alamat terdahulu.

"Baiklah, Romansa, aku akan mencarikan pisang om-om untuk kamu."

Mataku melotot. "Eh, maksudku, es pisang ijo yang dijual om-om." Dia yakin sekali, memang ada sih penjual yang aku maksud, tapi apa dia mau seribet itu mencari yang om-om berkumis sementara pinggiran jalan sana full pasar.

Cuma, paling-paling dia menyuruh seseorang untuk itu ....

Mataku membulat sempurna, sia-sia rasanya, yang susah bukan Pak Ajun. "Eh, gak jadi, Pak. Saya mau yang lain."

"Oh, mau yang lain, mau apa, Romansa?"

"Mau cumi hitam deket kantor. Udah lama gak makan itu." Sialan, aku memperingan kerjaan Pak Ajun karena jelas Pak Ajun pasti memperkerjakan orang.

"Baiklah, akan segera aku kirim segera setelah siap, Romansa. Take care."

"Makasih, Pak." Aku menghela napas pasrah dan mulai mengeringkan tubuh, memakai pakaian, dan melakukan kegiatan lain bersama anak-anak.

Namun, baru beberapa saat, ponselku berdenting lagi, uh aku merasa jadi Ibu yang keasyikan main hape dan mengabaikan anak-anak, menyebalkan sekali.

Dari Pak Ajun, lagi.

"Cumi hitam kamu sudah sampai?" Baru dia menanyakan, ketukan di pintu terdengar, aku segera menuju ke depan dan memang benar, ada ojek online yang mengantarkan pesananku itu.

Aku membalas Pak Ajun. "Sudah, Pak. Makasih, ya."

"Dan ada menu untuk anak-anak kita juga, ikan tuna."

"Oh baik, Pak. Makasih."

Dan Pak Ajun mengirimkan stiker love segede kanjut. Oke dia agak cringe, tapi aku hanya memberikan reaksi jempol padanya.

Karena aku tak bohong, kala aku bilang rindu dengan cumi hitam.

Beberapa saat aku menikmati siangku bersama anak-anak, menuju sore, Pak Ajun tiba-tiba kembali mengirimi pesan padaku. Kali ini, sebuah foto sekali lihat.

Mataku melotot melihat seorang pria berfoto dengan om-om berkumis tebal seraya mengangkat sebungkus es pisang ijo. Dan bertepatan itu, pintu diketuk terdengar, dan saat keluar membukanya.

Itu pesanan es pisang ijoku.

Pak Ajun, astaga. Aku menepuk kening, dia lumayan keras kepala juga.

"Pak, sebentar ya," kataku pada suruhan Pak Ajun itu.

"Ada apa, Bu? Apa es pisang ijonya kurang? Saya bisa--"

"Eh enggak enggak." Aku menahannya, lekas masuk mengambil lembar seratus ribuan, dan menuju depan lagi.

Aku serahkan uang itu padanya. "Ini, Pak, maaf ngerepotin jauh-jauh dari sana ke sini." Aku sangat tak enak hati.

"Tidak apa, Bu, saya hanya menjalankan perintah Pak Ajun, saya sudah dibayar."

"Udah, gak papa, tolong terima oke?" Aku memaksa. "Terima kasih sekali lagi." Dan aku segera masuk rumah, mengabaikan dia yang sepertinya tak akan menahanku lagi.

Aku menghela napas gusar dengan pisang ijo di tangan, aku jadi malas membalas pesan Pak Ajun berikutnya. Kalau begini kan aku jadi merasa bersalah. Hadeh!

Konyol banget.

Lalu, malam harinya, dengan agak letih, aku menidurkan anak-anak, dan siap berbaring ketika sebuah pesan masuk ke ponselku.

"Apa kamu dan anak-anak sudah tidur?" Itu pesan dari Pak Ajun, lagi dan lagi, aku menghela napas gusar melihat di layar ponsel yang menyala dengan notifikasi itu. Malas membalasnya.

Siap mengambil ponsel dan memakai mode senyap, pesan Pak Ajun muncul lagi.

"Aku pulang duluan setelah meneraktir para karyawan, jika kamu belum tidur boleh aku berkunjung ke sana? Aku akan bawakan sesuatu kalau kamu mau."

Masih, aku tatapi pesan pria yang pernah jadi atasanku itu, entah kenapa aku membayangkan wajahnya saat mengirimi pesan saat ini, sendu pilu diabaikan. Aku jadi teringat bayangan-bayangan masa lalu yang dia katakan, ternyata hati kecilku memang tak tegaan.

Aku pun membuka pesan tersebut, dan membalasnya. "Bakso mercon."

"Baiklah, bakso mercon akan sampai segera, Romansa." Dan aku bisa membayangkan wajah kebahagiaannya hanya dari ketikan, apa dia memang seceria ini kalau tak sesetres dulu?

Hah ... aku kadang bertanya-tanya karena perasaanku kadang tak sinkron dengan otakku, mau tak mau aku menunda rasa kantuk dan memilih memakai pakaian sopan untuk menyambut Pak Ajun datang ke rumah. Sebaiknya dia datang cepat atau aku akan ketiduran dan tak membukakan pintu untuknya.

Hm, seperti istri menunggu suami pulang kerja saja.

Husbandfree [tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang