"Jadi, kamu memutuskan resign, dan memilih fokus dengan usaha kue tradisional yang kamu kembangkan?" Pak Ajun bertanya padaku meski semua itu sudah tampak jelas di berkas yang aku serahkan padanya.
Berkas, berisi surat pengunduran diri, serta tetek bengek alasannya, dia jelas tengah membacanya saat ini dengan wajah datar, meneliti di balik kacamata yang menjadi pembantu mata cokelat ranum nan tajam tetapi sepertinya minus lumayan parah itu--soalnya sangat tebal.
"Benar, Pak. Jadi saya mohon maaf sebesar-besarnya jika selama ini ada salah kata dan perbuatan, saya mohon maaf tak bisa melanjutkan kinerja saya di perusahaan ini," balasku, sesopan mungkin, meski ekspresinya triplek bukan berarti aku tak tahu dia tak rela asisten serba bisa sepertiku meninggalkannya.
Bukannya sombong, tapi, menjadi asisten seorang Arjuna Thomas aka Pak Ajun lumayan melelahkan. Namun, aku selalu ada untuknya, bisa ini dan itu, multitalenta.
"Yah, memang banyak kesalahan yang kamu perbuat, tapi jelas bisa dimaafkan," katanya, ada helaan napas yang berikutnya keluar, sementara aku sedikit mendengkus.
Aku sudah berkata baik-baik, dan dia masih ke mode sombong--seakan-akan yang aku lakukan cuma kesalahan. Namun, meski hati berkata ingin melemparkan sepatu hak tinggi ini ke wajahnya, tetapi bibirku mengulas senyum semanis madu.
Ada pahitnya, sedikit.
"Saya tidak bisa menghalangi hal yang merupakan keputusan individu, jadi ...." Pak Ajun akhirnya membubuhkan tanda tangan, pun setelahnya menyerahkan berkas kembali padaku. "Terima kasih, atas semua hal yang kamu lakukan pada perusahaan ini, Bu Romansa Nugraha."
Kali ini, dia menatapku, alis tebalnya sedikit tertaut, dan aku mengangguk. "Iya, Pak, sama-sama."
"Dan, oh, Pak, saya hampir lupa!" Aku tersenyum manis, sebenarnya aku tak lupa sama sekali, dan aku yakin dia pasti tahu soal ini. Sekadar mengingatkan.
"Ya?" Pria dingin yang kini resmi menjadi mantan atasanku itu menjawab sok cuek.
"Jangan lupa, Pak, saya akan mengadakan pesta untuk teman-teman kantor, dan saya juga mengundang Bapak untuk datang."
"Itu? Ya, saya sudah mendapatkan informasi itu dari sekretaris saya, tapi saya tak bisa janji untuk datang."
Aku justru yakin dia akan datang. "Jangan sampai kelewatan, Pak. Bapak ingat kue cucur dan cincin favorit Bapak? Nanti kehabisan, lho."
"Kalau saya mau, saya kan tinggal pesan dengan kamu, untuk apa repot-repot menunggu saat pesta?" Pak Ajun menatap laptopnya, entah apa yang dia lakukan, tetapi kontras aku lihat ada semburat kemerahan di pipinya.
Malu, tapi mau, kan?
"Baiklah, Pak. Maaf mengganggu waktu Bapak, saya permisi dulu." Hanya 'hm' sok cool yang aku dapatkan, tetapi tak perlu babibu lagi aku keluar dari ruangan pengap itu--ya, meski ber-AC, terlalu lama bersama Anjuna Thomas, wajahnya bak Anjuna, tapi mulut sebelas dua belas emak-emak yang hobi julid--bisa membuat aku meledak kepanasan bak gas LPG.
Lebih tiga tahun aku bekerja dengan Arjuna Thomas, pemimpin perusahaan cabang, calon pewaris perusahaan utama yang super duper digilai banyak orang, tetapi sebagai asisten pribadinya, di balik tampang bak patung dewa yunani itu, tersimpan mulut nan suka berkomentar pedas, sikap nan dingin, serta kemungkinan besar anti pasangan, paling ngeri kalau homo, tapi Pak Ajun memang kelihatan tak tertarik pada relationship selain bercinta dengan pekerjaannya.
Terlepas dari itu semua, syukur saja gajinya fantastis, walau terus-menerus aku dibayangi rasa lelah ingin undur diri, tetapi aku yakinkan diri--belum saatnya.
Aku bersyukur masih sehat setelah akhirnya memutuskan resign kala usaha sampingan, kedai kue tradisional bergaya modernku, melejit viral di kalangan anak muda. Itulah saat di mana aku tahu, aku bisa bebas dari sini, menjadi pengusaha miliarder dengan omzet tinggi, dan juga memulai kehidupanku sebagai wanita yang bebas lepas tanpa diperintah ini itu oleh atasan seperti Pak Ajun.
Dan ini, juga awal aku akan melancarkan siasatku yang lain. Banyak wacana, tetapi pelan-pelan saja akan terlancarkan dengan baik, karena aku sudah memperhitungkan semuanya.
Kini, usai mengurus surat resign-ku, menerima gaji terakhir, dan masih banyak hal. Waktunya berpamitan dengan rekan kerja yang cukup dekat denganku. Kami berpelukan, cipika-cipiki, dan usai melepaskan diri siap membawa sisa barang yang ada, mereka menatapku nanar.
"Sis, lo yakin nih resign ninggalin kita-kita, gue sedih tau!" kata Sarah, salah seorang teman akrabku.
"Ya mau gimana lagi, gue udah mutusin buat ngembangin usaha gue di bidang kuliner tradisional, kalau kangen kan kalian bisa dateng ke sana, tenang ada diskon sesama temen, lho," kataku sedikit bercanda, karena jujur aku sendiri sedih harus meninggalkan mereka.
Namun, demi mental health-ku, sih.
"Iya, Ros, meski gitu tetep aja kami bakalan kangen, cuman yah gak bisa nyalahin sih. Emang serius jadi asisten Pak Ajun separah itu?" Itu Tyo, jangan salfok dengan namanya, Tyona nama panjangnya--dia wanita sepertiku juga. Pertanyaannya di kalimat akhir sedikit mendekatkan wajah dan berbisik, takut ada yang cepu.
Aku tertawa geli menanggapi. "Ya gitulah, kalau mau ngerasain ya isi aja posisi gue, mumpung kosong, tuh."
Mereka jelas maju mundur akan penawaran itu, karena mungkin sadar, ada plus minus di sana. Walau semua hal memang ada plus minus.
"Ya udah, gue pergi, jangan lupa dateng di pesta gue nanti, ya! Awas kalau lupa, diskon karyawannya gak gue kasih!" Aku mengangkat kotak berisi barang-barangku, sekali lagi memeluk mereka berdua.
"Dah, Rosa!"
"Dah, Sis!"
"Dah, Sar, Tyo." Dan akhirnya, aku keluar dari ruangan itu, keluar pula dari perusahaan dan bangunan besar yang jadi tempatku mengabdi usai jadi fresh graduate.
Ada sebuah ojek mobil yang menunggu kepulanganku saat itu, sejenak aku menoleh sekali lagi dan menatap papan nama raksasa yang berada di atap gedung.
Thomas Corp.
Menghela napas, aku pun masuk mobil, dan pria itu membawaku pulang ke rumah. Tak butuh waktu lama untuk sampai, dan aku tiba di rumah sederhanaku.
Masuk, menyalakan lampu, aku meletakkan kotak barang-barang di atas meja kemudian duduk di sofa yang tersedia di ruang tamu. Tanganku mengeluarkan gawai dari saku dan mengecek kalender.
Ini Kamis, 27 Juli 2023, dan tanda merah ada di tanggal 30 nanti. Menurut medis, itu adalah masa-masa subur wanita sepertiku menyesuaikan kapan aku menstruasi, tanggal itu pula adalah tanggal di mana pesta akan aku adakan pada malam harinya, kemungkinan aku akan hamil, persentasenya cukup tinggi.
Mungkin seakan tak ada kolerasinya, antara fase suburku, dan acara pesta itu, tetapi sebenarnya--sesuai ungkapanku--wacana ini dirangkum dengan matang. Hipotesis yang ada cukup akurat.
Jika malam itu, aku berhasil melakukan persetubuhan dengan seorang Arjuna Thomas, maka tak menutup kemungkinan aku akan hamil anaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Husbandfree [tamat]
Romance[21+] Nekat dan TOLOL Adalah hal yang bisa disematkan pada Romansa Nugraha, wanita 27 tahun, seorang asisten pribadi yang di luar kalem, nyatanya di dalam rada gila. Bagaimana tidak? Dirinya bukan penganut childfree, melainkan husbandfree--menurutny...