"Oh, gitu, Pak. Sepertinya Bapak sudah punya asisten pribadi baru," kataku basa-basi. Walau sebenarnya aku tahu, asisten pribadi Pak Ajun berganti beberapa hari setelah kepergianku, toh aku kan tak pernah ketinggalan info.
"Ya, ada yang menggantikan posisimu, dia bekerja cukup payah tapi tak seburuk dirimu saat kali pertamanya yang kenanak-kanakan." Pak, lihatlah, ada nampan di tanganku, yang bisa saja melayang ke wajah sombongmu itu, merasa bersyukurlah karena aku bisa menahan emosi. Lalu, apa katanya? Aku kekanak-kanakan? Katakan itu pada diri sendiri, dan kolor kartunmu yang entah apa hari ini, tetapi aku tak mau membawa topik itu.
Jelas mencurigakan walau sangat amat bisa menepis ungkapannya. Sok dewasa!
"Apa teman-teman sekantor tak memberitahukannya? Biasanya mereka ngerumpi dengan kamu, kan?"
Bisa diam, Pak? Jangan membuat mulut ini teledor ataupun nampan ini mencetakkan diri ke wajah tampanmu.
"Oh, saya ingat ada info dari teman saya, Pak." Info dari mereka, asisten pribadi Pak Ajun karyawati perusahaan cabang sebelah, kami bahkan tak terlalu kenal dengan wanita itu.
"Jadi sepertinya, tak perlu bertanya lagi." Iya, Pak, benar, tapi biarkan nampan yang berbicara kan?
"Maaf kalau begitu, Pak. Oh ya, saya permisi dulu, ya. Selamat dinikmati!" Tak tahan berlama-lama menghadap pembibit unggul itu, bisa saja emosi tak stabil ini mengganggu keadaan janin yang masih simpang siur tetapi aku yakin ada di dalam sana.
"Ya, terima kasih."
Usai jawaban itu, aku pun berbalik dan melengos kembali ke tempat awalku tadi, ruangan pribadi sebagai bos di sana, duduk di kursi seperti tadi dan bersantai tanpa gangguan sambil mengelus perut.
"Maafkan Mama, ya, Sayang. Ayah kamu memang agak menyebalkan, tapi kamu tenang aja, dia tak akan mengganggu kehidupan kita, kok."
Aku jamin itu, seorang Arjuna Thomas bukanlah suami yang baik, mulutnya saja melebihi ibu-ibu julid.
Melakukan kegiatan biasa, tenang damai, tiba-tiba aku dikagetkan Vivian lagi yang hobi sekali buka pintu tanpa permisi.
"Kak, ternyata di sini, kenapa gak sama Oppa?" tanyanya, aku memutar bola mata kesal.
"Buat apa lama-lama sama dia? Bisa-bisa tekanan darah gue naik," jawabku sewot. "Jangan kebanyakan halu, romantisme fiksi gak seindah dunia nyata."
Vivian sedikit cemberut. "Gak mau dicoba apa sesekali? Kan lumayan jadi istri sultan, Kak."
"Mending lo aja, kenapa harus gue?"
"Kharisma gue gak ada sama dia, Kak. Oppa cocoknya sama elo," katanya bersikeras, kadang aku merasa Vivian ini gadis cerdas, tapi di satu sisi mungkin poninya menghalangi sinyal kecerdasan itu.
"Vi, dengerin gue, gue ini tiga tahun jadi asisten pribadi Pak Ajun, dan lo pasti sering dengerin keluhan gue soal dia, kan? Betapa menyebalkannya seorang Arjuna Thomas?" Aku bertanya mulai emosi.
"Ya kan gue bilang, Kak, kalau bisa jadi itu love language dia." Dia bersikukuh, aku menepuk kening frustrasi.
"Love language dia?! Lo kebanyakan baca badboy posesif toxic. Love language apaan yang lo maksud, Vi? Sadar, deh, itu tuh toxic, abusif, kok lo anggap love language? Masokis lo?" Aku menghela napas gusar. "Vi, gue nasihatin elo, ya. Apa pun artinya, kekerasan dalam hubungan itu gak pantes dianggap bahasa cinta, lo sadar-sadarin diri deh jangan kebanyakan halu begitu." Ya, apa yang dilakukan ayahku, kepada aku dan ibu, jelas sekali bukan cinta.
Hanya memanfaatkan kelemahan kami.
"Ini nih, kenapa banyak kasus cewek ataupun cowok, kejebak dalam toxic relationship, karena kepercayaan kekerasan itu bentuk cinta. Faktanya, saat lo baca begituan, yang menang karena visualnya. Lo harusnya nyari cowok yang meratukan elo kala elo jadiin dia raja, paham?" Vivian terdiam akan perkataanku yang panjang lebar, syukur-syukur kalau poninya tak jadi panel pembalik jadi hal tersebut masuk ke otaknya.
Hubungan itu didasari oleh dua orang yang saling melengkapi, saling bahu membahu, dan saling mencintai satu sama lain.
Dan bagiku, pasangan seperti itu, sulit didapat, atau mungkin saja aku terlalu takut salah pilihan hingga memilih jalur yang dari banyak kacamata pasti menganggap aku sama buruknya. Trauma ini benar-benar mengutukku, dan baik aku ataupun mereka, tak pantas ditiru siapa pun. Seperti ibu, aku justru berharap Vivian mendapatkan pendamping yang mencintainya tulus tanpa berlaku buruk, atau anakku nanti pun demikian, tak seperti jejakku.
Tujuanku naik ke tangga teratas ini pun, agar mereka--orang yang aku sayangi, percaya, dan menyayangiku--tak gampang diinjak oleh siapa pun. Tak perlu lagi merasakan pahit kecutnya kehidupan yang memuakkan penuh kesengsaraan.
Itu saja ....
"Maaf, Kak, gue maksa-maksa lo," kata Vivian akhirnya, menunduk sendu.
"Ya, gak papa ...." Aku sekarang merasa bersalah karena meninggikan suaraku padanya, tetapi mau bagaimana lagi? "Inget pesan gue, ya, Vi."
"Iya, Kak. Thanks juga udah nyadarin gue, gue rasa gue terlalu banyak halu, gak lagi-lagi deh gitu." Aku tersenyum mendengarnya. "Halu dikit aja." Ia menyengir lebar.
Aku tertawa pelan. "Terserah lo, deh. Sana, lanjut kerja!"
"Siap, Bos!" Kepergian Vivian, membuat suasana setenang tadi, meski pikiranku melalang buana jadinya. Terutama, soal masa depan anakku, yang aku harap secerah mentari pagi tanpa mendung.
Akan aku pastikan segala hal yang dia butuhkan, maksimal. Ilmu pendidikan, kasih sayang, dan masih banyak lagi. Semua akan berjalan sesuai rencana, dan jika ada hal tak sesuai, masih ada rancangan rencana B, seperti biasa.
Lalu, aku yang berpikir akan santai setelah ini, harus dibuat mendengkus pelan karena suara notifikasi ponsel terdengar. Segera aku membukanya, dan menemukan pesan grup berisi aku, Sarah, dan Tyona.
"Sis, barusan kami ada denger soal asisten pribadi Pak Ajun yang baru, berita hot nih!" Sarah mengirim pesan. "Lo penasaran gak?"
"Gak juga," jawabku cepat.
"Gue kasih tau, ya, Ros. Dia ngundurin diri!" Kali ini, Tyona.
"Gak kaget." Hah, siapa yang tahan dengan tingkah si bos julid itu, selain aku dan tiga tahun seperti neraka?
"Parah, sih, Sis. Lo tahan banget sama Pak Ajun. Tu asisten pribadi curhat ampe nangis-nangis, karena Pak Ajun hobi banget ngekritisi kinerja dia, terus bentak-bentak, abis tu lo tau apa? Pak Ajun ngebentak parah banget hari ini katanya, abis tu langsung kabur gitu aja. Kami sempet ketemu pas dia lewat, wajahnya dongkol banget, tapi gak nyangka karena itu. Persis deh kek suami istri berantem, terus suaminya balik ke rumah orang tua."
Aku mengerutkan kening.
Sebentar. Aku tak kaget sekalipun jika dikatakan Pak Ajun, kinerja asistennya lebih bagus dariku, dan dia tetap julid. Namun, bentak-bentak? Kabur bak anak kecil? Itu hal yang tak pernah dilakukan Arjuna padaku sekalipun pernah suatu ketika tak sengaja menumpahkan kopi ke berkas penting. Untung ada salinan, tapi sambil menyalin sambil mengomel.
Separah apa yang dilakukan asisten baru itu?
Dan sepertinya, dia kabur ke sini karena kueku memang jadi salah satu obat penenang untuknya, wajah datarnya membuatku tak sadar dia baru saja dilanda kekecewaan hebat itu.
Sebenarnya, kenapa?
KAMU SEDANG MEMBACA
Husbandfree [tamat]
Storie d'amore[21+] Nekat dan TOLOL Adalah hal yang bisa disematkan pada Romansa Nugraha, wanita 27 tahun, seorang asisten pribadi yang di luar kalem, nyatanya di dalam rada gila. Bagaimana tidak? Dirinya bukan penganut childfree, melainkan husbandfree--menurutny...