"Oh, kalau gitu, halo Yoga, Yuda, Yasa, dedek gemoy ganteng banget, ini Aunty kalian namanya Aunty Vi, halo, Sayang yang Ganteng!" Namun, memang tak mudah menarik hati anak-anak, aku terkikik sambil mendudukkan Yasa dan Yuda lagi. "Ish, kok gitu sih?" Vivian cemberut. Meski kemudian, dia menatap lekat wajah anak-anakku. "Mirip banget ya, semuanya Kak. Gimana cara bedainnya?"
"Tuh, rambutnya." Aku menunjuk kepala mereka. "Yasa agak terang, Yuda gelap, dan Yoga agak tipis."
"Oh, iya iya, yang botak ini jadi Yoga ya?"
Ish, kurang ajar bilang anakku botak!
"Enak aja lo bilang anak gue botak! Lo mau gue botakin tu poni huh?! Jelas-jelas cuman tipis. Jangan bodyshamming bayiku, deh, atau gak akan gue kasih lo gendong mereka."
"Eh, jangan gitu dong, Kak. Maafin gue, deh." Vivian menunduk sesal. "Kak, gue gendong ya?"
"Kalau mau, kalau gak mau jangan dipaksa." Vivian cengengesan, berikutnya dia berusaha menggendong Yoga yang memang sedari tadi tak kabur tak seperti dua saudaranya, syukur saja Yoga tenang di pelukan Vivian.
Atau dia terlalu tegang?
"Iiih, gantengnya astaga! Lucu banget! Kak, gue foto bareng ya!"
"Iya, foto aja, boleh deh sekalian lo share ke medsos kalau mau."
"Ih, makasih banget, Kak!" Dia lalu main hp, otak atik sana sini dengan senyum unjuk gigi, sepertinya giginya akan kering. "A aw!" Aku terkejut melihat ke Vivian yang kesakitan. "Wah, Yoga gigit Aunty, nanti Aunty berubah jadi baby, baby face."
Aku memutar bola mata. "Jangan sampe kegigit, gak steril, nih kasih mainan aja. Lo gak jijik sama iler mereka tuh?" Aku menyerahkan mainan teether pada Vivian.
"Gak lah, dipercaya bisa bikin awet muda, malah bagus." Aku memutar bola mata malas akan ungkapannya yang tak masuk akal, dia lalu memberikan mainan hingga Yoga menggigitinya dalam pangkuan. "Iiih, gemoy, lembut, wangi! Lucunya ponakan Aunty."
"Eh tapi ...." Saat asyik memuji, kini dia menatapku serius.
Aku menghela napas. "Capek, Vi, abis perjalanan, jadi gue gak sempet balas-balasan pesan siapa pun, buka hape gue juga enggak. Emang kenapa? Lo mau bikin kejutan?"
"Rencananya sih gitu, tapi gak gue jadiin, takutnya sih emang sesuai dugaan gue, Kak. Lo kecapean. Jadi tunda aja bentar, nanti kita rayain kepulangan Kak Rosa bareng triplets-nya! Yippie!"
Siapa sangka, Yoga mendongak dan tertawa melihat tingkah Vivian.
"Kyaaaa, ponakanku ketawa! Kyaaa!" Vivian begitu kesenangan.
"Yang lain belum tau gue udah pulang, Vi?" Vivian menggeleng sambil bermain ciluk ba dengan Yoga.
"Belum, Kak. Gue gak mau ngasih harapan palsu, apalagi lo gak ada kabar setelahnya," ucap Vivian seadanya. "Nanti dirayain, besok ya?"
"Jangan besok, Vi. Masih capek gue, pegel, lusa aja, lagian Yogi, Yasa, sama Yuda perlu pembiasaan di rumah baru ini. Nanti kasih tau aja yang lain lusa ke toko perayaannya."
"Oke, siap, Kak." Vivian mengacungkan jempol tetapi tetap fokus pada Yoga.
"Bi, Bibi!" panggilku, tak lama keduanya datang. "Bi, jaga bentar Yasa, Yuda, sama Yoga, ya. Oh ya ini Vivian adek angkat saya. Vi, jagain Yoga oke?"
"Pasti, dooong, Kak! Ugh, pipi kamu gemoy banget--auw!" Aku menepis tangannya.
"Jangan dicubit, bahaya buat anak gue, awas lo!" ancamku kesal.
Vivian menyengir dengan tanda peace di tangan. "Sorry sorry, Ibu Posesif. Lo mau ke mana?"
"Cek hape," jawabku singkat, pun berdiri dan menuju kamar, mengecek ponselku yang sudah lama tak kupakai. Setahun lebih. Aku charger dan nyalakan.
Jika ponsel rahasiaku hanya diisi pesan satu dua, maka saat membuka ponsel ini, rasanya ponselku akan meledak dengan ragam notifikasi yang keluar. Terutama dari grup chat yang padahal hanya ada tiga kepala di dalamnya, dan dua saja saat aku offline. Pesan dari ragam insan lain aku abaikan untuk mengecek pesan dari grup, empat ribuan pesan, tetapi tentu aku tak akan kuat backread.
Namun, sekilas terlihat, mereka sangat excited soal bayiku.
Dan yang lain, berita tak terlalu penting soal Pak Ajun dan asisten pribadi yang berganti sering sekali, sampai akhirnya sekarang entah siapa yang mau jadi kandidatnya. Pria itu masih belum punya.
Dia benar-benar menyebalkan, sih, jadi tak heran banyak orang kabur, termasuk aku sekalipun paling kuat tiga tahun bersamanya. Andai dia merendahkan sedikit ego itu, mungkin dia akan bisa punya asisten pribadi setia, kalau begini sih seumur hidup pun tak akan mendapatkannya.
Aku pun mengirim pesan menghebohkan mereka, berupa foto yang aku kirim dari ponsel satunya ke sana, kabar kepulanganku, dan ingin acara yang disiapkan Vivian. Namun, jika mereka mau datang ke rumah lebih awal, kalau mau dan ada waktu, aku terima besok.
Jelas berikutnya, mereka heboh.
Namun, aku mengabaikan pesan mereka, dan keluar dari chat grup mengecek pesan lain. Rata-rata ucapan selamat dari kenalanku, dan ....
Mataku agak tak percaya melihatnya, tapi bukan sekali dua kali pria itu menunjukkan empati dan simpati, walau hanya satu kata yang tertera di sana.
Selamat!
Dari Pak Arjuna Thomas.
Entah kenapa, aku iseng membalasnya, "Terima kasih banyak, Pak. Maaf baru membalas karena saya kemarin-kemarin liburan sambil menghindari sosial media, tapi sekarang udah pulang bersama si triplets. Jika Bapak berkenan, mungkin Bapak mau datang ke kedai saya untuk perayaan Yoga, Yasa, dan Yuda."
Panjang lebar aku berkata, dan ternyata balasannya cepat, meski hanya sebuah jempol.
Sombong, sok cool.
Namun, nyatanya, Pak Ajun terlihat masih mengetik. Aku menunggunya selama beberapa saat, tetapi ternyata hilang di bawah namanya. Apa yang ingin dia sampaikan? Entahlah, paling cuma terpencet.
Siap menjawabi pesan lain, ternyata muncul lagi pesan Pak Ajun, sebuah foto. Tanda bukti transfer di mana Pak Ajun memberikan sejumlah uang cukup besar padaku bersama catatan: "Untuk anakmu, bukan ibunya."
Pak Ajun, andai tak ada hal ini, mungkin aku berpikir dia ini tahu kalau ketiga putra kembarku hasil kecebong unggulnya, dan tengah memberi nafkah lahir. Namun, kelihatannya dia masih tak tahu sama sekali, entah itu bagus atau tidak.
"Wah, banyak sekali, Pak. Terima kasih." Aku membalas. Memang terkenal dermawan jadi aku tak kaget nominal sekian yang bagi keluarga Thomas kecil, sering dia bagi cuma-cuma.
"Ya." Dan jempol, terserahlah.
Aku mulai mengurus pesan lain, yang tentunya baik saja, kalau yang terkesan menyebalkan, julid, aku abaikan demi kesehatan mentalku. Andai melihat ini di masa-masa sulit sebelum sekarang, mungkin aku akan baper kemudian parahnya, baby blues. Apalagi kalau aku kerja bersama Pak Ajun, lebih ngeri menahan penuturan pedasnya.
Namun, saat mau fokus ke ponsel, suara tangisan si kembar mulai bersahutan di luar. Oh, pasti Vivian melakukan sesuatu, awas aja anak itu, jidat berponinya akan aku sentil!

KAMU SEDANG MEMBACA
Husbandfree [tamat]
Roman d'amour[21+] Nekat dan TOLOL Adalah hal yang bisa disematkan pada Romansa Nugraha, wanita 27 tahun, seorang asisten pribadi yang di luar kalem, nyatanya di dalam rada gila. Bagaimana tidak? Dirinya bukan penganut childfree, melainkan husbandfree--menurutny...