38; husbandfree

2.9K 174 22
                                    

Aku pun berusaha menenangkan Ajun yang terlanjur emosi takut aku kenapa-kenapa, pria itu sebenarnya hanya pulang sebentar karena ada yang tertinggal tetapi sepertinya dia tak akan pergi sebelum urusanku dan Victor selesai. Aku pun berusaha menjelaskan sebaik mungkin padanya.

"Kamu seriusan mau kerjasama sama dia? Apa untungnya? Dia juga bisa aja jahatin kamu." Jelas, Ajun punya pemikiran begitu, dan Victor tampak tak mengelak, dia hanya menatap kami sejenak kemudian menunduk seraya mengusapkan es ke pipinya. "Pikirkan lagi, apa kamu yakin mau kerjasama sama dia?"

"Yah, ini lebih ke arah Victor minta bantuan saja, kok. Toh, kalaupun kenapa-kenapa, sepertinya aku juga gak akan kenapa-kenapa." Aku menggedikan bahu, menatap Ajun. "Kamu tahu persis kan, kenapa?"

Dia mengusap wajahnya kasar.

"Ajun, Victor pengen berubah, mungkin bisa dikasih kesempatan. Mungkin."

"Terakhir kali aku ngasih dia kesempatan, aku diasramain Mamah Papah," kata Ajun, mendengkus. "Dia bisa aja, melakukan sesuatu, ngambil alih usaha kamu, nyuri harta kamu, atau bahkan ...."

Dia menatapku, lalu anak-anak di ruangan mereka, kemudian Victor yang tampak menghela napas. "Lo mau ngambil bini gue, hah, Sat?!"

"Ajun!" Aku kaget, entah bagaimana Ajun si baby amat cepat memegang kerah baju Victor dan berhasil mengangkatnya cukup tinggi. "Ajun, hei, tenanglah."

Mata Ajun nyalang, menatap Victor yang kelihatan pasrah. "Perasaanku, atau memang, badanmu semakin besar. Mengerikan juga kalau dari dulu kamu berani begini, Arjuna." Dia tersenyum kecut.

"Aku begini, biar bisa lindungin istriku, terutama dari kamu! Kamu bisa aja lakuin sesuatu, samaku, keluarga kecilku, aku gak segan-segan membunuhmu, Victor. Aku gak akan segan."

Mataku membulat sempurna kaget akan ungkapan itu, mengerikan juga ancaman Ajun sekarang. Dia agak berubah, dan terkesan menyerap sifat-sifatku yang kelewat berani--kadang.

"Ajun, hei, easy." Aku menenangkannya, dan anehnya secepat kilat Ajun merengek, memelukku, dia seperti punya kepribadian ganda karena hal itu.

"Jangan sama dia, dia jahat." Bak anak kecil pada ibunya.

"Aku tahu aku jahat dari dulu sama kamu, Arjuna. Semata-mata aku emang iri, karena kamu punya segalanya, orang tua, tahta, kamu pangeran di keluarga Thomas. Sementara aku? Hanya sepupumu, gak ada yang istimewa dariku." Ajun sedikit melirik meski sambil memelukku terus. "Ini kali pertama seseorang menamparku dengan kata-kata sekaligus fisik, entah kenapa aku sadar, memalukan rasanya kalau terus mencari celah menempatkan diri ke posisimu yang sudah jelas mustahil bagiku. Cuma mengejar bayangan semu. Aku juga mau punya usaha mandiri, di mana aku punya hal yang memang milikku sendiri. Aku ... meminta bantuan pada Romansa, yang memang ahli di bidangnya, karena dia inspirasiku sekarang. Aku termotivasi karena dia."

Aku menghela napas mendengarnya, pun menatap Ajun yang balik menatapku, dia seakan tengah menimbang-nimbang pilihan tepat.

Aku tatap dia dengan tatapan penuh permohonan.

Barulah, dia kelihatan pasrah. "SnK berlaku di sini, hitam di atas putih, dan tentunya jangan berani macam-macam. Kamu pasti tahu konekuensinya, Victor. Aku gak akan segan memerintahkan seseorang buat membunuhmu dan aku tetap bisa membersihkan tanganku setelah itu."

Victor tertawa, dia mengangkat kedua tangannya pasrah. "Aku tau, Arjuna. Aku tak akan berani, meski memang istrimu benar-benar ... wanita idaman."

"Apa pipimu cukup kuat menahan pukulan kedua huh?" Aku memencet bola pria itu agar dia lebih tenang, dia sedikit meringis. "Oh, uh."

"Maaf, aku hanya bilang begitu karena kenyataannya. Terima kasih atas kesempatannya, Arjuna, Romansa." Dia tersenyum, terlihat senyum lega. "Aku ... mohon bantuannya."

"Ini bukan bantuan, tapi belas kasihan untuk keponakanku. Agar Queen tak sebangsat dirimu." Ajun menunjuk pria itu, dia hanya tertawa. "Lu denger gak? Jangan tawa mulu!" Tampaknya sulit menghilangkan bagian jerk face itu.

"Oh, maafkan aku, Ajun. Jangan pukul aku oke? Aku tau jika di arena, aku jelas kalah telak, kamu punya postur tubuh yang ... semacam gorila."

"Kurang ajar!" Aku menahan Ajun lagi, kali ini dengan tangan yang menyusup masuk ke balik jasnya, dia menghela napas berat kemudian cemberut menatapku. "Emang aku gorila ya?"

"Enggak, kamu kan beruang kutub," kataku, mencubit pipinya gemas, dia tersenyum manis.

"Baiklah, sepertinya aku tak bisa berlama-lama di sini." Kini, suara Victor mengalihkan perhatian kami. "Terima kasih sekali lagi, Rosa, Ajun, atas bantuan yang kalian berikan."

"Ya, baguslah, pergilah, tapi kalau mau ninggalkan Queen di sini, gak masalah." Ajun sepertinya amat menyayangi Queen.

"Ah, ibunya pasti akan mengomel soal itu." Setelah menggerutu demikian, Victor menjemput Queen segera, anak itu tampak sedih meninggalkan tiga pangeranku, bahkan Yoga, Yasa, dan Yuda tampaknya saling tak rela pula akan kepergiannya.

"Sudahlah, tinggalkan Queen di sini, bilang saja ke istrimu sana!" Mendengar itu, Queen kembali berseri sangat bahagia.

"Anakku bisa tantrum kalau dituruti begitu." Dan akhirnya, sang ayah memaksanya pergi.

Mau tak mau, mengikhlaskan kepergiannya. Victor tak keliru jika anak-anak yang terlalu dilembekkan, bisa berujung tantrum, tetapi apa tak kasihan jika selama ini selalu keras pada mereka. Semoga saja Queen di bawah penanganan tepat.

"Dah Aunt Ros, Uncle Ajun, dah Dedek-dedek Way (Y dalam sebutan bahasa Inggris)! Huuu ...." Dia kelihatan sedih, tapi mau bagaimana lagi, ayahnya memang begitu.

"Aku akan memastikan sekitaran aman dan dia pergi, baru aku berangkat," kata suamiku itu, aku tahu dia akan melakukannya.

Dia menatap pengawal yang mengangguk paham, dan setelah cukup lama dicek, aman semua.

"Baiklah, aku berangkat, ya, Sayang." Arjuna menciumku lembut sekilas. "Oh ya, a-apa aku boleh ... minta pencet lagi kayak tadi?" Oh, bayi besar ini ketagihan sepertinya.

"Bersabarlah nanti saat pulang, Arjuna." Aku membenarkan jasnya kemudian menekan hidung mancung itu. "Oke? Sekarang banyak karyawan, klien, dan sebangsanya mencari seorang pemimpin perusahaan."

"Hm, iya deh iya." Kembali, berciuman, barulah Arjuna beranjak pergi bekerja, aku menghela napas panjang setelahnya.

PR baru, rasa iba ini membuatku menolong Victor, musuh Ajun yang memang banyak kemungkinan terjadi. Namun, yah, aku bukan wanita yang lahir kemarin sore, tak akan aku biarkan ada hal tak diinginkan terjadi. Backing-anku juga cukup kuat, kan? Aku tak ragu untuk saat ini.

Setelahnya, kegiatanku sebagai ibu rumah tangga yang tak terlalu biasa berlanjut, sebentar lagi anak-anakku akan berusia tujuh bulan, dan saat itu juga aku ingin melakukan sesuatu yang sedari dulu ingin aku lakukan.

Aku dan Ajun sudah merencanakannya jauh-jauh hari setelah negosiasi cukup panjang karena Ajun sempat menolak berpikir dia atau orang kepercayaannya bisa melakukan itu untukku, tetapi aku berhasil membujuknya berikutnya. Bagus.

Jadi, Minggu nanti kala dia libur, dia bilang akan menemaniku ke sana bersama anak-anak. Aku benar-benar tak sabar ....

Husbandfree [tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang