26; husbandfree

5K 288 16
                                    

Aku menepuk kening frustrasi. "Kami kalap tadi, oke? Lagi, kami belum resmi menikah, tolong banget ini tolong, jangan benerin perbuatan kami tadi."

"Belum resmi nikah?" Dia malah fokus ke perkataan itu. "Nanti resmi, dong?" Dia tersenyum menyebalkan sekarang. "Ternyata, selama ini, yang gue bilang ke elo bener, ya, Kak--"

"Vi, Vi, stop, apa yang lo ucapin gak bener, tapi gak sepenuhnya salah, oke?" Aku menghentikan tingkah menyebalkannya, ternyata jauh lebih meresahkan ini daripada dia menghentikan aktivitas kami tadi.

Oh, sialan, apa yang aku pikirkan?

"It's complicated." Dia masih senyam senyum tak jelas. "Vi, mending lo masuk, dan dengerin penjelasan gue dan Ajun." Masih saja, dia menarik kedua tepian bibir ke atas dengan menyebalkannya. "Gue gundul poni lo kalau lo masih gitu, Vi! Mau dengerin penjelasan atau enggak?!"

"Hehe, iya, Kak, iya." Aku dan Vivian pun masuk, menemui Ajun yang ternyata masih setia di sofa, dia terlihat membenarkan posisi duduk kala melihat kedatangan kami. Namun, kondisinya masih agak berantakan, rambut messy serta tanpa kacamata.

"Kak, seksi banget Pak Ajun begini," bisik Vivian mesum.

"Ssst!" Aku berdesis mendiamkannya.

Kini, aku pun duduk di samping Ajun, dan Vivian di sofa solo samping kami. "Jadi, kalian ... ada hubungan istimewa kan?!" Vivian malah mendahului pembicaraan.

Ajun berdeham seraya sedikit membuang wajah, seakan menyuruhku untuk menjelaskan seorang diri. Dia ternyata pria yang amat pemalu. "Ajun ayah dari Yoga, Yasa, dan Yuda," kataku.

"Astaga, seriusan?! Pantesan muka mereka rada-rada mirip Oppa Ajun, Kak. Gue kira karena lo benci banget sama dia." Ada mitos memang, yang bilang kalau kita terlalu benci sama seseorang, anak kita akan mirip dengan orang yang dibenci. "Gue takut bilang gitu di awal, nanti lo slepet gue, ternyata eh ternyata ...." Dia haha hihi layaknya kunti.

"Vivian, dengerin gue jelasin dari awal, oke? Jangan mutus." Vivian mendekatkan wajahnya, bak anak kecil yang tak sabar didongengi orang tua. Aku pun mulai menjelaskan awal mula terjadinya hal ini, dari awal sampai akhir, tentunya dengan versiku karena aku tak bisa sedetail itu.

Vivian terlihat takjub mendengarkan kisah tersebut. "Oh, jadi gitu ... dan sekarang, kalian Minggu nanti ketemu orang tua Oppa Ajun?" tanyanya, aku menghela napas dan mengangguk. "Nikah?"

"Belum tentu sampe ke sana, tapi besar kemungkinan ke sana." Aku menatap Ajun yang balik menatapku, ada senyuman kecil di sana. "Gue sadar kalau Ajun beda sama bokap gue dulu, yang abusif dan jahat, Ajun enak didominasi dan dia ternyata polos banget."

"Uh ...." Ajun terlihat terkesiap sedikit. Kedua pipinya semakin memerah.

"Gak nyangka, unik banget kisah cinta kalian, tapi gue seneng deh akhirnya kalian sama-sama. Artinya, kapal gue berlayar." Kedua bola mataku berputar malas. "Gue udah tau sih, dari awal kalian itu saling cinta, meski lo bilang sebel sama Oppa Ajun, ataupun Oppa Ajun yang jutek sama lo. Radar gue ini gak pernah salah!" Dia yakin sekali.

"Poni lo radar!" kataku mendengkus, tetapi kemudian aku memikirkan, apa memang dari awal aku mencintai Ajun? Tiga tahun kebersamaan kami, yang aku ingat hanya hal-hal buruknya, aku memilihnya jadi ayah anak-anakku pun hanya karena suka wajahnya--bibit unggul.

Daripada cinta, sepertinya cuma nafsu.

Yah, apa pun itu, terserahlah.

"Congrats ya buat kalian berdua, jangan lupa PJ, Kakak, Oppa!" kata Vivian cengengesan.

Aku menghela napas malas.

"Mm Rosa," bisik Ajun di sampingku, aku menoleh padanya. "Apa kamu ... sungguhan soal tadi?"

Kembali, aku mengembuskan napas. "Persentase ke jenjang pernikahan bisa aja naik, ataupun turun, aku gak bakalan mengelak, menyesuaikan alur yang ada."

"Kalau gitu, aku akan jadi Ajun yang ini ... Ajun polos dan lugu kamu, yang kamu dominasi ...." Dia tersenyum malu-malu. "Ajun yang dulu."

"Yah, terserahlah." Aku balas tersenyum padanya.

"Cieee cieee ...." Dan hampir lupa, ada si poni itu di sini.

"Vi, ngapain lo malem-malem ke sini, hm?" tanyaku akhirnya, mendiamkan cie-cie menyebalkan tadi.

"Niatnya sih, mau nginep, soalnya apartemen gue berisik," kata Vivian, senyum kecil. "Boleh gak?"

"Hah, ya udah sih."

"Eh tapi, Oppa Ajun, dia nginep juga?" tanyanya.

Aku menatap Ajun. "Sepertinya aku ... akan pulang, besok ada jadwal."

"Oh, baiklah." Aku mengangguk, dan Ajun mulai berdiri.

"Aku ambil pakaianku sebentar." Dia beranjak ke kamar meninggalkanku dan Vivian berdua.

"Kak, psst psst." Vivian memanggilku, dengan agak dongkol aku menatapnya.

"Apa?"

"Gue baru tau soal ayah lo di masa lalu, Kak. Ini kali pertamanya gue denger dan gue bener-bener sedih akan hal itu. Gue ngerti sekarang kenapa lo trauma." Aku terdiam, ternyata Vivian tak hanya fokus ke bagian manis-manisnya saja. Dia memang seperhatian ini, sih, kadang. "Gue rasa, Oppa Ajun memang beda dari bokap lo yang bejat, Kak. Dia pria baik, gue bisa liat itu, kok. Semoga aja kalian langgeng, dan bahagia sama anak-anak. Dan ingatlah, Kak, lo gak sendirian, banyak orang yang sayang sama lo, zaman sekarang gak kayak dulu, lo itu wanita keren dan super, gue yakin sama-sama kita bisa hadepin itu. Kalau ada apa-apa, panggil gue, atau Kak Sarah, atau Kak Tyona, kami akan selalu ada di sisi lo!"

Aku tersenyum, Vivian memang sangat memperhatikan dan menyayangiku, seperti halnya aku yang menyayanginya. Meski kadang dia kekanak-kanakan, nyatanya dia tahu kapan memposisikan diri.

Dia merentangkan tangan, dan seperdetik kemudian aku melompat ke pelukannya. "Kami semua sayang sama lo, Kak." Dia mengusap bahuku lembut.

Aku mengeratkan pelukan. "Iya, gue juga sayang sama kalian."

Selepas berpelukan penuh haru, aku baru sadar ternyata Ajun sudah ada di samping kami, apa dia melihat adegan tadi.

"Rosa, aku selalu janji akan jadi suami dan ayah yang baik buat kamu dan anak-anak," katanya, tersenyum.

"Iya, aku tau Arjuna Thomas itu pemegang teguh omongan dia sendiri." Aku menyeka air mata yang jatuh sedikit. "Aku tau."

Dan berikutnya, Ajun mendekatiku, kami siap menyatukan bibir sebenarnya, tapi dihentikan oleh cahaya flash. Spontan, aku menoleh ke arah Vivian yang ternyata mengarahkan kamera pada kami.

"Uh, oh, salah kok malah kamera ... mana pakai flash ...." Aku menatapnya tajam, dan aku rasa Ajun juga melakukan hal sama. "Eh, hehe, peace, Kak, Oppa." Dia menunjukkan tanda perdamaian dengan tangannya seraya menurunkan ponsel. "Si-silakan lanjut, gak akan difoto, kok."

Jelas sekali, kami berdua ragu bukan main.

"Aku akan kembalikan bajunya besok setelah dicuci, sore nanti aku akan datang lagi."

"Baiklah, sampai jumpa lagi, Jun."

"Dah, Oppa!" Vivian melambaikan tangan tanpa rasa bersalah, dan Ajun kelihatan hanya tersenyum simpul--pasti kesal karena sama-sama berharap.

Si poni ini, memang hobi membuat resah.

Husbandfree [tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang