8; husbandfree

7.8K 436 14
                                    

Sesuai dugaan, Tyona dan Sarah berterima kasih padaku, simpel saja yang aku minta, traktir minggu depan jika kondisi memungkinkan. Mereka setuju akan hal tersebut.

Semua berjalan lancar, kedai ditutup, kemudian waktu pulang. Aku pulang dengan ojek mobil seperti biasa, pun tiba di rumah tanpa kendala, setelahnya masuk, membersihkan diri, sedikit beres-beres, makan malam, sebelum akhirnya memutuskan untuk tidur.

Namun sebelum itu, aku men-setting jam di ponsel untuk alarm, dan di sampingnya beberapa test pack beragam jenis. Siap sedia dengan dua amunisi tersebut, barulah aku terlelap.

Alarm membangunkanku tepat pukul lima, kandung kemih sudah siap sedia dijadikan amunisi ketiga, dengan segera aku mengambil semua test pack dan masuk ke kamar mandi. Melakukan hal yang memang semestinya aku lakukan. Penuh harap, sesuai apa yang aku bayangkan.

Masih menunggu, dan menunggu ....

Dan hasilnya ....

"Oh waaaaah ...." Rasanya aku ingin melompat girang, tetapi sadar kondisiku aku jelas tak akan melakukan.

Siapa sangka, di antara test pack yang aku gunakan, semuanya, bergaris dua, dan bertanda positif sejenis. Ternyata, bibit unggul dari seorang Arjuna Thomas, membuahkan hasil yang nyata. Tak sia-sia aku melakukan hal tolol yang sebenarnya tak ingin aku lakukan lagi seumur hidupku, syukur saja berhasil, kalau tidak pasti ke rencana B mau tak mau.

Sangat girang rasanya, karena tak akan lama aku berbadan dua, memiliki keturunan sesuai impianku.

Kuusap lembut perut yang masih datar itu. "Terima kasih sudah hadir, ya, Sayang. Mama janji, akan menjadi Mama serta Papa terbaik untuk kamu." Kemudian, aku mendongak, agak enggan mengatakannya tapi, sepertinya harus meski diam-diam. "Dan thanks, Pak Ajun, sudah memberikan bibit unggul Bapak."

Sekarang, karena alur pertama berjalan lancar, maka aku akan menjalankan alur kedua, dari yang aku baca begitu banyak tantangan sebagai ibu hamil, tetapi sepertinya bisa aku atasi. Entah dari medis, kegiatan sehari-hari, semua sudah aku siapkan dengan matang jauh-jauh hari. Sementara sisanya, akan aku jelaskan kondisiku pada mereka nanti, jadi semuanya akan memahami jika aku mangkrak dari dunia sosial. Dalihku hamil? Program kehamilan tanpa suami, itu saja, tak perlu disebut bagaimana ayahandanya.

Aku mungkin masih bisa bekerja tanpa gangguan, sampai morning sickness dan tanda kehamilan lain menjadi-jadi, itu saat di mana aku akan memberitahukan kehamilan, dan menurunkan tanggung jawab sepenuhnya pada Vivian dan berlibur di suatu tempat yang sudah aku siapkan. Sampai waktu yang cukup baik kala aku kembali.

Lalu, jika anakku lahir nanti, besar kemungkinan akan mirip sang ayah, aku juga sudah punya cara mengatasi itu, ada alibi paling bagus di mana aku dan Arjuna sama sekali tak pernah bercinta, Pak Ajun mungkin akan kaget dengan hal tersebut, tetapi karena aku pandai, aku akan membuat surat palsu dan memperlihatkan ayah dari anak-anakku, buatan AI, di mana memang lumayan mirip Arjuna. Aku mungkin akan--sambil menahan muntah--bilang mengagumi wajahnya jadi ingin anak mirip dengannya kalau dia bertanya lebih lanjut. Biarlah Pak Ajun besar kepala, asal bukan besar rasa keponya.

Namun, jika dominan genku, ya tak akan ada masalah. Terakhir, hal paling bagus, akan lebih baik kalau aku rasa wajahku dan Arjuna akan mix dan menciptakan mahakarya indah yang tak dikenali.

Rencanaku, sepenuhnya matang. Dan persentase sesuai ekspektasi, amatlah tinggi.

Untuk saat ini, aku masih menyembunyikan kehamilanku, tentu masih bisa bekerja dengan perut datar dan keadaan lumayan fit, mungkin untuk trimester pertama. Soal ke dokter kandungan, aku pun rutin tanpa diketahui, tetapi tepat di bulan kedua ....

Ternyata, morning sickness yang terjadi padaku lumayan parah, jadi sudah saatnya aku memberitahukannya pada Vivian.

Sesuai dugaan, dia jelas, syok.

"Apa, Kak?! Lo hamil?! Kapan nikahnya, Kak?!" Vivian bertanya syok, untung bocah satu ini aku undang ke rumah secara private, dia sempat berpikir aku sakit karena keadaanku pastilah berantakan, pucat pasi, tepar berselimut di sofa, mungkin aku akan lebih kurus karena makanan sering aku muntahkan, itu kenapa keadaanku lemas.

Perutku menolak, lidahku pun pahit dan asam, memang sepertinya perjuangan seorang calon ibu menyakitkan, belum lagi tubuh tak nyaman. Namun, aku tak mau menyerah hanya karena hal kecil tak terduga ini.

"Gue gak nikah, Vi."

Mata Vivian melotot. "Terus? Hamil di luar nikah?"

"Gue sebenernya pake program kehamilan, itu aja, gue gak minat punya suami," jawabku seadanya.

"Lah, kenapa harus gitu, Kak? Lebih enak punya suami, kan--"

"Lo jangan ceramahin gue, dong!" Aku menangis seketika, oh ini salah satu agenda ibu hamil juga, mood naik turun. "Gue gak mau punya suami, paham gak lo hah?! Gue pengen punya anak doang, bukan suami!"

"Eh, Kak, maaf gue gak maksud begitu." Vivian menghampiriku yang terisak, tampak bingung cara menenangkan, dia hanya mengambilkan tisu untuk aku mengelap air mata kemudian meredakan seisi hidung.

"Intinya ...." Aku sedikit sesenggukan, ledakkan emosi ini kadang meresahkan. "Gue pengen lo ngurusin kedai, oke? Gue mau rehat bentar ke suatu tempat, demi kesehatan gue dan anak yang gue kandung. Oke, Vi?"

"Lo mau pergi, Kak? Ke mana? Terus siapa nanti yang jagain Kakak kalau Kakak sendirian di tempat itu? Sampe kapan lo di sana" Dia bertanya dengan beruntun.

"Ada, gue udah urus semua, lo nurut aja oke?" pintaku, dia mengangguk patuh. "Dan untuk saat ini, gue gak bisa ngasih tahu di mana keberadaan gue dan sampai kapan semua itu, intinya gue bakalan narik diri dari sosial sampai waktu memungkinkan gue kembali, gue pusing kalau terus-terusan ditanyain banyak orang. Cuma, tenang aja, lo masih bisa hubungin gue, cuman lo yang lain jangan. Intinya, lo aja pinter-pinter jelasin ke mereka, gue males banget. Ini demi kelangsungan bayi yang gue kandung, Vi. Please, ya?"

Memikirkan omongan mereka bisa saja membuat mood-ku yang tak stabil menjadi baby blues, itulah pilihan terbaik saat ini.

Dia menatapku iba, dan akhirnya mengangguk. "Jaga diri lo ya, Kak. Dan ... ponakan gue, sehat-sehat terus, ya, Sayang." Dia mengusap perutku lembut.

Dan aku tersenyum hangat.

"Jadi, kapan lo berangkat, Kak?"

Besok, adalah hari di mana aku akan berangkat, dengan bantuan beberapa orang termasuk Vivian di sana. Tujuanku sudah jelas hanya sang supir dan dua ART khusus yang aku sewa. Lokasi tujuanku, jauh dari rumah, tetapi sangat worth it tempatnya dengan keberadaan rumah sakit terbaik. Entah apa tanggapan orang-orang yang tahu hal ini di sana, tetapi semoga saja Vivian bisa menjelaskan ini itunya.

Seiring waktu, harapanku sesuai dengan rencana, kondisi kehamilan teratasi baik, semuanya mulus sampai di bulan ketiga di mana aku memutuskan USG.

Aku tak percaya dengan apa yang dikatakan dokter padaku.

Husbandfree [tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang