11; husbandfree

7.1K 425 12
                                    

Bulan keempat, mereka mulai belajar duduk, rangkakan juga mulai lebih stabil, dan kosa kata semakin banyak. Aku mulai sering berkata Mama, Mama, pada mereka agar kata itu disebut. Pemahaman mereka semakin baik, ternyata seasyik ini menjadi ibu.

Luka pasca operasi sudah lumayan kering, dapat ditebak perutku yang sempat menampung tiga janin sekaligus mengalami perubahan drastis, tetapi nanti akan aku atasi. Toh, siapa juga yang melihat hal ini, aku tak akan memamerkannya.

Lalu, akhirnya, perjuanganku ....

"Ma, ma, ma." Yasa anakku berkata.

"Maah, maah." Dan disusul Yoga kecil, manis sekali.

Dan terakhir, Yuda. "Pa ...."

"Lho, kok Papa, Sayang? Ma-ma." Aku mengejakan untuk putraku itu, dia malah tertawa geli, aku tak bisa marah padanya.

"Pa, pa, pa." Dia malah terus memanggil papa, dan aku hanya menghela napas panjang seraya tersenyum.

"Yah, Mama juga Papa kalian, Sayang." Aku sentil hidung mungil Yuda.

Sekilas, kalau dilihat-lihat, ketiga bayi tampanku ini, aku sadari mulai terlihat mirip dengan sang ayah. Aku pernah tak sengaja melirik foto pria itu, saat bertamu di rumahnya karena ada urusan, foto keluarga Thomas terpampang rapi bagaikan papan pengumuman seakan mereka tak mau meninggalkan celah tanpa kenangan.

Pak Ajun berikutnya mengomel soal aku yang kepo dengan keluarganya, padahal aku tak akan kepo kalau tak terpampang jelas di depan mata.

Dan itu, jadi hari pertama sekaligus terakhir  pria itu membawaku ke rumahnya yang besar, tapi sunyi, meski ada pembantu, satpam, dan pengurus lain, tetapi entah ke mana Tuan Rumah lainnya.

Dan itu juga awal aku mengagumi keimutan Pak Ajun--dalam tanda kutip, wujud bayi--karena memang seimut itu saat kecil, dan besar tentu jadi amit, sifatnya. Akan aku buat anakku tak seperti ayahnya, yikes.

Mungkin akan ada yang mempertanyakan, kenapa tak Bapaknya Pak Ajun saja yang jadi bahan pengadon, aku tak mau mati muda. Setidaknya seorang Arjuna Thomas single, jones, dan kelihatannya tak peduli dengan hubungan begitu, jadi dia kandidat cocok.

Terlepas kemiripan itu, aku kan sudah mengolah dengan matang rencana berikutnya, jika memang benar mereka akan sangat mirip Arjuna.

Saat-saat ini juga, aku mulai mengirimkan ragam foto pada Vivian tentang ketiga bayiku, yang sangat tak sabar gadis itu lihat. Banyak foto dari saat mereka baru masih merah, hingga saat ini, dan aku hanya mengirim dengan keadaan wajah yang disensor.

Aku tertawa geli karena dia sangat kesal tak benar-benar bisa melihat anak-anak. Pun teman-temanku yang ditujukan foto itu, pasti amat penasaran dengan betapa tampan dan rupawannya para pangeranku.

Bulan kelima, perkembangan trio Y-ku sangat-sangat mengembirakan, mereka sangat cerdas, dan makin lancar mengoceh. Duduk mereka pun semakin kuat tegap. Sementara itu, perbedaan signifikan dari segi rambut masih bisa membuatku membedakan mereka. Yasa ternyata berambut pirang terang, Yoga dan Yuda agak lebih gelap, dan ada sedikit masalah dengan pertumbuhan rambut Yoga yang tak selebat saudaranya.

Namun, dia tetap tampan, anakku semuanya tampan!

Sisanya, mereka amat identik, tetapi entah kenapa aku bisa membedakan mereka dengan baik bahkan tanpa melihat rambutnya. Apa ini koneksi ibu dan anak?

Bahagianya ....

Lalu, bulan keenam.

Kemungkinan lebih satu tahun sudah aku berada di masa-masa liburku, segala hal di diri sudah pulih total, dan anak-anakku yang lincah kurasa bisa aku bawa kembali. Aku memberitahukan itu ke Vivian, dan jelas sekali Vivian bahagia dan sepertinya langsung memberitahukannya pada semua orang terdekatku, entah kejutan apa yang nanti dia lancarkan pasti ada saja gadis itu.

"Kita pulang, ya, Sayang-sayang Mamah." Aku meletakkan ketiganya di masing-masing baby seat bagian belakang, dan tangan mereka tampak tak diam menggigit. Di usia segini sepertinya gigi mereka sedang gatal-gatalnya karena akan tumbuh, makanya aku memberikan mainan sebagai teether khusus untuk itu.

Tak hanya sama wajah, perkembangan mereka sepertinya hampir serupa juga. Aku pun duduk di antara mereka.

"Sudah siap semua, Non?" tanya sang supir.

"Sudah, jalan saja, Pak." Supir mengangguk dan menjalankan mobil dengan kecepatan stabil.

Aku punya tak hanya bersama anak-anak, di sisi belakang ada dua ART yang tetap aku sewakan untuk membantuku mengurus kebutuhan rumah tangga. Akan sulit mengurus tiga anak kalau hanya aku sendirian, jadi mau tak mau, kalau anakku satu sih masih bisa aku rawat mandiri. Atau nanti, saat anakku lebih besar, aku bisa melakukannya.

Di mobil sendiri, akan ada masa-masa rewel ketiga putraku, sesekali kami harus berhenti untuk menenangkan mereka agar mereka tak bosan, dan juga menyantap sedikit cemilan bayi, karena bulan ini juga ketiganya akan menjalankan program MPASI, hal itu yang membuat kepulanganku jadi malam hari ke rumah. Syukurlah, dua ART-ku ada, jadi bebanku lebih ringan, meski Yoga, Yasa, dan Yuda, lebih senang menempel padaku. Aku terlelap karena amat kelelahan, mengabaikan notifikasi yang terdengar.

Besok sajalah, aku lelah.

Lalu, entah jam berapa, aku terbangun karena suara alarm, sepertinya jagoan-jagoan kecilku masih terlelap karena lelah.

Namun, saat aku melihat keadaan mereka di keranjang, mereka ternyata tengah berbaring tenang.

"Uh, Sayang Mama, morning, Sayang." Aku bermain dengan mereka sebentar, mereka tertawa-tawa girang, pandai sekali anak-anakku.

Aku segera mendudukkan mereka, karena aku rasa mereka pasti ingin itu.

"Waaaah, Yasa bisa berdiri, pinternya anak Mama!" Yasa memang mulai berdiri, meski masih perlu pegangan.

Dan siapa sangka, Yoga juga mengikuti saudara kembarnya, meski agak kesulitan, kemudian disusul si kecil Yuda pula. Astaga, apa anak-anakku tengah saling unjuk kebolehan di depan ibu mereka dan merasa lebih hebat satu sama lain? Oh, mereka bayi mana paham soal bersaing, tetapi lebih tepatnya Yasa, Yuda, dan Yoga, memang senang saling mengikuti begitu.

"Maaa, Maaa ...." Mereka terus mengoceh, dan aku amat bahagia bermain bersama mereka sampai lupa satu hal.

Aku baru ingat saat siang itu, seseorang membuka pintu dan nyelonong masuk. Sikap kurang ajar itu jelas, siapa yang berani selain Vivian.

"Kak, ternyata lo udah pulang!" katanya, mendelik. "Gue ini khawatir sama lo, lo gak bales pesan gue, terus--kyaaaaa gemoynya!" Dia tadi mengomel, dan langsung berubah kala menemukan ketiga bayi tampanku. Dia langsung menghampiri.

"Eits, jangan sentuh! Sterilin dulu!" Aku menahannya yang mau mengubek-ubek bayiku dengan tangan kotor itu, enak saja.

"Ih, udah bersih, kok, Kak!" Meski berkata demikian, dia tetap membersihkan tangan. "Utututu lucu--eh kok gitu sama Aunty."

Siapa sangka, Yoga kecil, menjauhkan wajahnya dari Vivian, bahkan Yasa dan Yuda juga ingin kabur dengan merayap. Aku terkikik geli.

"Ih, kok gitu sama Aunty, siii!" Vivian merengek.

"Mau gimana lagi, Vi. Mereka emang belum kenal elo, kenalin diri deh nanti lama-lama juga kebiasa," jawabku masih sedikit tertawa.

Husbandfree [tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang