34; husbandfree

3.2K 206 13
                                    

"Kalau Yasa ingin jadi dokter, ayo! Kalau Yuda ingin jadi masinis, ayo! Kalau Yoga ingin jadi atlet, ayo! Aku ingin cita-cita anak-anak kita terwujud, bukannya ... jadi robot berdasi sepertiku."

Aku sendu mendengarnya, pun mengusap bahu pria itu. Dia bahkan sampai meneteskan air mata, aku tersenyum seraya membantunya menyeka.

"Uh, keknya sih masalahku gak sebanding dengan kamu dan masa lalu kelam kamu, maaf lebay."

"Aku gak akan toxic masculinity, kalau mau nangis ya nangis aja, toh kondisi mental orang kan beda-beda. Menurutku, berat enggaknya masalah, ya tergantung orang itu sendiri." Aku menggendong Yoga ke pangkuanku. "Masa laluku emang kelam, tapi yah, aku udah berusaha berdamai sekarang. Memang gak semudah kata-kata, aku mau lupain itu, tapi aku rasa aku bisa jadiin pelajaran biar di masa depan aku gak melakukan hal sama. Karena dulu, hal itu menyakitiku, maka aku gak mau bikin anakku sepertiku. Tujuan kita kurang lebih sepertinya sama, Arjuna Thomas, mengubah masa depan lebih baik demi anak-anak."

"Yah, aku senang mendengarnya." Dia tersenyum meski sambil menghirup udara dan ingus seperti itu, lucu.

"Apa kamu punya cita-cita yang terbengkalai karena keegoisan orang tua kamu?" Ajun mengangguk akan pertanyaanku.

"Aku selalu pengen jadi ... keknya kamu bakalan ketawa kalau aku kasih tahu."

Aku menatapnya lekat-lekat sambil tersenyum. "Meski aku tertawa bukan berarti aku gak menghargai keinginan kamu, kan?" Kini, dia yang tertawa.

"Aku ... selalu pengen jadi beruang kutub."

Mendengar kelucuan itu, aku jelas tertawa. "Nah, kan."

"Enggak, enggak, maksudku unik aja keinginan kamu, tapi aku rasa jadi beruang kutub sudah terwujud dari lama," kataku, menyeka air mata karena saking tergelaknya tadi.

"Eh?" Dia tampak bingung.

"Kamu putih, pucet, kayak bulu beruang kutub, dan kelakuan kamu dulu, dingin, gak tersentuh, kayak beruang kutub banget kan?" Aku sedikit tertawa. "Pantesan kamu sangat terobsesi dengan beruang kutub."

"Yah ...." Ajun balik tertawa. "Selain jadi beruang kutub, aku juga pengen jadi pembuat film, terutama kartun, karena aku payah ngegambar jadi aku rasa aku gak buruk soal alur ceritanya."

"Oh ...." Aku mengangguk. "Aku rasa kamu bisa lakuin itu, selama ada uang."

"Yah, kurasa, sayangnya aku ragu ada waktu." Dia menggedikan bahu. "Kamu sendiri, apa kamu punya cita-cita yang terbengkalai karena ... masa lalumu?"

"Cita-citaku? Keknya jadi kaya, hidup tenang bersama anak-anak, dan mungkin ... bersama suami. Sebenarnya punya suami gak ada di plan awal, tapi sekarang ...." Mataku terpaku pada mata cokelat ranum berkacamatanya yang kelihatan lugu. Kami saling melemparkan senyuman manis di sana. "You are in."

"Aku akan wujudkan cita-cita kamu, Romansa."

Aku bahagia mendengarnya. "Ya, bantu aku mewujudkannya dengan baik." Kami menatap anak-anak, mereka mengoceh dan tertawa, bahkan sampai berusaha berdiri menggapai kami.

Ah, memang cita-cita yang mengasyikan.

Hari-hari berikutnya sebelum pesta pernikahan, dimanfaatkan dengan banyak hal penting, salah satunya adalah kepindahanku di rumah ini. Rumah yang akhirnya resmi diturunkan untuk Arjuna setelah dia menikah dan punya anak jadi orang tua Arjuna pindah ke tempat lain. Perabot seisinya pun berpindah kepemilikan, dan aku menambahkan sebagian dengan milikku sesuai perjanjian.

Jujur saja, aku tak terlalu mementingkan tinggal di mana, asalkan aman damai sejahtera, setidaknya itu yang aku harapkan kalau-kalau kedatangan sepupu Ajun yang meresahkan. Syukur saja, Ajun memperketat penjagaan.

Pembantu sedikit kami kurangi, bodyguard tetap menjaga, dan dua ART-ku tetap bersamaku. Tinggal di rumah baru tak terlalu buruk, luas megah, meski belum bisa disebut mansion, tapi ini sangat besar untuk ukuran rumah di perumahan elite.

Nasib rumah lamaku? Sekarang akan menjadi sarang Vivian. Gadis itu awalnya jelas sedih akan kepindahanku, tetapi setelah aku beritahu dia akan menjadi penghuni baru di sana dan sendiri aku akan ke sana kapan-kapan, dia bahagia. Lumayan katanya, mengurangi pengeluaran, enak banget dia kira, harus bayarlah dengan tenaga--bersih-bersih dan sebangsanya. Aku harap dia rajin untuk itu.

"Awas lo bawa cowok ke rumah!" Aku mengingatkan dengan kesal.

"Iya, Kak, iya, tapi bawa cowok fiksi gak papa kan?" Tipikal Vivian.

"Serah lo. Oh ya jangan lupa juga, dateng Minggu ini, pesta nikahan gue. Jangan ngabisin prasmanan ya lo!" kataku bercanda.

"Wei, yakali gue ngabisin prasmanan, Kak. Paling-paling satu bakul aja gue abisin." Kami tertawa bersama.

"Ya udah, gue tutup teleponnya, sibuk nih! Daaah!" Panggilan dimatikan sepihak.

Lalu, soal Sarah dan Tyona, mereka juga agak sedih, tapi aku beritahu mereka kalau mau berkunjung ke sini, silakan saja. Dan aku juga pasti akan pulang ke rumah lama. Mereka tak egois akan kepergianku, sih, dan di satu sisi tampak senang hubunganku dengan Pak Ajun mereka membaik.

Meski Ajun mulai nanti tak akan ada di sana juga, sih.

"Titip gaji, eh, salam maksudnya sama Pak Ajun, suami lo, ya, Ros."

"Udah jadi bos besar, jangan lupain kacungnya, naikin gaji kek. Eh eh kami bercanda ya."

Aku dan Ajun di sampingku tertawa mendengar mereka. "Ajun ada di samping gue, nih. Dia dengerin percakapan kita, BTW."

Mereka hening.

"Eh hehe, maaf, Pak. Bercanda."

"Iya, iya, saya ngerti." Ajun menjawab sambil tergelak. "Santai saja, saya bukan Ajun yang itu, saya ... istri teman kalian yang baik dan gak sombong."

"Eh istri?"

Itu bukan typo, kok. "Dia di bawah." Aku menjawab tanpa ragu, dan kemudian ... "Dah, gue sibuk! Nanti dateng ke pesta nikahan gue, ya!" Mematikan sambungan telepon, membiarkan mereka penasaran setengah mati.

Berikutnya, aku berbalik, memeluk Ajun erat sambil berputar bersama dan berciuman mesra. Yah, keseharian kami jadinya hanya bermesraan, khas pasangan baru, seakan tak ada konflik mendalam. Semua lancar, bahkan dengan ketidakadaannya pengganggu, atauapun pengkepo, kami hanya berlima di dunia sendiri.

Dunia seakan hanya milik kami.

Hingga akhirnya, hari H, hari di mana pesta pernikahan terlaksana besar-besaran antara aku dan Arjuna Thomas. Hari ini seakan mengumandangkan keras-keras jika aku, dan Ajun, resmi bersama selain saat hari pernikahan.

Banyak orang di sana, kalangan pejabat, karyawan, dan bahkan orang tersohor, Vivian heboh berat karena kedatangan artis-artis itu, mereka mungkin beberapa dari ribuan husbando Vivian di khayalan. Sarah dan Tyona, seperti biasa, pengkepo handal sahabat-sahabatku ini, dan aku masih memilih menyembunyikan fakta jika Ajun ini baby boy-ku.

Saat ini Ajun, kelihatan gagah dengan jas biru muda yang sepadu dengan dress-ku dan setelan pakaian anak-anak, mereka memakai dasi mungil berbeda warna bak versi mini sang ayah, menambah keimutan mereka semua, ya termasuk Ajun yang imut padahal sepertinya amat jantan di mata orang lain. Kami menyambut para tamu bersama-sama, termasuk tamu ... oh padahal berhari-hari tak melihat wajahnya rasanya tenang, tapi mau tak mau bertemu lagi.

Si Victor itu, bersama anak istri, dan sepertinya membawa seorang pria tua, entah siapa. Wajah Ajun kelihatan gelisah tak nyaman, entah kenapa aku merasa ada yang berbeda di sana.

Husbandfree [tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang