29; husbandfree

3.8K 276 4
                                    

Victor langsung beranjak pergi setelah hal tadi, dan aku merasakan dia tipe-tipe pria licik penuh siasat, aku jadi khawatir dengan anak-anak dan biasanya, firasat seorang ibu ....

Oh, semoga tak terjadi apa pun.

"Rosa, sebaiknya kamu jaga jarak sama orang licik itu," kata Ajun, berbisik padaku, tanpa diberitahu pun sepertinya aku akan melakukannya.

"Kamu ada masalah sama sepupu kamu itu, Ajun?" tanyaku, balik berbisik.

"Dia ... selalu berusaha merebut apa yang aku punya. Dalam ragam hal, aku akui, dia lebih unggul, tapi gak puas sampai di situ, dia ngerebut orang tuaku, perusahaanku, meski akhirnya bisa mengembalikannya, dan aku khawatir dia rebut kamu dan anak-anak dariku, padahal dia punya anak istri," katanya, memegang tanganku, aku kaget akan penuturannya. Punya anak istri katanya. "Kamu gak akan ninggalin aku kan?"

Aku tersenyum geli. "Dia muka-muka bangsaters, gak perlu kamu kasih tau keknya dia udah ada di daftar blacklist-ku, punya istri anak pula, kayak gak ada yang lain aja, aku bukan pelakor." Ajun menghela napas lega.

"Syukurlah, tapi aku yakin dia gak akan berhenti buat ngambil alih perusahaan, entah cara licik apa nantinya." Ajun mendengkus gusar. "Awas aja tu orang nyentuh kamu ataupun anak-anak, aku libas palanya."

"Sabar, sabar, Ajun." Kuusap bahunya lembut.

"Jadi, kita resmi nikah besok?" Aku menggedikan bahu. "Lho? Gak jadi ya?" Tawaku geli karena melihat ekspresi kecewanya yang lucu.

"Iya, iya, Arjuna Thomas. Gak sabaran banget."

Besok kami akan menikah, aku merasa seakan baru kemarin jadi asisten pribadinya. Memang hal yang begitu mengejutkan. Hari-hari bersamanya sebelumnya terasa sangat singkat untuk aku berubah pikiran kemudian mencintainya, sepertinya aku mulai mempercayai ungkapan Vivian kalau aku sudah lama merasakan itu.

Kalau begitu, tinggal Ajun yang berubah, dan akhirnya hati kecil realistisku tak menolak lagi.

Setelah cukup lama anak-anak bersama calon mertua, keduanya permisi pergi, mereka bilang kami berdua cukup tahu beres untuk hari esok, dan sebaiknya kami tetap di sini untuk menginap. Sepertinya orang kaya gampang sekali membuat alur sesuai keinginan mereka tanpa babibu.

Kami kemudian menuju kamar, kamar yang Ajun bilang kamarnya, dan wow aku tak menyangka pria ini bukan sekadar suka, melainkan maniak banyak kartun manis dan imut. Bahkan, hampir tiga lemari isinya action figure, pernak-pernik pun demikian, ini sih kamar impian banyak pencinta animasi kartun.

"Maaf, kamarku agak berantakan." Ajun meletakkan Yasa dan Yuda ke kasur, pun mengambil beberapa pakaian di atas kasur dan meletakkannya di keranjang, dia sedikit merapikan sekitar sebelum akhirnya duduk bersama mereka di kasur putih susu king size itu.

"Duduklah." Ajun mempersilakanku, dan aku menurutinya. Duduk di kasurnya yang amat empuk terasa kemudian mendudukkan Yoga bersama saudara-saudaranya yang lain.

"Gimana tanggapan kamu?" tanyanya.

Sekilas aku menatap sekitaran. "Kamar kamu unik," jawabku, sedikit tertawa. "Kamu fans berat sepertinya."

"Iya, lumayan, dan itu koleksi-koleksiku, setiap tahun aku beli kalau ada koleksi baru ataupun pas aku ulang tahun," katanya, aku mengangguk paham.

"Oh ya ulang tahun kamu bulannya sama dengan anak-anak, meski beda dua belas hari," kataku.

"Eh, sungguh?" Ajun belum tahu soal hal tersebut. "Bisa rayain bareng, dong?" Matanya berbinar antusias.

"Tentu aja, rayakan, karena aku rasa kamu keknya gak pernah rayain ultah, setidaknya yang aku lihat tiga tahun aku jadi asisten pribadi kamu." Aku memikirkan hal tersebut.

"Iya, entah kapan terakhir kali, tapi itu udah lama, itu pun aku sendirian karena yang lain sibuk. Bahkan makin gak berani deket samaku karena ... yah, kamu taulah, aku serem katanya." Aku tertawa, tak mengelak ungkapan itu, memang seseram itu. "Cuman, aku kaget, pas ulang tahunku kali pertama bahkan saat kamu karyawan biasa, kamu ngasih aku bingkisan, kue buatanmu dan ucapan ulang tahun. Jujur aja aku kaget, itu kali pertama aku dapat hadiah lagi setelah sekian lama, awal aku ngerasain ketulusan seseorang samaku."

Dia menatapku, tatapan hangat nan tulus. "Itu awal aku pengen deket sama kamu, dan akhirnya tahun berikutnya, aku ngangkat kamu jadi asisten pribadi."

"Oh, jadi itu alasan kamu? Ternyata kamu lumayan sweet juga kalau bales kebaikan orang, meski gak diketahui kadang."

Ajun tertawa. "Iya, dan aku juga tau kapan kamu ulang tahun, aku terlalu takut bilang sesuatu jadi--"

"Kamu cuman pesen banyak, atau terakhir kali tadi kamu datang ke kedaiku?" Ajun mengangguk. "Yah, aku ngerti."

"Maaf ya, aku pemalu dan susah bergaul saat itu, aku ... penakut."

"Iya, Ajun, aku ngerti kok. Udahlah, yang lalu biar berlalu, sekarang kamu Ajun yang berbeda." Aku mengarahkan wajahnya padaku. "Kamu akan jadi Ajun yang terkenal hangat, baik, rada polos, jangan jadi bermulut tajam. Gak baik buat kamu."

"Iya, aku gak akan jadi Ajun yang itu, Rosa." Kami saling tersenyum, sebelum akhirnya aku memberikan reward ciuman selama beberapa saat.

Kami kemudian mengurus anak-anak, dan aku tak menyangka saking persiapannya, Ajun mengeluarkan keranjang bayi di sana. Dan dalam sebuah lemari, perlengkapan bayi yang masih terbungkus rapi tertata begitu rapi.

"Terima kasih, Papah yang baik," ujarku, tersenyum manis.

"Tuan Muda Arjuna." Saat asyik berkemas, sebuah suara membuat kami menoleh, itu salah satu pembantu Ajun. "Anda dipanggil Nyonya dan Tuan."

"Apa hanya saya?" Ajun memastikan, sang pembantu mengangguk.

"Baiklah, saya akan ke sana." Ajun menatapku sejenak. "Aku akan pergi, apa kalian gak masalah?"

"Pergilah, kami baik-baik aja di sini," jawabku.

"Aku gak akan lama." Dia menciumku sekilas, sebelum akhirnya pergi bersama pembantu itu.

Aku kembali mengurus anak-anak, ketika sebuah suara terdengar.

"Ajun masih sama, ya. Gak berubah. Dia tetap kekanak-kanakan dari dulu." Suara itu ....

Spontan aku menoleh, siapa sangka itu Victor, sepupu yang dibenci Ajun. Pria itu leluasa masuk tanpa permisi karena pintu kamar yang memang terbuka luas. Aku memicingkan mata ke arahnya dan melakukan gestur melindungi anak-anak.

"Kenapa kamu ke sini?"

"Kenapa? Yah, hanya mau ketemu kalian, tapi Ajun ke mana?" tanyanya malah, aku menghela napas gusar. "Oh, apa Ajun doktrin kamu agar sama-sama membenciku? Ajun terlalu benci samaku, keknya. Jangan hanya dengar dari satu sisi, aku bukan orang yang sepicik itu."

"Entahlah ...." Aku menghela napas panjang. "Katanya kamu punya istri dan anak, apa mereka di sini?" tanyaku, menekankan pertanyaan tersebut, dan dia tertawa pelan.

"Yah ...." Dia menggedikan bahu. "Jadi, mereka bertiga, anak-anak Arjuna? Wajah mereka memang sangat mirip dengan bayi raksasa di foto keluarga, tapi bukankah Arjuna mandul?"

Dia mencurigai kebenaran anak-anak Ajun ini? Aku sendiri yang memperkosanya, kemudian Ajun sendiri yang mengeceknya dengan tes DNA, aku tak pernah melakukan lagi selain dengan Ajun.

"Meski dulu mandul, belum tentu akan begitu terus, kan? Banyak cara, jika Tuhan berkehendak, ya kami bisa apa? Toh, Ajun sendiri yang melakukan tes DNA dengan anak-anak," kataku, dan sepertinya dia terbungkam.

Husbandfree [tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang