"Ah, Pak, gak usah merasa bersalah pokoknya, yang lalu biarlah berlalu, toh kalau dilihat dari segi mana pun kan itu kemauan saya, bukan kehendak Bapak. Bapak kan ibarat korban." Aku berusaha mencairkan suasana yang menegangkan ini, aku takut Pak Ajun yang diam pingsan seketika.
Namun, syukurlah, dia kini menatapku hangat. "Benar, itu sudah lalu, yang terpenting adalah sekarang. Aku bakalan berusaha melakukan yang terbaik untuk kamu dan anak-anak, memang itu gak akan bisa membayar rasa sakit kamu mengandung anak-anakku, tapi aku akan berusaha. Katakan apa pun padaku, kalau kamu butuh sesuatu, aku akan pasang badan sekalipun aku sedang dalam meeting penting."
"Uh, Pak, itu berlebihan. Bisa-bisa teman saya dipecat nanti," kataku, sedikit tertawa, tetapi Pak Ajun tampaknya sangat serius dalam perkataannya.
Aku harus jaga-jaga, dia memang pria yang seserius itu.
"Ayo, Pak, makan. Keburu dingin gak enak nih." Aku berusaha mengabaikan hal lain dan fokus ke baksoku, astaga ini bakso enak sekali.
Namun, entah kenapa tak terlalu pedas.
"Pak, Bapak ngurangin levelnya ya?" tanyaku, Pak Ajun yang asyik menyantap mengangguk seraya tersenyum. "Pantas." Tak semercon itu.
"Maaf, tapi kalaupun bukan anak-anak, nanti kamu kenapa-kenapa, aku liat yang makan di sana sampai menangis teriak-teriak." Aduh, lucu juga kalau direkam kemudian diviralkan, aku hanya tertawa hangat bersamanya.
"Oh, iya, saya keknya lupa sesuatu, Bapak bisa-bisa seret kalau gak ada minum," kataku, baru sadar kami makan tanpa ada minuman. "Mau minum apa, Pak?"
"Um ... sepertinya air biasa saja," jawab Pak Ajun, aku mengangguk dan segera mengambilkan minum untuknya.
Berikutnya pun, kami menikmati makan malam itu, bersama ragam chit-chat random, tentang anak-anak, kemudian tentang pisang ijo pagi tadi, dan masih banyak lagi beberapa hal. Ini kali pertama aku bisa sesi curhat simpel begini dengan Pak Ajun selayaknya seorang teman, padahal dulu hubungan bagi bagaikan manusia dan manekin berjalan, karena saking dinginnya Pak Ajun.
Namun, sisi lain ini ... apa memang bisa membuat nyaman?
"Oh ya, gimana soal Minggu depan ketemu orang tua Bapak?" Aku baru ingat hal tersebut.
"Sudah diatur semua, jadi kamu dan anak-anak tinggal aku jemput untuk datang, apa kamu mau aku pesankan pakaian? Aku punya rekomendasi yang cocok."
Aku menggedikan bahu. "Terserah aja, Pak."
"Apa kamu gugup bertemu petinggi Thomas Corp itu?" tanyanya.
Aku menggedikan bahu, perasaanku terlalu abstrak untuk digambarkan. "Kalau Mamah, dia mungkin bisa sedikit lebih hangat, tapi papahku, pria tua itu sangat menyebalkan, cuma kamu bisa mengabaikannya karena kamu ibu dari calon pewaris."
"Menyebalkan? Seperti Bapak dulu?" tanyaku, bercanda.
Pak Ajun hanya tertawa. "Begitulah, aku copy kelakuan dia karena stres berat."
"Kalau begitu, rasanya bukan masalah besar." Kami berdua tertawa.
"Aku bersyukur kala kamu perkosa, aku sepertinya sangat bahagia dapat kue cucur enak gratisan walau agak stres sedikit karena kamu tinggalkan, meskipun kue itu dicampur obat tidur, sepertinya kan?" katanya menerka.
Dia tak keliru, meski demikian aku kaget dia berpikiran sama denganku. Stres berat yang membuat junior Pak Ajun loyo.
"Hal bodoh untuk disyukuri," jawabku, kembali kami tertawa renyah, andai rumah ini tak cukup luas dan jauh dari tetangga lain, sepertinya akan jadi bahan pertimbangan dilaporkan ke pihak berwajib.
Kami selesai makan, kini sepertinya tiba saat di mana Pak Ajun akan pulang, tetapi sebelum itu kami menuju kamar anak-anak, membiarkannya menikmati momen melohat bayi-bayi kecil kami seraya melakukan bonding ayah dan anak. Pak Ajun kelihatan terus tersenyum.
"Papah pulang dulu, ya, Sayang. Yoga, Yasa, Yuda," katanya, sambil menatap anak-anak sesuai nama mereka, dan aku tak menyangka dia tak tertukar.
Aku tersenyum manis. Pemandangan ini terasa hangat, tetapi kemudian bayang-bayang pemukulan di masa lalu mengagetkanku sejenak, aku menunduk seraya menggeleng.
Bukan, ini berbeda.
"Romansa, aku sudah selesai." Aku mendongak dan menatap Pak Ajun.
"Ah, iya, Pak." Kami pun perlahan mulai berjalan keluar bersama.
"Oh ya, Rosa, apa kamu ... enggak berniat mengubah gaya bicara kamu?" Aku menatapnya bingung. "Aku-kamu, dan jangan ada embel-embel Pak?"
"Uh oh, apa gak papa, Pak?" Aku bertanya balik walau sepertinya itu pertanyaan yang keliru.
Ia tertawa. "Kan aku minta sendiri, Rosa. Jadi, aku enggak keberatan. Lagipula, aku bukan atasan kamu lagi, aku ini ... calon suami kamu."
"Eh?"
"Maksudku, ayah dari anak-anak," ralatnya, walau sebenarnya aku tak setuli itu, dia pasti sengaja salah. Pak Ajun sepertinya cukup percaya diri ingin mempersuntingku.
"Yah ...." Aku tahu hati kecilku tak bisa menerimanya, tetapi di satu sisi ada secercah keinginan, yang sayangnya diliputi rasa takut. Aku melipat lengan di depan dada, bermaksud memeluk diriku sendiri, dan kami pun berhenti di balik pintu yang tertutup.
"Mm Rosa." Kembali, aku mengangkat kepala menatapnya. "Aku tidak bermaksud membebani kamu dengan ungkapanku."
Aku menggeleng dan menghela napas. "Enggak papa, kok. Aku ... tau kamu memang sepercaya diri itu dari dulu, Ajun." Aku menjawab seadanya dengan agak dilema. Aku sudah janji tak akan melarang, tapi bukan berarti semata-mata pula menerima.
Dia tampak semringah, entah karena jawabanku atau gaya bicaraku yang aku ubah untuk memenuhi hasratnya.
"Tapi kalau boleh jujur, meski rapat, nyatanya pintunya rapuh, kalau kamu buka dengan kasar." Ini perumpamaan, jangan sampai Pak Ajun mengartikannya dengan pintu di hadapan kami.
"Iya." Ajun menjawab, tersenyum, dan kini menghadapku. "Aku mengerti."
Aku membukakannya pintu, dan kemudian dia keluar dari rumah menuju mobilnya yang terparkir di halaman. Dia sejenak melambaikan tangan ke arahku, sebelum akhirnya masuk ke mobil dan menjalankannya menjauh dari rumah.
Aku memandangi kepergiannya yang tak butuh waktu lama hilang dari pandangan.
Akan tetapi, memori tadi terekam jelas di ingatan, dan kemungkinan besar masuk kategori lumayan mengejutkan karena selama tiga tahun bersama Pak Ajun, aku baru ingat aku bahkan dilarang makan bersamanya karena katanya dia tak suka dilihat saat makan.
Bagus, Ajun, poin plus pria itu bertambah. Aku tak bisa mengganggu gugat karena keputusanku sendiri tak menghalangi segala perbuatannya padaku meski diberi kesempatan memilih.
Mungkin, memang ada rasa di dada, tapi terkerubungi trauma ....
Aku memejamkan mata sejenak setelahnya membuang napas gusar, pun melangkah masuk dalam rumah dan menutup pintu, menguncinya kemudian. Sedikit beres-beres, barulah aku terlelap di kamar seraya mengharapkan, esok akan lebih baik.
Pagi menyambut, kegiatanku seperti biasa, tetapi aku menemukan sebuah pesan di ponsel yang tak biasanya aku dapatkan. Pernah aku dapat dari orang yang sama, tapi bukan begini isinya.
"Pagi, Rosa, apa kamu dan anak-anak sudah makan? Sepertinya iya kalau pesannya sudah dilihat. Bolehkah aku berkunjung pagi ini? Mumpung jadwalku lengang. Kamu mau dibawakan sesuatu?"
Sepertinya, pertemuanku dan Pak Ajun akan semakin intens, yang bisa saja membuat dunia tahu bahkan sebelum hari H aku bertemu orang tuanya. Apa itu hal baik?

KAMU SEDANG MEMBACA
Husbandfree [tamat]
Romance[21+] Nekat dan TOLOL Adalah hal yang bisa disematkan pada Romansa Nugraha, wanita 27 tahun, seorang asisten pribadi yang di luar kalem, nyatanya di dalam rada gila. Bagaimana tidak? Dirinya bukan penganut childfree, melainkan husbandfree--menurutny...