"Sekarang, saya akan bertanggung jawab, Romansa. Tenang saja, segala kebutuhanmu dan bayi kita akan terpenuhi! Saya janji akan jadi suami dan ayah yang baik! Saya ... ah ... astaga, maaf lancang pasti bagi kamu pemerkosa seperti saya malah bersikap begini, maaf. Namun, sungguh, kebahagiaan ini, sangat tak bisa saya tahan."
Tanpa disangka, padahal tak steril, Pak Ajun menggendong Yoga. "Sayang, kamu anak Papah kan? Ah kamu sangat mirip Papah. Pria tua itu keliru terhadap Papah, mereka semua keliru, kamu lahir! Kamu lahiiir!" teriak Pak Ajun girang, dan yang harusnya biasanya menangis, Yoga malah tertawa. "Anak Papah, utututu, sini Sayang!" Dan Pak Ajun mencoba menggendong ketiganya.
Ini kenapa, sih?! Kenapa Pak Ajun tiba-tiba gila.
"Pak, turunkan anak-anak saya!" titahku berdiri kesal, dan seketika aku menghentikan kebahagiaan Pak Ajun dengan anak-anak, dia menurunkannya tetapi siapa sangka anak-anak merengek ingin tetap menempel.
Mataku melotot.
"Maafkan saya yang lancang, Romansa. Saya tahu ini berat bagi kamu, diperkosa saya, menutupi kebejatan saya, sekarang kamu tak perlu takut. Saya--"
"Pak, stop, ini-ini memusingkan!" Aku menghentikan ungkapannya yang semakin ngawur. "Bukan, bukan Bapak yang memperkosa saya, saya yang perkosa Bapak."
"Oh, tak masalah siapa yang memperkosa, tapi sudah jelas kan ini Yoga, Yasa, dan Yuda, anak kita kan?"
"Pak, stop, Bapak gila ya?!" Aku frustrasi sendiri, aku kira aku yang gila, ternyata atasanku yang biasanya dingin dan datar, menjadi ceria begini.
Ya perubahan ini jelas tak masuk akal!
"Pak, begini rencana saya, Bapak mau tau kan? Bapak itu jadi sasaran saya buat punya anak, karena Bapak kandidat yang bagus, tapi saya cuman pengen anak, dan minjem sperma unggul Bapak doang. Harusnya, Bapak marah kan? Marah harusnya, Pak!" Aku frustrasi berat sekarang, hingga menjelaskan kisah sesungguhnya, rasanya itu melancar keluar begitu saja tanpa aku sadari.
"Oh ...." Dia malah berkata itu saja. "Kalau begitu, saya yang meminta pertanggungjawaban kamu, sama saja kan?"
Aku menggaruk kepala frustrasi. "Gak, gak bisa, Pak. Saya gak mau menikah, punya suami itu ribet dan menyebalkan! Makanya saya maunya cuma anak buat keturunan saya! Apalagi, model kayak Bapak yang hobi julid, meresahkan, bahkan bikin asisten pribadi gonta-ganti dengan mudahnya! Gak kuat saya Pak, mental saya bisa meledug!"
Pak Ajun menatapku, polos, kemudian berkedip beberapa kali.
"Oh, saya mengerti, sifat saya memang menyebalkan ... tapi, saya bisa mengubahnya. Karena bukan tanpa alasan, saya bersikap demikian, dulu saya gak begini, meski itu tak bisa jadi pembenaran, akan saya katakan. Saya sedari kecil hidup dalam ucapan kritikan orang sekitar saya, terutama dari orang tua saya, soal kerja, asmara, bla bla bla, termasuk memberikan pewaris. Sebelum saya nikah, saya dites saat itu, dan siapa sangka saya divonis impoten, yang saya yakin akibat stres berat. Namun, saya tetap dinikahkan, berharap sembuh, tetapi sayangnya, tak ada hasil setelah dua tahun, jadi kamu tahulah betapa menggunjingnya mereka kepada saya sebagai calon pewaris, dan keturunan pewaris, malah zonk. Saya frustrasi, apalagi saya ditendang ke perusahaan cabang sementara sepupu saya yang malah dapat jabatan lebih tinggi. Namun, para orang tua itu harus melihat sendiri, saya ini tokcer, bahkan dapat tiga! Tigaaa, Romansa!"
Dia memperlihatkan tiga putraku ke arahku, seakan itu adalah trophy kemenangannya. Dan aku semakin kaget akan fakta yang diungkapkan, Pak Ajun itu duda?! Aku sepertinya benar-benar tak tahu latar belakangnya, termasuk fakta lain jika dia dulu ... mandul.
"Sifat saya mengkritik orang lain karena rasa kesal saya pada mereka, bukan karena saya benci seseorang itu, tapi karena sekarang saya sudah bebas dari kutukan itu, saya janji sama kamu. Saya akan jadi suami, sekaligus ayah yang baik. Saya berani jamin, Romansa!"
Aku menepis tangan Pak Ajun yang memegang tanganku, dia terlihat heran.
"Saya ... saya gak mau punya suami."
"Kamu kenapa menolak, Romansa? Saya sudah janji, dan itu pasti ditepati, saya--"
"Ini bukan soal janji, Pak, tapi ini soal saya, saya gak mau punya suami, ataupun menikah, titik."
"Ah?"
"Oke, kalau Bapak mau jadi ayah untuk anak-anak, saya tak bisa lagi mengelak soal itu, tapi soal jadi suami saya, enggak. Saya menolak tegas."
"Kenapa, sih, Romansa? Apa kamu gak memikirkan perkataan orang-orang soal--"
"Bodoh amat sama perkataan orang lain, saya gak peduli, Pak. Yang penting, saya gak mau menikah ataupun punya suami. Saya ini husbandfree."
"Husbandfree?" Pak Ajun kelihatan bingung.
"Intinya, saya ogah! Tapi, kalau Bapak mau ngurus anak-anak, oke, baiklah, saya gak bisa ngelak sesuai yang saya bilang. Terlepas omongan orang-orang, bodoh amat, Pak. Dan saya harap, Bapak gak pernah jahatin anak-anak saya!"
Pak Ajun melongo, pasti dia merasa aneh dengan prinsipku. "What? Saya justru aneh ternyata ada wanita yang memilih hanya punya anak, tanpa suami, bahkan nekat melakukan hal paling konyol memperkosakan diri sendiri pada lelaki."
"Ya ...." Aku terdiam akan ucapannya yang lumayan menohok. "Ya saya gak mau, punya suami itu ribet, apalagi kalau mereka pemabuk, tukang judi, tukang mukul, dan suka berkata kasar!"
"Oke oke, begini, Romansa. Kamu pasti tau, saya anti alkohol, saya gak suka, kedua, untuk apa judi? Uang saya bejibun. Ketiga, saya bukan pemukul, memangnya algojo? Dan terakhir, sepertinya ucapan saya tak sekasar itu, hanya kritik fakta, dan saya sudah janji tak akan begitu lagi. Ini janji saya sebagai pria."
"Tetap saya menolak." Aku bersikeras.
"Kenapa, sih? Apa yang salah sekarang? Kalaupun bukan demi saya, apa tak bisa demi anak-anak? Akan sulit bagi mereka kalau kita orang tua tanpa status!" katanya lebih bersikeras.
Aku mendengkus. "Saya lebih milih diseret ke kantor polisi, kebanding ke pelaminan bersama Bapak, Pak."
Mata Pak Ajun melotot. "Baiklah, kalau kamu lebih memilih ke meja hijau! Saya akan meminta pertanggungjawaban kamu karena sudah memperkosa saya! Saya akan paksa kamu mengakui dosa-dosa itu dan bertanggung jawab atas janin yang kamu kandung!"
Ini ... ini kebalik enggak sih?
"Bagaimana, terdiam hm?" Pak Ajun menatapku dengan senyum angkuhnya, ini kali pertama aku lihat dia senyum begitu.
Kali pertama dengan semua tingkah konyolnya tadi, tawa senyum gila. Tampaknya, suatu peristiwa bisa mengubah kewarasan seseorang, aku tak kaget karena sendiri mengalaminya.
Terlepas itu, sialan si Arjuna Thomas malah mempermainkanku dengan kata-kataku sendiri.
"Gak, Bapak gak mengerti, intinya saya tetap gak mau bersanding dengan Bapak, lagian tetap menguntungkan ketika Bapak jadi ayah anak-anak? Lagi, juga, Bapak mana cinta sama saya kan? Pikirkanlah lagi!"
"Kata siapa saya gak cinta sama kamu? Saya justru cinta sama kamu, meski yah karena trauma bodoh saya, saya malah dorong kamu menjauh, bahkan saat kabar kamu punya anak dengan seseorang yang belum saya tahu, saya cemburu abis! Namun di satu sisi, saya juga malu bersanding, berpikir saya pria mandul, tapi kalau begini, ya justru kondisinya bagus kan?"
Pengakuan cinta macam apa ini?! Tolonglah, ini bukan novel yang sering Vivian baca. Aku jadi pusing.
KAMU SEDANG MEMBACA
Husbandfree [tamat]
Romance[21+] Nekat dan TOLOL Adalah hal yang bisa disematkan pada Romansa Nugraha, wanita 27 tahun, seorang asisten pribadi yang di luar kalem, nyatanya di dalam rada gila. Bagaimana tidak? Dirinya bukan penganut childfree, melainkan husbandfree--menurutny...