28; husbandfree

3.4K 297 15
                                    

Hari berlalu, seiring waktu aku sering menghabiskan waktu dengan Ajun dan anak-anak, hingga aku rasa bonding kami semakin terjalin dan seiring itu pula, aku rasa hatiku yang repih, takut, seakan terobati dan menerimanya masuk ke dalam hidupku.

Dan di hari H inilah, penentuannya, apakah aku akan bisa bersanding dengan Ajun, atau tidak?

Jika ya, aku akan bersyukur.

Jika tidak, aku ... yah, pasrah.

Karena memang dari awal, hubungan ini diawali ketololan seorang wanita yang hanya ingin anak, apa tanggapan orang tua Ajun nanti? Kami harus jujur pada mereka yang punya kuasa mencari seluk belukku semuanya.

Gugup sekaligus takut, itu yang aku rasakan kala Ajun menjemputku. Dia menggunakan supir pribadi kali ini, dan aku pun duduk di belakang bersama anak-anak di kursi khusus masing-masing. Entah kenapa, sepertinya dia paham dari ekspresiku, hingga menggenggam erat tanganku.

Aku menoleh ke arahnya, dan membalas senyumannya agak kecut. Ternyata sebenarnya, kami sama-sama kelihatan gugup, dan pegangan tangan ini bak sedang menaikkan kepercayaan diri satu sama lain. Dia pasti punya masalah tertentu dengan orang tuanya.

Aku rasa aku harus mengalihkan ketegangan dengan basa-basi.

"Pakaian kita kayak pakaian keluarga, ya," komentarku karena memang kenyataan begitu. Ajun memesan ini semua untukku, anak-anak, dan dia. Kami memakai seragam navi krim seirama.

"Iya, kamu suka kan?" Aku sebenarnya sudah menjawab itu kemarin-kemarin saat bajunya datang, sempat aku mengetesnya pada anak-anak.

"Iya, anak-anak kelihatan lucu makenya, kayak kamu versi mini," kataku, kami memang basa-basi menghilangkan kegugupan.

"Dan kamu, kelihatan amat cantik." Level Ajun semakin meningkat, dia jadi ahli dalam bidang baru, gombal.

Tak lama, kami sampai di tempat tujuan, rumah yang kalau aku sebut, lebih mirip istana. Padahal ini bukan kali pertama aku ke sini, meski sudah lama sekali, tapi tujuan yang berbeda mengubah pandanganku soal itu semua.

Aku semakin gugup kala keluar mobil, sambil menggendong Yoga, sementara Ajun menggendong Yasa dan Yuna. Hawa-hawa sekitar terasa makin menegangkan. Namun, dengan segenap keberanian, aku pun mengikuti Ajun masuk ke rumah itu, dan kami disambut pembantu yang ada.

Kami lalu dituntun menuju ruangan besar, ruang keluarga sepertinya, dengan ragam interior mewah, televisi berlayar menyatu dengan dinding, serta akuarium raksasa. Anak-anak tampak senang melihatnya.

Namun, fokusku ke arah sofa, ternyata ada seorang pria, sepertinya seumuran Ajun, duduk santai di sana seraya memainkan ponselnya.

"Tunggu, ngapain lo di sini?" Ajun tiba-tiba angkat suara, nadanya terdengar tak bersahabat.

Si pria itu, mendongak menatap kami, ada senyum yang entah kenapa menjengkelkan. "Wah, Jujun, sepupu cupu gue! Wah, itu cewek lo dan anak-anak lo ya? Gila sih, cans banget." Dia berdiri dan mendekatiku. "Kenalin, aku Victor, sepupu Arjuna." Tangannya terulur ke arahku.

Sepupu ... oh, aku ingat Arjuna pernah menceritakan kalau kepemimpinan di perusahaan utama diserahkan ke sepupunya. Aku tak menyangka dia berhawa menyebalkan.

"Saya Romansa, tapi maaf, saya lagi gendong anak," tolakku, dan aku lihat sekilas Arjuna tersenyum puas.

"Oh, baiklah, biar aku bantu." Tanpa disangka, dia menarik tanganku yang memang aman-aman saja jika dilepas dari gendongan, kemudian menyalaminya sendiri, dan tanpa aku sangka mencium punggung lenganku.

"Lo minta mati, ya?" Ajun melotot, dia pasti amat kesal, tapi karena di gendongannya ada anak-anak dia berusaha menahan diri.

"Whoa whoa, santai, gue cuman mau kenalan. Gak baik tau ngomong kasar di hadapan anak-anak, meski masih kecil mereka paham nada bicara lo." Pria itu menunduk, seakan mati kutu, ternyata sepupunya si Victor ini pandai bersilat lidah.

"Sorry about that, Romansa. Aku cuma mau kenalan." Dia mengerling, aku akui dia tampan, tapi ... dih, sikapnya sangat tidak banget.

"Kenapa kalian berdiri di sana? Duduklah!" Aku segera menoleh ke sumber suara begitupun yang lain, dan aku temukan sosok pria gagah meski sudah keriput, mirip Ajun, bersama wanita yang terkesan awet muda, berdiri tak jauh dari kami.

Oh, itu orang tua Ajun.

Mereka lalu duduk duluan, dan kami menyusul di sofa seberang, sedang sepupu Ajun itu di sofa solo sampingku. Sekarang, aku benar-benar gugup karena benar-benar menghadap mereka berdua--sang raja ratu dari segala raja ratu Thomas Corp. Lalu entah kenapa, isi kepalaku langsung kosong, aduh bagaimana ini?

"Jadi, Romansa Nugraha, dengar-dengar kisahmu dan Ajun, sangatlah unik?" Pertanyaan pertama keluar dari Nyonya Thomas, aku menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya menjawab.

"Iya, Nyonya, eh maksud saya Mbak, eh maksud saya Tante, eh maksud saya--"

Sang wanita hanya tertawa akan tingkahku, mendiamkanku segara. "Dia terlalu gugup, harusnya kamu ajari dia setidaknya berpidato di depan orang tuanya sendiri, Arjuna."

"Mah, Romansa yatim-piatu."

"Uh, oops, maafkan Mamah, Romansa. Mamah lupa soal itu." Mataku melotot, Mamah? "Benar, panggil saja Mamah."

Kalau begitu ... kami ....

Aku menatap Ajun yang kelihatan tersenyum puas.

"Dengar-dengar, kamu mantan asisten pribadi Arjuna?" Kali ini, pikiranku teralih, Tuan Thomas yang bicara. "Dan pemilik kedai tradisional laris manis itu?"

"Be-benar ...." Apa aku harus memanggil dia Papah?

"Sama seperti Mamah dong, Mamah juga mantan asisten pribadi Papah di masa lalu, like father like son, huh?" Tanpa ragu, mereka berciuman di depan kami selama beberapa saat.

"Honey, ada cucu kita di sini, nanti saja." Nyonya Thomas menegur.

"Haha, maafkan aku. Arjuna, Romansa, bisa berikan cucu Papah? Kemarikan mereka." Ternyata, tidak sesulit yang aku pikirkan, aku terlalu ber-negative thinking tak diterima.

Baik aku dan Ajun, tahu itu, benar-benar bahagia. Kami pun memberikan anak-anak kami pada kakek nenek mereka, tetapi jelas sempat ada rengekan karena ketiganya menganggap keduanya orang asing, syukur saja sedikit pengertian, mereka mau digendong.

"Jadi, kapan kalian menikah? Akan lebih baik kalau lebih cepat, karena Mamah resah dengan tindakan konyol Romansa." Sesuai ucapan Ajun, memang pedas ternyata ungkapan orang tuanya yang sangat jujur, tapi aku senang karena diterima.

"Sesegera mungkin setelah ... semuanya beres?" Ajun menjawab ragu, dia menatapku seakan minta keyakinan.

"Secepatnya, Mah, Pah." Aku menatap Ajun hangat. "Kalau bisa besok pun, bisa." Kedua pipi Ajun memerah.

"Oh, tentu saja, semua bisa diatur."

Seriusan?! Aku yang asal menyebut langsung kaget, melongo, begitupun Ajun.

"Dan Arjuna, mulai sekarang, kamu akan dipindahtugaskan mengurus perusahaan utama, lakukan dengan baik." Ajun pasti bahagia karena perusahaan kini kembali di tangannya.

"Pasti, Pah. Aku akan melakukan yang terbaik." Kemudian, dia menatap Victor, aku hampir lupa jika ada Victor di sini yang hanya diam, dengan ekspresi ... yang sulit aku katakan.

Tanpa aku sangka, Ajun memberikan middle finger padanya, dan berikutnya Victor malah tersenyum bengis.

Husbandfree [tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang