Setelah percakapan soal bisnis itu, Victor pun memutuskan pergi, aku dan Vivian menemaninya ke depan dan ia tampak melepaskan kacamatanya.
"Vic, sebaiknya kamu memakai kacamata saja saat berkendara, bisa-bisa kamu bermasalah karena, yah, kamu tau, bahkan sedekat tadi kamu gak mengenali saya," tegurku, dan Victor menghela napas gusar.
"Baiklah, terima kasih sekali lagi, Rosa, Vivian. Aku ... pergi ...."
Dan akhirnya, Victor pun pergi dengan mobilnya. Berikutnya, aku tertawa.
"Kak, lo kok ketawa?" tanya Vivian, wajahnya keheranan saat aku menatapnya.
"Ya lo aja nahan tawa liat gembel itu, kan?" Mendengar penuturanku, Vivian juga ikut tertawa.
"Eh, gak kasian lo, Kak! Sepupu Ajun tuh!" Yah, andai Vivian tahu perangainya, dia pasti tak akan bilang begitu. "Emang lucu, sih. Cuman dia kenapa, sih? Berantem sama istri?"
Aku hanya menggedikan bahu tak menjawab, pun duluan meninggalkan Vivian.
"Ish, Kak. Lo suka banget ngegantung pertanyaan gue!"
Aku, sih, masa bodoh.
Kembali berfokus pada anak-anak, entah kenapa aku ... mau sedikit jalan-jalan. Apa tak masalah berkunjung ke tempat kerja lama? Itung-itung, mengunjungi dua sobatku yang sudah amat jarang kami bersua.
"Vi, bungkusin beberapa kue, dong. Gue mau blusukan ke kantor lama gue," kataku.
"Sama anak-anak?" tanyanya.
"Ya jelaslah, yakali gue tinggal." Dia cemberut. "Di sini ngawasin siapa? Lo ada gantinya?"
"Gue boleh ikut?"
"Hm, iya, ikut aja, tapi kalau toko ada apa-apa, lo tau kan siapa yang bakalan tanggung jawab." Aku tersenyum manis, dan Vivian terisak main-main. "Ck, bercanda, nanti gue minta orang lain jaga. Lo boleh ikut, oke?"
"Yippie! Gitu, dong, Kak! Masa baru ketemu, lo udah pergi aja." Aku menghela napas dan masih tersenyum.
Usai itu, kami pun berangkat ke kantor lamaku, kantor yang sudah sangat lama tak aku jajaki karena resign hampir dua tahun lamanya. Siapa sangka saat datang, semua menyambut hangat dan sopan, mungkin karena mereka tahu kedudukanku sebagai istri pemimpin mereka.
Bahkan, atasan baru di sana pun, jadi orang yang langsung cari muka padaku. "Bu Thomas," sapanya hangat. "Ada apa Anda ke sini sama anak-anak Ibu?"
"Jika Bapak enggak keberatan, saya hanya ... mau mampir sebentar. Karena rindu sama tempat kerja saya yang lama."
"Oh, bukan masalah, Bu. Silakan, silakan." Jelas sih dia tak berani keberatan, padahal aku orang luar tanpa kepentingan.
"Tak usah hiraukan saya, Pak. Saya hanya sekadar mampir sama ini ...." Aku menunjuk bingkisan besar yang dibawa supir dan Vivian, cukup banyak isinya, kantor cabang ini memang tak terlalu besar jadi aku rasa perhitunganku cukup baik menyesuaikan semua orang, lalu dua orang dapat paket spesial. "Buat para karyawan dan karyawati, termasuk Bapak. Lanjutlah saja bekerja, saya gak akan mengusik, kok."
Namun, jelas mereka terusik. Mungkin ada orang yang berpikir aku jadi mata-mata Arjuna Thomas di kantor cabang ini, siapa yang tahu.
"Ah, terima kasih banyak, Bu. Letakanlah di sini, nanti akan dibagikan." Sesuai ucapannya, kami meletakkan di meja. "Sekali lagi, terima kasih, Bu Thomas." Uh, aku tak terlalu suka dipanggil Romansa Thomas, nama belakangku sebenarnya tetap Nugraha. Akan tetapi, ya sudahlah.
"Iya, Pak, sama-sama. Kalau gitu saya permisi dulu, ya, Pak, dan yang lain. Saya mau temuin temen saya. Boleh, kan?"
"Boleh, Bu. Silakan. Apa mau saya antarkan?"
"Gak usah, Pak. Ayo, Vi!" Segera, aku beranjak bersama Vivian dan babysitter-ku. Kami masing-masing menggendong satu anak-anak, dan Yasa ada di pelukanku, Yoga menggendong Vivian, dan bibi menggendong Yuda.
Omong-omong, biasanya saat bertemu banyak orang, pastilah anak-anakku jadi rebutan, tetapi entah kenapa semuanya kelihatan terlalu jaga jarak dan takut. Apa karena posisiku sekarang? Meski demikian, aku tak masalah, aku tak suka anak-anakku dipegang-pegang apalagi kalau tangannya lupa steril.
Kini, aku sampau di lantai di mana teman-temanku bekerja, ke kubikel mereka yang berdekatan, aku mengintip mereka yang keliatan sibuk. "Psst psst, ngapain sih? Serius amat."
Tyona, yang baru sadar keberadaan seseorang, mendongak, aku tersenyum kala melihat wajah syoknya. "Eh, Rosa!"
Jelas karena suaranya yang melengking, Sarah yang asyik menelepon menatap juga, tetapi dia meminta waktu dari gerakan tangan untuk mengakhiri panggilan.
"Ros, lo dateng ke sini sama anak-anak, waaah!" Dia tampak memelukku hati-hati karena keberadaan Yasa di pelukan. "Sama siapa aja? Ah, Vivian, Bibi. Ih, lucunya."
"Gue ke sini cuman mau mampir sama nih, buat makan siang, bagi berdua ya." Aku meletakkan bingkisan kotak di tangan ke meja Tyona.
"Wah, makasih banget, Ros!" Bukan Tyona yang menjawab, melainkan Sarah sekarang. Dia juga ikut memelukku dan berusaha menggendong Yasa, jelas aku menepis tangannya karena kotor.
"Ih iya iya hampir lupa, hihi." Vivian menyerahkan pembersih tangan dan barulah, aku menyerahkan Yasa padanya. "Uuu lucunya aaaa!"
"Gue ganggu kalian kerja ya?" tanyaku.
"Yah, ini jam kerja, cuman gak ganggu ganggu banget. Kami juga perlu hiburan." Aku tersenyum mendengarnya, meski demikian berikutnya menatap sekitar.
Beberapa orang menatap, rasanya tak nyaman, terkesan aku memberikan privilege untuk dua sobatku itu, mentang-mentang mereka sahabatku. Selepasnya sih, aku terbiasa dengan tatapan merendahkan apalagi setelah semua yang aku lakukan pada Ajun tersebar.
Aku hanya kasihan pada dua sahabatku saja, sih.
"Oh ya, nanti aja ya kalian rehatnya." Aku menyambut Yasa lagi dari tangan Sarah, Sarah merengek.
"Yah kenapa?" Aku melirik sekitar, dan syukur saja mereka paham hal tersebut.
"Oh ya, kalian kalau mau lanjut lagi, gue ada di toko nanti, seenggaknya ampe malem nanti pulangnya."
"Oke, deh. Nanti kami ke sana."
"Sip! Gue pergi dulu. Dah!" Dan berikutnya, kami beranjak pergi meninggalkan kantor yang sangat menghormatiku--walau dalam hati, mungkin hal lain, tetapi aku tak terlalu peduli.
Kini, saat berada di luar, sebelum masuk mobil, aku menatap perusahaan tempatku sempat bernaung itu. Selain bayangan aku menjadi fresh graduate yang melamar, ataupun bayangan aku resign pun juga ikut di sana, aku jadi terpikir soal hal-hal kecil nan konyol dan bahkan jauh lebih tolol jika aku pikirkan sekali lagi.
Dan kemudian, bayangan kenangan demi kenanganku bersama atasan yang dulu sangat julid melebihi emak-emak sen kiri belok kanan.
"Kak, ngapain bengong di luar?" tanya Vivian, menyadarkanku dari lamunan.
Aku menatapnya yang sudah ada di dalam dengan senyuman. "Biasalah, nostalgia." Pun aku meletakkan Yasa di tempatnya, barulah masuk dan duduk di sampingnya Vivian.
Tak lama, kami pun sampai di kedai kueku lagi, masuk ke sana dan menuju ruanganku kembali. Melanjutkan aktivitas biasa, layaknya hari-hariku dulu sebelum menikah.
Tak ada yang berubah, masih semenyenangkan itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Husbandfree [tamat]
Romance[21+] Nekat dan TOLOL Adalah hal yang bisa disematkan pada Romansa Nugraha, wanita 27 tahun, seorang asisten pribadi yang di luar kalem, nyatanya di dalam rada gila. Bagaimana tidak? Dirinya bukan penganut childfree, melainkan husbandfree--menurutny...