3; husbandfree

11.8K 479 25
                                    

Hari yang aku tunggu-tunggu, akhirnya tiba. Hari di mana pesta sekaligus penanaman benih akan terjadi. Sesuai yang aku katakan, jelas sekali, atasanku yang terhormat datang. Seorang Arjuna Thomas menampakkan diri, dari ponsel yang aku genggam terdapat rekaman CCTV di sana, Pak Ajun sosok yang penyendiri itu memakirkan mobil tepat sasaran di sekitar tempat yang aku wanti-wanti akan digunakannya. Tidak sia-sia tiga tahun aku mengamati kepribadiannya.

Selain itu, saat keluar mobil dan beberapa karyawan menyapa, Pak Ajun hanya mengangguk, dia berjalan cepat hingga hilang dari area CCTV. Aku tersenyum dan memasukkan gawaiku ke tas.

Tak butuh waktu lama untuk aku melihat Pak Ajun datang secara nyata di depan mata, karena kini aku berada tepat di ambang pintu menyambut orang-orang masuk.

"Pak Ajun!" sapaku, hangat, dia mengangguk.

"Terima kasih atas undangannya," jawabnya, aku mengangguk, dan dia berjalan cepat masuk ke dalam.

Dia tak akan benar-benar bisa menikmati pesta dengan sikap agak tertutup itu, satu-satunya privilege yang dia punya hanyalah kekuasaan sang ayah, dan kurang lebih wajah memikatnya.

Dan dapat ditebak, kemungkinan besar, dia hanya menuju ke tempat kue terdekat, mencari-cari kue favorit yang diinginkannya.

Sayangnya, saat ini, aku sengaja tak menghidangkannya. Saat aku ikut ke dalam guna memperhatikan, ternyata Pak Ajun tengah berbincang dengan gestur tak nyaman bersama beberapa orang di sana, tepat di dekat meja letak kue-kue berada. Dia sesekali menyesap minuman sirup di tangan, dan aku tersenyum manis seraya menunggu.

Menunggu dan menunggu.

Tepat kala orang-orang itu beranjak, Pak Ajun tetap ada di sana, sedikit tidak sabar menunggu pelayan yang lewat.

Pucuk dicinta, ulam pun tiba, pelayan nomor dua sebelah kiri yang membawa cucur spesial adalah kunci utama. Aku segera menghampiri sebelum seseorang mendahului, menyambut salah satu piring mungil yang ada, piring mungil nomor enam.

Ya, ini tepatnya.

Setelah itu, barulah aku menghampiri seorang Arjuna Thomas.

"Pak," sapaku hangat, Pak Ajun menatapku dengan bidikan mata tertajam yang pernah ada di balik kacamata tebalnya. "Sepertinya Bapak nyari kue ini? Maaf, sempat ada kesalahan teknis jadi perlu membuat ulang."

"Oh, tidak juga, tapi terima kasih." Dia tetap saja agak tsundere, padahal dia hobi memesan itu hampir setiap hari, entah kenapa masih saja dia terlalu tebal muka mengakui. Lalu, saat ini saja, meski berkata demikian, dia menerima kue itu dariku.

"Baiklah, Pak, saya permisi dulu. Selamat dinikmati, Pak."

"Ya, terima kasih."

Aku beranjak sedikit darinya, dan sesuai dugaan, aku perhatikan ia makan bak Tuan Putri. Padahal, dia pasti amat menikmati, lalu saat habis pun, agak mengendap-endap pria itu mengambil kue lain dan memakannya tanpa banyak berinteraksi. Kadang kalau diperhatikan, Pak Ajun serupa nerd culun yang begitu polos di antara para anak-anak populer.

Terlepas itu, mari menghitung mundur dari sekitar tiga puluh menit dari sekarang, karena itu waktu di mana Pak Ajun akan bertahan dari serangan sesuatu yang telah dia masukkan dalam tubuhnya.

Aku masih selalu menyempatkan diri memperhatikan, meski tindakanku berkamuflase cukup baik hingga tak ada yang memperhatikan.

Pak Ajun mulai menguap diam-diam, dari mulut yang ditutupinya.

Beberapa orang mungkin berpikir, semakin larut, terlebih dengan perut kenyang, pastilah itu alasan rasa kantuk yang hadir, jadi menurut kacamataku, Pak Ajun tak menyadari jika rasa kantuk tak biasa itu mulai memaksanya terlelap. Dia masih cukup kuat berdiri sampai dia sadar nyaris terhenyak saat itu juga.

Sesuai perhitunganku, dia langsung beranjak pergi keluar, dan aku sedikit haha hihi dengan yang lain sejenak.

"Oh ya, aku permisi dulu, ya. Mau ke belakang sebentar."

Aku memang ke area belakang gedung, tetapi lebih tepatnya melalui lorong di sana kemudian menuju depan. Di mana, ada pintu, yang terhubung di samping gedung di sana, saat aku buka maka pemandangan pagar serta sedikit celah gedung tampak. Sunyi senyap di sini berbeda dengan di dalam. Pesta itu cukup meriah untuk mengalihkan perhatian semua orang.

Langkahku diam-diam ke depan dan voila, aku menemukan mobil Pak Ajun di sana bersama beberapa mobil lain. Aku pastikan semuanya senyap sebelum akhirnya menghampiri mobil itu.

Hanya untuk menemukan, seorang Arjuna tak sadarkan diri di dalamnya.

Obat tidur itu bekerja dengan baik, dan tak akan menyiksa Arjuna. Pilihanku memang jatuh pada obat tidur karena menurutku lebih baik kebanding obat perangsang, terlebih bisa saja Arjuna masih setengah sadar dan mengetahui pemerkosanya.

Sekali lagi, aku memperhatikan sekitar, kemudian mengecek pintu mobil Pak Ajun.

Tak terkunci, sangat bagus.

Berikutnya, aku membukanya, dan masuk ke sana, duduk di meja penumpang tepat di samping Pak Ajun yang menyandarkan kepala di kaca jendela, wajahnya begitu lelap tertidur bak tak berdosa, padahal dia kadang setan berbentuk wajah bidadara. Sejenak, aku mengagumi bibit unggul itu, mengibas-ngibaskan tangan di depan wajahnya.

Dia tak sadar, seakan mati, jadi aku mengecek napasnya.

Normal, syukurlah.

Sebagai asisten pribadi, aku tahu beberapa hal yang ada di mobil ini, salah satunya membuat kaca pelindung hingga yang di dalam tak terlihat di luar. Kemudian, dashcam mobil, Pak Ajun tak memilikinya, aku aman, tetapi kalau-kalau dia memakainya jadi aku mengecek hal tersebut dulu.

Aman.

Lalu, bagaimana sekarang?

Waktunya menanam bibit.

Pak Ajun tubuhnya agak bongsor, mungkin sixpack berotot, aku tak pernah benar-benar melihanya, tetapi dia memang rajin ke gym, aku tak berniat menelanjanginya bulat-bulat, tak penting melihat atasnya, tetapi posisi yang tepat adalah merebahkan kepalanya di sana dan celana di sisiku.

Duk!

"Uh!" Aku tak sengaja menjatuhkan kepala Pak Ajun cukup keras hingga mengenai pintu mobilnya, maafkan aku, Pak. Astaga. Syukur saja, dia tak bangun, dan sepertinya hal itu tak akan membuat Pak Ajun geger otak.

Pelan tetapi pasti, aku menggerakan satu persatu tubuhnya, memposisikan dengan susah payah sesuai dengan kepalaku, dan syukurlah tak sulit.

"Nggh ...." Aku terkesiap pelan kala Pak Ajun melenguh, meski syukur saja hanya lenguhan tak nyaman sambil membenarkan posisi.

Masih tidak sadar, kan? Kembali aku kibas-kibaskan tanganku ke depan wajahnya, kemudian menghela napas lega.

Berikutnya, aku harus sedikit menutup mata untuk ini.

"Permisi ya, Pak," bisikku pelan, aku melihat ke arah celana Pak Ajun, tepat di gundukannya. Terlihat tak terlalu besar, mungkin pas, dan memikirkan isinya aku menegak saliva kelat.

Oke, oke, jangan begini. Aku sudah mempersiapkan diri jauh-jauh hari, tak mungkin mundur hanya karena permasalahan bentuk burung bertelur dua itu.

Mulai, aku melepaskan sabuk yang dia kenakan, pelan tetapi pasti begitu hati-hati.

Berikutnya, kancing celana, ini tak terlalu rumit, disusul ritsleting, dan mataku melotot melihat pemandangan di depan mata.

Husbandfree [tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang