2; husbandfree

12.8K 532 28
                                    

Beberapa orang mungkin akan bertanya-tanya, bagaimana jika rencana yang aku usung tentang membuat mantan atasanku memberikan benihnya cuma-cuma padaku gagal? Atau bagaimana cara kerja itu semua? Bagaimana kalau rencananya gagal di tengah jalan? Serta kemungkinan demi kemungkinan lain yang bisa saja terjadi.

Aku mungkin bukan peramal, tetapi bukan berarti aku kelewat percaya diri akan apa yang aku susun sedemikian rupa berhasil seratus persen. Selain susunan alur utama, masih ada cabang menuju rencana B, jadi tak perlu pulalah ambil pusing. Kandidatku pun bukan hanya Ajun, masih banyak waktu untuk memiliki anak.

Orang-orang kemungkinan besar akan menganggapku tak lebih dari ODGJ jalang yang dilepasliarkan, jika tahu rencana busuk ini--ya aku tahu dilihat dari segi mana pun, itu berbau tak mengenakkan--termasuk Arjuna sendiri. Dia pasti kelabakan bukan main kalau tahu. Akan tetapi, gadis bodoh ini, demi masa depannya ....

Masa depan keluarganya ....

Siapa yang perlu sosok suami dan ayah? Persetan dengan pria.

Aku ingat dulu, saat tubuhku masih kecil, ringkih kurus tak terawat, bersama pakaian lusuh menghampiri ibu di tengah malam. Sebenarnya aku sudah terbangun beberapa jam sebelumnya ketika suara teriakan ayah, beberapa barang dilempar, dan tangisan ketakutan ibu.

Seperti biasa, ayah berengsek itu meminta uang hasil jerih payah istrinya berjualan kue-kue tradisional buatan sendiri. Kue-kue yang sudah tergerus zaman, tak sepopuler dulu, tetapi ibu selalu membuatnya untuk dijajakan di warung-warung kecil ataupun aku bawa dan kujual di sekolah.

Ya, ibuku memang wanita setegar itu, dan aku yang masih kecil hanya bisa memeluk badannya sambil ikut menangis bersamanya, meratapi nasib kami dikuasai tukang judi, pemabuk, tukang hutang, menghambur-hamburkan uang dengan tak berguna. Dia benar-benar membuat kami menderita.

Semakin dewasa, semakin menjadi, meski seiring waktu aku berusaha membela ibu. Sepertinya percuma, sungguh, aku ini perempuan kecil tanpa tenaga di hadapan pria sialan itu, dia pun mengancam akan membunuh ibu dan aku kalau macam-macam pada pihak berwajib. Saat itu, situasinya pula sulit, lagi juga butuh uang untuk memprosesnya, yang kami bisa lakukan di masa lalu, seorang anak tak berdaya dan ibu yang sengsara, pasrah dengan keadaan yang ada.

Namun, suatu keajaiban terjadi.

Bahagia di atas kematian orang lain sebenarnya hal yang buruk, tapi ketika kami mendapati kabar ayah berkelahi dengan temannya yang mabuk, kemudian saling tusuk menusuk hingga keduanya meregang nyawa, adalah awal kebebasan kami dari pria kejam itu. Awal di mana ibuku bisa bangkit lagi, dan aku terbebas dari rasa dihantui kekerasan fisik dan mental.

Kegiatanku dan ibu berlanjut dengan menyenangkan setelah itu, kami masih menjajakan kue tradisional seperti biasa, dan ibu menurunkan resep turun-temurunnya padaku. Tiada lagi lilitan hutang, baik ibu dan aku amatlah bekerja keras, serta merta ibu menyuruhku sekolah setinggi mungkin untuk mengubah nasib keluargaku tak seperti yang dia rasakan. Untukku, pasanganku nanti, dan anak-anakku.

Aku bilang pada ibu saat itu, aku tak ingin punya suami, lebih baik punya anak saja yang aku besarkan sendiri. Namun, ibu hanya tertawa, dan bilang, jangan begitu, dia akan mendoakanku mendapatkan pasangan terbaik nantinya. Setelahnya, aku hanya tersenyum kecut, diri ini tetap menolak tetapi aku tak mau berdebat dengan ibu.

Cita-cita terbesarku adalah ingin meneruskan warisan ibu padaku, resep-resep kue tradisional yang ingin aku kembangkan menjadi usaha seperti yang ibu lakukan, hanya saja ranahnya akan lebih luas dan besar. Ibu mengusap puncak kepalaku kala mendengar cita-cita itu. Dia selalu mendukung sepenuhnya apa yang anak gadis satu-satunya inginkan.

Namun, suatu kejadian tak terduga terjadi ....

Aku baru lulus beberapa bulan SMA, dan kini menuju ke jenjang kuliah yang mampu aku raih dengan beasiswa, ketika kabar paling menyedihkan yang membuatku terpuruk mencapai telinga.

Ibu, tak sadarkan diri kedai kecil-kecilannya dan dibawa ke rumah sakit. Aku yang sibuk, langsung melepas segala hal lain, menuju ke rumah sakit, tetapi sayangnya nyawa ibu tak terselamatkan.

Dia meninggal dengan tenang, karena serangan jantung, harusnya aku tahu betapa lelahnya dia menanggung beban selama ini, menanggung sendirian di pundaknya tanpa aku memikirkan apa pun, demi kebahagiaanku.

Sedih, tentu saja, itu masa-masa paling terpuruk yang pernah aku alami, karena ibu satu-satunya keluarga yang aku punya, tetapi lama-kelamaan aku sadar, ibuku jelas tak akan suka jika terus-terusan anak gadisnya ini berlarut-larut dalam kesedihan, jadi dengan segenap tenaga yang tersisa, usahaku untuk bangkit nyatanya tak sia-sia.

Kuliah, sambil bekerja, mengembangkan kedai kecil-kecilan ibu.

Dan jelas, karena membutuhkan modal besar, aku memutuskan bekerja di Thomas Corp, UMR-nya tinggi meski hanya karyawan biasa tetapi jelas seleksinya bukan main-main. Lalu, keberuntungan-kesialan saat bisa naik jabatan disandingkan sebagai asisten pribadi atasan dan anak pemimpin perusahaan sendiri--Arjuna Thomas.

Sambil mengembangkan itu, aku pun juga memikirkan siasat soal program anak, yang ternyata ... pria yang aku cari tak sesuai harapan kala mengunjungi rumah sakit. Aku ingin keturunanku berbibit unggul, dan karena aku tak banyak teman laki-laki, entah kenapa Arjuna Thomas selalu jadi bahan pertimbangan dengan kesempurnaan yang dia miliki.

Sebenarnya aku berpikir, kalau dia mau jadi pendonor sperma, untukku, tetapi melihat sifat Pak Ajun.

Mustahil.

Jadi, ini cara paling tolol yang harus aku lakukan. Sudah kesekian kali aku berpikir, sepertinya memang tak ada pilihan lain. Setelah rencana itu berhasil, aku tinggal perlu pandai-pandai mengakali agar Pak Ajun tak tahu siapa yang memperkosanya, dan menyembunyikan diri.

Semuanya sudah cukup beres.

Saat tengah asyik memikirkan masa lalu dan masa depan yang aku visikan, ponsel tiba-tiba berdering. Aku menatap gawai dan melihat siapa penelepon, segera aku mengangkatnya.

"Ya, ada apa, Vi?" tanyaku spontan pada sosok di seberang sana. Dia adalah manajer tokoku, kaki tangan dan orang kepercayaanku. "Oh oke oke, nanti malem gue ke sana. Oh ya, gedung yang kita sewain udah beres kan? Good good."

Setelah panggilan terputus, aku segera membersihkan diri, dan memakai pakaian terbaik untuk kemudian berangkat, menggunakan ojek mobil, menuju ke kedaiku. Aku memang tak bisa naik mobil dan motor, tapi mungkin aku akan mempelajarinya setelah ini.

Sampai di sana, aku turun dari mobil, dan melihat kedaiku.

Dulu, kedai ini hanyalah kedai pinggir jalan mungil, yang muat hanya dua orang di dalamnya. Aku dan ibu.

Sekarang, sudah berubah, cukup besar mirip kafetaria, dengan orang-orang bisa masuk serta duduk di sana menikmati hidangan yang ada, bersantai, lalu ada karyawan melayani, tak perlu lagi lelah-lelah ke sana kemari. Perjuangan keras ini ... siapa lagi yang akan mewarisinya selain anakku nanti?

Husbandfree [tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang