36; husbandfree

2.6K 193 25
                                    

"Oh, Sayang, kami bukanlah orang tua yang mengabaikan anak kami, apalagi anak satu-satunya seperti Arjuna, dia berharga lebih dari apa pun." Ibu mertua memegang pipiku lembut, tetapi entah kenapa aku merasa tak nyaman, sebenarnya dia tipe orang tua yang seburuk apa? "Tapi, kami harus mengajarkan, jika dunia yang dia hadapi keras, selalu ada orang seperti itu bahkan dari kalangan saudaranya sendiri, jadi sudah sepantasnya dia belajar menghadapi orang seperti itu."

"Mah, saat itu Ajun masih kecil, dia gak hanya butuh diajari, tapi dilindungi." Aku menolak pemikirannya.

"Dunia gak peduli kamu masih kecil ataupun sudah besar, Romansa. Itulah fakta. Kamu ingat kenangan masa kecil kamu?" Jantungku tiba-tiba mencelus kala dia mengatakan itu. Teringat masa-masa kelam aku bersama pria berengsek itu. Mataku berkaca-kaca. "Benar, Romansa. Dunia memang sekejam itu. Itu tanda sayang kami ke Arjuna, dan apa pun yang dipikirkan, kami tentu tak akan menjatuhkan perusahaan ke tangan orang lain selain anak kami, termasuk pada Victor, dia pasti akan sangat sedih kalau tahu tak akan pernah merebut hal itu, tapi syukur saja dia sudah berhenti di tengah jalan." Dia sempat-sempatnya menertawakan hal tersebut.

"Benar, dunia gak peduli soal itu, tapi ... Mah, Arjuna berbeda denganku, dengan lingkunganku di masa lalu. Meski kelam, tapi aku punya Ibu yang menyayangi dan melindungiku, dia mengajarkanku dengan kasih sayang, bukan dari pengalaman traumatis. Dia memberikan ilmu dengan menyembuhkan dan harapan, bukan dari ditinggalkan dan menyuruhku bertahan hidup sendirian. Sudah sepatutnya naluri orang tua begitu, kan?"

Dia malah tersenyum, menyebalkan juga, sayangnya dia mertuaku. Dia lalu mengusap puncak kepalaku. "Yah, apa pun itu, jika menurutmu lebih tepat, terapkanlah, karena inilah didikan kami. Akan lebih baik mereka menderita saat kecil tetapi sukses di masa depan kan? Ini demi kebaikan mereka."

Yah, walaupun aku berdebat dengan mulut berbuih, tampaknya tak ada gunanya dengan prinsipku dan prinsipnya, aku ingin anakku bahagia, dan sukses, bukan menderita dan berusaha sukses. Sudah terlanjur mereka membentuk kepribadian Arjuna saat ini. Terpenting adalah, aku, Ajun, dan anak-anak kami nanti.

Rencana kami sama, memutus lingkaran setan itu, cukup sampai di sini.

"Omong-omong, apa kamu merasa tersaingi dengan Victor sekarang? Karena sepertinya akan begitu." Dia tertawa seraya menarik tangannya lagi. "Kamu bisa memanfaatkan harta Arjuna untuk itu."

"Mm, yah, sebenarnya bukan merasa tersaingi, tapi aku khawatir kalau-kalau percabangan toko dia menutupi area-area yang aku tandai, Mah."

"Apa bedanya soal itu, Sayang?" Dia tersenyum manis, seperti biasa meski hangat, dia nyelekit.

Dia lalu mengeluarkan sesuatu dari tas super mewah dan kelihatan sangat mahal, berupa dompet kulit yang begitu menunjang penampilannya, dan dari sana keluarkan kartu paling diidamkan banyak miliarder dunia. Black card!

Tanpa aku sangka, dia menyerahkan itu padaku. "Ini dana dari Mamah, tampaknya persaingan kalian akan menyenangkan dilihat."

Dia seperti bertaruh sabung ayam saja, oh Tuhan, kenapa aku terdampar di keluarga begini?

"Kamu mantan asisten pribadi yang katanya amat kompeten, kan? Lihai-lihailah, mungkin Papah akan turun tangan untuk kamu." Wanita itu meletakkan Yasa kembali, dia mencium anak-anakku gemas bergantian, bahkan mencium keningku juga.

Ugh, tak nyaman.

"Kalau begitu, Mamah permisi dulu, ya, Sayang. Dah ...."

Dia beranjak pergi, meninggalkanku dengan black card di tangan ini, yang jelas sekali sengaja dia berikan agar suasana antara aku dan Victor semakin memanas, dan dia pasti menyukai itu. Namun, aku tak menampik fakta, jika aku memang membutuhkannya, toh ini rezekiku yang tak boleh aku tolak dari mertua menyebalkan itu. Jika dia mau pertunjukkan terbaik, maka aku bisa mempersembahkan padanya bagaimana apiknya aku menyusun rencana. Selicik apa pun Victor terhadapku, itu tak akan jadi masalah besar.

Akhir-akhir ini, tampaknya aku akan sibuk.

Segera, aku menghubungi Vivian, dan segera mengabarkan soal lokasi-lokasi strategis yang menjadi incaran kami. Namun, sesuai dugaan, beberapa sudah diinvasi Victor itu, jadi mau tak mau kami mengambil sisa, berikutnya aku menghubungi kaki tangan guna melakukan survei lapangan lokasi-lokasi belum terjamah sama sekali, dan langsung gerak cepat menandainya.

Karena ada black card di tangan, aku tak akan ragu-ragu sama sekali.

Dalam sehari, aku dapatkan ragam lokasi cabang nanti, selain itu aku juga akan mengambil sponsor, menggaet lebih banyak seleb, pekerja, dan banyak lagi. Black card benar-benar tak membuatku ragu dalam menghamburkan uang dalam satu hari.

Lalu sore itu, Ajun pulang dari kantor, dia terlihat semringah tanpa beban meski sempat curhat sedikit gelisah di hari pertama, kami melakukan aktivitas seperti sebelumnya sampai akhirnya aku menceritakan perihal tentangku, Victor dan toko kue mancanegara. Dia tampak terkejut, dan semakin kaget karena ungkapan ibu mertua padaku.

"Mereka jadi ... sungguh tau penderitaanku di masa lalu? Duh, sialan!" Ajun mengumpat kesal. "Memang gila."

"Yah, kita gak bisa mengulang waktu, mereka berubah sekarang pun sudah kejadian, Ajun. Terpenting, kita pada anak-anak sekarang." Ajun mengangguk setuju, dia menghela napas panjang seraya memelukku. "Selayaknya mereka yang memanfaatkan kita sekarang, akan lebih baik kita balik memanfaatkan keadaan. Black card di tanganku, aku menerima tantangan Victor, dan kalau orang tua kamu ingin melihat pertunjukan termanis, ayo saja, aku ladenin."

Ajun kelihatan tak bahagia, ia menatapku lekat. "Aku khawatir dia melakukan sesuatu sama kamu, Victor itu udah cukup gila kalau dikatakan karena obsesinya padaku, dia malah berusaha menghancurkanku."

"Yah, memang, tapi aku tau kamu melindungiku, orang-orang melindungiku, dan oh, jangan lupakan sesuatu. Aku, seorang Romansa Nugraha, bukan wanita yang gampang diinjak." Aku menarik Ajun agar terbaring, kemudian duduk di atasnya. "I am a woman on top. Apa kamu masih meragukan kepiawaianku, Arjuna?" Aku mendekatkan wajah ke wajahnya, meniup wajah pria itu yang membuatnya menarik napas berat seraya memejam selama beberapa saat.

"Enggak." Aku merasa seperti wanita yang bisa menghipnotis. "Aku sangat percaya sama kamu, kamu memang ahli dalam segala hal."

"Benar ...." Aku membentuk gerakan berjalan dengan kedua jari, mengarah dari dada Ajun, kemudian mulutnya, dan memasukkan dua jariku ke sana. Ajun mengemut itu bagaikan seorang bayi selama beberapa saat.

"Katakan apa pun yang kamu butuhkan, pasti akan aku sediakan, Rosa. Tanpa terkecuali."

"Yah, aku memang butuh bantuan kamu untuk beberapa hal."

Mumpung aku punya suami pimpinan utama perusahaan Thomas Corp yang siap sedia bersaing, maka aku akan memanfaatkan segala keadaan yang ada. Ini bukan memanfaatkan bak parasit, tapi simbiosis mutualisme. Kami akan saling memguntungkan.

Aku mendapatkan cita-citaku.

Ajun keuntungkan berkali-kali lipat.

Dan tontonan menakjubkan untuk mertua julidku.

I'm ready for everything.

Husbandfree [tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang