27; husbandfree

3.9K 265 12
                                    

Ajun pulang, Vivian menginap, dan aku masih diam di kamarku siap-siap tidur, posisiku kini tengah menatap anak-anak yang lelap dalam mimpi mereka, entah apa itu.

"Apa menurut kalian, Mama banyak yang mendoakan hingga ... berakhir begini?" tanyaku, aku tahu mereka tidur, dan bangun pun mereka tak mengerti, anggap saja aku tengah bermonolog. "Semakin banyak yang berdoa, semakin cepat terkabul, ya, Yasa, Yuda, Yoga?" Aku menatap mereka bergantian.

Pertanyaan hadir dalam kepalaku, jika ini memang jalan takdirku, apa akan mengobati trauma mendalam yang aku derita?

Aku selalu harap begitu ....

Aku tak akan mengelak, aku akan menerimanya, tapi tentu ada hal-hal tertentu yang akan aku perhatikan. Vivian benar, saat ini bukan saat itu, saat ini aku wanita yang punya banyak hal untuk membela diriku, hal yang susah payah aku bangun, hal yang bisa menjadi penyelamatku, aku tak lagi lemah, tak lagi rapuh.

Aku ... aku rasa aku bisa.

Mungkin belum benar-benar saatnya, tetapi jika sampai ke titik itu.

Aku tak akan lagi kabur dan menghadapinya.

Hah, Ajun, dia memang sangat berbeda dengan ayahku dulu, dan aku baru sadar sepertinya aku terlalu cepat mengubah pikiran hanya dalam seharian dia bersamaku bersama sifat yang katanya sifat aslinya. Apa benar kata Vivian sebenarnya dari dulu aku sudah ada rasa yang seperti itu? Suka secara visual, tetapi sayangnya sifatnya yang dulu menamparku, jadi aku berhasil menepis rasa cinta yang ada karena aku realistis. Aku memang selalu mengharapkan pria yang lebih baik, apa begitu isi perasaanku?

Kalau dia berubah, otak realitisku tak mengelaknya?

Kenapa hal ini masuk akal?

Apa pun itu, terserahlah, di ujung nanti masih banyak hal selain dari sisiku, bisa saja pertentangan dari keluarga Ajun karena aku hanya wanita rada gila, mantan asisten, pemilik kedai kecil. Entah apa nanti tanggapan mereka.

Yah, sudahlah ....

Aku segera naik ke kasur dan memejamkan mata. Ngantuk, mau tidur, dan aku harap esok pagi menjadi lebih baik ....

Saat bangun, melakukan kegiatan biasa, baru keluar dari kamar aku sudah mendapati si poni menyebalkan sudah senyam-senyum sendiri.

"Kakak, Yoga, Yasa, Yuda, selamat pagi! Malem tadi bukan mimpi, kan?" tanyanya, cengengesan, suka sekali dia saat kapalnya berlayar--padahal setahuku dia mabuk laut.

"Diem lo, sana siap-siap, lo kerja kan? Sarapan, abis tu keluar lo dari rumah gue!"

"Dih, kek ibu tiri ngusir anak tiri aja." Vivian cemberut sebentar, walau kembali ekspresinya menyebalkan. "Kak Ros, nanti PJ jangan lupa ya."

"PJ PJ, iya nanti iya." Dia begitu girang berikutnya. "Cepetan lo sarapan terus kerja, nanti gue pecat lo kalau telat!" Bukannya takut dengan ancaman itu, Vivian malah ketawa-ketiwi seraya kabur ke dapur.

Saat kepergiannya, aku tersenyum seraya menggeleng, dasar adik angkatku itu.

Kami pun siap sarapan bersama-sama.

"Eh, Kak, boleh gak gue ngasih tau hal ini ke orang-orang? Pasti pada heboh kalau tau lo sama Oppa Ajun, lope lope." Dia tersenyum semringah.

"Terserah lo aja," jawabku, karena memang ini bukan hal yang patut dirahasiakan, karena saat hari H pun nanti semua tahu, kalau lebih cepat tak masalah.

"Serius, Kak? Gue kira lo nyembunyiin dari semua orang, soalnya gak ngasih tau gue kemarin-kemarin." Vivian berkata heran.

Aku menghela napas. "Itu karena gue belum yakin, ini pun masih belum yakin, ngapain juga gue gebar-gebor gak jelas bilang kalau Ajun ayah anak-anak? Gak terlalu berguna. Toh, juga, di hari H bakalan ketahuan."

"Bener juga, sih. Gue diem aja deh, biar hari H pada kaget, hihi." Si poni ini bisa saja. "Gue doain lo yakin, Kak."

"Hm, iyain, kalaupun gue yakin, Ajun yakin, belum tentu keluarga dia gitu." Aku menggedikan bahu.

"Gue doain lo direstuin pokoknya, muluuus!"

Hah, ada-ada saja.

"Makan aja sana, gak usah banyak ngomong!"

Selesai sarapan, Vivian berangkat, dan kegiatanku berlanjut dibantu IRT-ku. Entah kenapa, rada kosong karena tiada Ajun, walau sorenya sesuai janji, dia datang bersama makanan yang dipesan serta pakaian yang kemarin dia pinjam.

"Apa kamu gak capek sehabis kerja langsung ke sini?" tanyaku, dia kelihatan sudah tak berpakaian kantor, mungkin juga sudah mandi di rumah, dan dari perhitungan waktu, dia membeli makanan lalu langsung ke sini.

"Enggak, rasa capekku hilang karena aku ketemu anak-anak, dan kamu." Oke, dia makin ahli dengan gombalannya.

Aku mempersilakannya masuk dan kami melakukan kegiatan seperti kemarin, minusnya tentu aku lebih sadar agar setan tak menggoda melakukan perbuatan tak senonoh. Apalagi, lagi-lagi si poni itu ingin menginap lagi di rumah karena apartemennya bermasalah.

Atau aku rasa dia berbohong soal hal tersebut dan sangat suka melihat kebersamaanku dan Ajun, aku rasa dia diam-diam pula memotret kami yang sambil mengurus anak-anak, seperti tipe paparazi yang menakutkan bagi artis saja.

Aku tak keberatan, sih, tapi kala aku memberitahukannya ke Ajun.

"Vivian." Ajun tiba-tiba memanggil Vivian.

Vivian sedikit tersentak mendongak. Apa Ajun akan menegurnya?

"Eh, i-iya, Opah, eh maksudku Oppa, ada apa?" tanyanya, seperti menyembunyikan sesuatu.

"Boleh kamu kirim foto-foto yang kamu ambil ke saya?" Oh, ternyata ....

"Eh, eh, ketahuan ya?" Vivian nyengir lebar, dia menatapku dengan kikuk. "I-iya, nanti aku kirim ke Oppa."

"Terima kasih." Ajun ternyata hangat juga.

"Mm kalian gak marah, kan?" tanya Vivian takut-takut, seakan baru saja kepergok melakukan sesuatu yang buruk, walau memang dari kacamataku ... tidak buruk, cuman menyebalkan.

"Jangan diem-diem gitu ambil fotonya, gue ngerasa lo itu kek paparazi, ngeri, tau." Aku menegurnya.

"Abis, kalian berlima imut banget, gue gak bisa stop ambil foto kalian tau gak, Kak? Keluarga yang harmonis, impiaaan banget! Gue kapan yah bisa begitu?" Vivian mendongak, sepertinya mulai mengkhayalkan yang tidak-tidak. "Pengen, deh, hihi."

Aku dan Ajun hanya bertukar pandang sejenak sambil tertawa, kemudian menatap Vivian yang masih saja mengalor ngidul. Senyam-senyum sambil menatap langit-langit rumah.

"Sadar, woi, Jones! Kalau mau begini, cari cowok, jangan ngekhayal doang, jangan ngarepin kek pangeran-pangeran di dongeng yang nyari putrinya ampe ke kastil terpencil, deh," kataku, Vivian menatap kami seraya cemberut.

"Ish, Kak, tega banget bilang gue jones!" Dia tampak tak terima.

"Ya emang bener, kan?" Vivian manyun, membuatku dan Ajun tertawa karena tingkahnya, bahkan anak-anak juga ikut tertawa seakan mengejek tante mereka. "Ih, tega banget kalian sekeluarga! Liat aja nanti deh, gue bakalan nyusul, weee!" Gadis poni itu memeletkan lidah mengejek kami.

"Sama siapa? Sama artis Kpop khayalan lo? Atau cowok halu lo di fiksi?"

"Iiish, Kakak! Doain gue, kek!"

Kami kembali tertawa, membahagiakan juga bisa mem-bully Vivian si poni, membalaskan dendam karena tingkah menyebalkannya memang kepuasan tersendiri.

Husbandfree [tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang