21; husbandfree

4.9K 351 11
                                    

Aku menerima kedatangan Pak Ajun pagi itu karena katanya, dia lengang hari ini, jadi tak masalah, lah. Aku hanya meminta beberapa jenis buah padanya, untuk anak-anak, dan memintanya agar sarapan bersama saja di rumahku, itung-itung tanda terima kasih karena bakso kemarin.

Grup chat tampak heboh karena tumben, Pak Ajun belum datang pagi itu, karena biasanya dia jadi morning man yang paling morning, tetapi minta mangkrak sebentar karena ada urusan. Mereka saja masih kaget dibuatnya karena Ajun yang senyum, tertawa, kemudian mentraktir.

Durian runtuh apa yang menjatuhi Pak Ajun sampai membuat otaknya miring, begitu mereka bertanya-tanya.

Kasihan juga, mau jadi lebih baik malah tanggapannya begitu, tetapi aku memilih membalas seadanya, dan Tyona malah menghubung-hubungkan itu dengan kematian.

Duh, Pak Ajun disangka mau meninggal.

Sepertinya Pak Ajun belum memberitahukan soal kenapa dia bahagia sebegitunya, entah dia berpikir soal kejutan dahsyat di hari H atau apa, isi kepala pria itu entah apa saat ini. Aku rasa aku punya kepentingan menanyakannya nanti selain karena kepo.

Pintu diketuk terdengar, aku segera membukakan pintu saat meminta bibi menjaga, dan saat dibuka tampak Pak Ajun di depan mata bersama bingkisan berisi buah di tangan.

"Masuk, Pak," kataku.

"Kamu balik lagi manggil aku, Pak." Dia malah berkata demikian sebelum menerima ajakanku, wajahnya kelihatan sedih.

"Uh, oh ...." Aku tertawa hambar. "Belum kebiasa keknya."

Seperdetik, pria tampan itu tertawa. "Ya sudahlah, gak masalah. Anak-anak mana?"

"Ada di dapur, kami siap-siap sarapan yang disiapin bibi," jawabku, kami mulai berjalan menuju dapur bersama. Saat sampai, tampaknya semuanya sudah siap.

"Halo, pagi, Anak-anak Papah!" Pak--oh, Ajun, aku harus membiasakan diri, meletakkan bingkisannya di meja, membersihkan tangannya sebelum akhirnya mendekati anak-anak yang duduk di kursi khusus mereka. "Apa mereka ikut sarapan juga?"

"Buat pagi, biasanya aku cuman kasih ASI." Dia mengangguk-angguk dan mulai bermain dengan anak-anak lagi, aku menyerahkan dot berisi ASI pompaku pada mereka. Tak mungkin aku menyusui ketiganya sekaligus, mereka bertiga akan rebutan dan merengek kalau tak kebagian.

"Uh, pinter sekali anak Papah megangnya, Sayang, Sayang Papah." Arjuna tampak bahagia bersama mereka.

"Mm Nyonya, apa beliau ...." Aku terkejut seraya menoleh ke para bibi yang penasaran, aku nyaris lupa tentang mereka, mereka pasti bertanya-tanya soal Ajun saat ini.

"Benar, ayahnya anak-anak, and it's complicated, ceritanya panjang untuk dijelaskan, bukan salah dia." Aku berusaha meyakinkan mereka.

"Baiklah, kami permisi dulu." Syukurlah mereka tak banyak tanya dan beranjak pergi setelah itu.

Aku kembali menatap Ajun yang asyik bermain dengan anak-anak. Sepertinya tak sadar tadi diperbincangkan. Aku pun duduk di kursiku di sana.

"Ayo sarapan, Ajun," kataku, dia tersenyum.

Ajun pun duduk di kursi lain yang sudah aku siapkan, di mana jadinya anak-anak menengahi kami. Mulai kami sarapan sambil mencandai anak-anak, memang menyenangkan sepertinya mendengar tawa, ocehan, serta ragam ekspresi mereka.

Selesai sarapan, kami pun menuju ruang santai, menonton televisi bertemakan kartun, dan aku dibuat geli karena Pak Ajun menyanyikan lagu kartun tersebut. Meski demikian, ini kali pertama aku dengar ia nyanyi, suaranya bagus.

Dan sepertinya juga, sebentar lagi, aku bisa melancarkan pertanyaan itu.

"Arjuna," panggilku, Ajun bergumam menanggapi, entah bagaimana aku bisa membedakan gumaman angkuhnya dulu dan gumaman hangat, unik juga. Namun, itu tak penting sekarang. "Kamu belum ngasih info apa-apa ke orang lain soal ... anak-anakku, anak-anak kamu juga?"

"Kamu mau aku mengatakannya?" Dia malah bertanya balik.

"Enggak, maksudku, kamu kan punya kesempatan dan aku gak ada larang." Aku menggedikan bahu, aku memang tak ingat ada menyebut melarangnya ini itu.

"Gak ada yang bertanya." Begitu simpelnya jawabannya, tapi masuk akal.

"Ya keknya gak ada yang berani tanya, Arjuna Thomas. Kamu masih punya image yang bikin orang mikir dua kali buat buka suara." Aku sedikit tertawa, begitupun Ajun sendiri.

"Nanti saja deh, pas hari H juga ketahuan kan, atau nanti juga kalau kepergok berduaan, ya tinggal jelasin aja apa adanya, untuk sekarang biarin jadi rumor dulu. Pasti temen-temen kamu bilang aku gila, kalau gak gila, ya mau meninggal," katanya, aku tertawa lagi karena tebakan dia tepat.

"Oh, kamu udah tau dirumorin gitu, kenapa gak ngelak?"

Ajun menggedikan bahu. "Males jelasin, aku mau fokusin energiku, sama anak-anak."

"Sepertinya kamu udah tebal sama omongan orang-orang, ya, Ajun." Dia kelihatan tak stres lagi seperti biasanya.

Ajun menatapku hangat sambil menggendong anak-anak. "Aku belajar dari ahlinya."

"Ahlinya?" Siapa itu?

"Seorang wanita yang bertahan hampir tiga tahun bersama Arjuna Menyebalkan Thomas, siapa lagi? Dia asisten pribadi paling sabar dan ahli menangani kritikan dan hinaan orang lain. Sudah lama aku nyerap gaya kamu satu itu, meski gak sepenuhnya bisa, tapi cukup baik buat menulikan diri ke perkataan yang jelas tak mau aku dengar." Sepertinya yang disebut itu aku, dan aku bukan semata-mata tahan banting akan kejulidannya di masa lalu.

Aku pernah menghadapi yang lebih buruk, jadi bisa dikatakan, tak seberapa.

"Yah, baguslah, fokuslah ke diri kamu sendiri, Ajun. Karena kalau dengerin ucapan mereka terus, gak akan ada habisnya, itu kenapa di masa lalu kamu stres berat. Di mata sebagian orang, selalu ada aja kekurangan yang dilihat, sekalipun sudah berusaha yang terbaik." Aku mengambilkan teether untuk Yasa. "Jadiin motivasi, ataupun buang ke laut, emang gak semudah kedengerannya tapi itu lumayan ampuh."

"Aku mengerti." Dan kemudian, wajahnya menyendu.

"Ada apa dengan ekspresi itu?"

"Aku jadi keinget betapa parahnya aku sama asisten-asistenku terdahulu, meski kesalahan ada pada mereka, tapi sepertinya emosiku keterlaluan," kata Ajun, menggaruk kepala. "Keknya aku harus minta maaf."

Aku seketika terbahak. "Orang-orang keknya bakalan makin mikir kamu nanti meninggal, Jun. Kayak, lepas dosa gitu."

Dia juga tergelak. "Yah, apalah kata orang-orang, menurut kamu permintaan maafku harus apa?"

"Entahlah, door to door minta maaf, sambil kasih hadiah." Aku menggedikan bahu.

"Oh, baiklah, aku mau nyuruh seseorang aja buat sampein maaf." Aku mengangguk, itu pilihan yang tak buruk.

"Apa kamu masih belum punya asisten pribadi baru?" Kembali, aku basa-basi.

"Sudah ada kandidatnya, tapi keknya dia takut hadir, apa kamu punya kandidat? Sepertinya rumor parah satu ini membuat banyak orang mundur."

"Pfft ...." Aku benar-benar tergelitik. "Entahlah, coba tanya temen-temenku, mereka maju mundur juga sih terima. Takut omongan pedas, walau gaji sangat amat pantas."

"Oh, Tyona dan Sarah itu?" tanyanya, aku membalasnya dengan manggut. "Nanti akan aku tanya, walau sebenernya aku mau laki-laki sekarang."

"Yang laki-laki, hm?" Aku berpikir, aku ada kenalan di kantor, tapi siapa yang cocok.

"Iya, karena ada hati yang aku jaga." Oke, aku menatap bingung Ajun sekarang. Pertanyaanku mengacu ke siapa yang cocok, bukan kenapa dia memilih laki-laki. Namun, dia tak sepenuhnya salah.

Hati yang aku jaga, katanya. Pria ini bisa menggombal juga.

Husbandfree [tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang