43; husbandfree

2.3K 137 6
                                    

"Halo," sapa seseorang, aku yang tengah we time santai menjaga anak-anak seorang diri, spontan menatap ke sumber suara.

Senyumku merekah. "Arjuna." Di sana, ayah anak-anakku berdiri di ambang pintu, tangannya ke belakang seakan menyembunyikan sesuatu dan perlahan, dia mendekatiku. "Kamu dateng ke sini langsung, sehabis kerja?"

"Yah, begitulah, tapi aku sempat mandi, kok." Arjuna masih tersenyum, aku memiringkan kepala ingin mengintip di balik badannya.

Mengetahui hal tersebut, Arjuna tertawa dan memperlihatkan apa yang sebenarnya dia sembunyikan. Yang sepertinya cukup klise, bunga mawar warna-warni imitasi, tetapi dengan vas.

"Ouh, beautiful." Aku menyambut bunga tersebut darinya, menghirupnya dalam, aroma yang manis, dan meletakkan di atas meja.

Arjuna tampak membersihkan tangan sebelum akhirnya menyapa anak-anak, bermain kecil dengan mereka. Perasaanku menghangat setelah itu.

"Kalian nanti pulang samaku, ya," pinta Ajun.

Aku mengangguk. "Hm, iya."

"Omong-omong, kalian kapan pulangnya?"

"Pokoknya sih sebelum jam tidur anak-anak, sebentar lagi teman-temanku Tyona sama Sarah dateng."

"Oh ...." Dia mengangguk, gestur mengerti. "Temen kamu yang tengil itu mana? Biasanya nempel sama kamu."

"Vivian gak ada di depan? Kalau gitu, sih, pasti di ruangannya, paling-paling drakoran." Aku menggedikan bahu.

"Oh, begitu ...." Ajun mulai menggendong kedua anakku. "Ah argh ...." Namun tiba-tiba, dia kesakitan, meski demikian dia tampak menahan sakit dan mau tak mau meletakkan anak-anak lagi.

"Ajun, kamu kenapa?"

"Uh, sakit ...." Dia mengusap bahunya. "Aku keknya salah gerak."

"Ya Tuhan ...." Aku mendekatinya dengan khawatir.

"Ah, ah, astaga ... ngilu."

"Sebaiknya kita ke dokter, Ajun. Apa kamu masih latihan ketat di gym?" tanyaku.

Dia menggeleng. "Enggak, kok. Cuman tadi ah sakit sekali. Susah gerak. Mungkin hanya perlu ditarik saja, gak usah ke dokter, cobalah tarik Rosa."

"Jangan mengada-ngada, nanti makin parah gimana?" Aku memperingatkannya.

"Enggak, ini hanya sekadar kaget otot sepertinya. Tak apa, coba saja." Meski agak ragu, akhirnya aku menuruti, mulai membantunya menggerakkan tangan.

"Aaah, tarik Rosa, tarik aja gak usah ragu." Jelas aku ragu, bagaimana kalau tulangnya geser! "Gak apa, tarik aja, ini jadi lumayan enak."

"Uh, aku takut tau, hei!"

"Gak apa, coba tarik, udah terasa enakkan, coba aja."

Dan setelahnya pun, aku menggerakan tangan Ajun lagi, dan kemudian ....

"Ah ...." Dia tampak melega. "See, hanya kaget, aku udah enakkan."

"Syukurlah kalau begitu." Aku ikut lega mendengarnya. Dia kemudian melepaskan jasnya yang lumayan membosankan, dan memilih berbaring, membiarkan anak-anak bermain dengannya dengan posisi begitu.

Aku ikut bersama mereka, dan sesekali memanjakan suamiku itu dengan kecupan kilas di pipi.

"Jangan pipi saja, dong." Aku tertawa akan rengekannya yang meminta lebih, dan jelas menurutinya. Meski demikian, bukan di pipi, aku menyibak bajunya ke atas dan dengan itu, meniup perut Ajun, menciptakan bunyi bak buang angin.

Anak-anak tertawa, pun aku dan Ajun. "Geli di sana."

Aku tak menghiraukan rengekan Ajun, dia tampak keenakan kala aku perlakukan begitu, bak bayi besar, dan toh anak-anak menyukainya. Anak-anak lalu naik ke atas perut Ajun, riang bermain, sementara aku menjelajahi wajah pria tersebut.

Dia tak kalah menggemaskan dari anak-anak.

"Oh, iya, apa kamu dan anak-anak sudah makan malam?" tanyanya.

"Sudah, kamu sendiri?" Dan mendapatkan gelengan, aku juga ikut menggeleng miris.

"Sebentar, ya, aku ambilkan makanan di dapur."

"Kamu gak minta bibi atau teman kamu itu?" tanya Ajun.

"Kalau ini bisa sendiri, kok." Dia mengangguk dan aku pun beranjak keluar.

Namun, aku terkejut saat melintas di ruangan Vivian, siapa sangka ada teman-temanku, Sarah dan Tyona di sana bersama bibi juga. Aku syok jelas.

"Lho, kalian ternyata udah datang, kenapa gak ke ruangan gue?!" tanyaku kaget, padahal aku sudah lama menunggui mereka.

"Uh, oh, itu ... kami gak mau ganggu kebersamaan lo sama Ajun," kata Sarah, sedikit menunduk.

"Ouh ... hehe, kami cuman main sama anak-anak, kok. Masuk aja gak papa." Mereka malah bertukar pandang, aku berdeham. "Iya, emang rada geli cara main kami, jadi ya ... ya gitulah. Sorry deh sorry kalian liat." Apalagi aku baru sadar, pintu terbuka tadi.

Meski demikian, rasa malunya tak apa sih, di depan teman-temanku juga.

"Udah deh jangan gitu, mau ketemu anak-anak gak? Gue bentar lagi pulang, nih. Nanti kangen lagi kalian. Tungguin gue ambil makanan, deh. Vi, bantuin gue."

Vivian pun mengikutiku dalam diam, dan tak biasanya dia sediam ini. Teman-temanku kenapa, sih?

"Vi, lo kenapa sih?"

"Kak, lain kali pintu tuh ditutup, Kak. Kami tadi liat elo ... nyedot anunya Oppa Ajun!" Mataku membulat sempurna akan penuturan Vivian. "Bagi kalian sih aman suami istri, tapi mata perawan kami ... Kak, aduh, Kak!"

"Vi, Vi, maksud lo apaan sih? Lo kira gue lagi BJ Ajun?" Kedua pipi Vivian memerah, dia membuang wajah dariku, tetapi aku rasa ini salah paham. "Vi, astaga, gak ya! Gue sama Ajun menghindari main gituan! Lagi, keknya kalian salah liat, gue lagi tiup perut Ajun buat hibur anak-anak, bukan lagi ... sssttt gimana sih!"

"Eh?"

"Ankle lo liat gue gituan dari pintu, tapi ya gak mungkin lah gue gitu! Mikir aja, di depan anak-anak sama di depan elo sambil pintu kebuka?! Apa mungkin?" Vivian tampak berpikir dan aku menepuk kening.

"Eh, hehe, bener juga, ya, Kak."

Aku menghela napas gusar. "Jelasin nanti sama mereka, astaga dasar kalian semua otak kotor!"

Setelah mengambil makanan, Vivian kembali ke ruangannya dan aku harap dia bisa menjelaskan kesalahpahaman tadi, sementara aku menuju ke ruanganku. Siapa sangka, Ajun tepar di sana bersama anak-anak yang asyik bermain dengannya.

Dia kelihatan sangat kelelahan. "Ajun," panggilku lembut.

Ajun membuka mata. "Oh uh, sepertinya aku terhenyak. Maaf."

"Kamu keliatan capek, makanlah dulu baru tidur aja nanti. Harusnya kamu gak perlu ke sini, deh." Aku mengusap puncak kepalanya dan dia perlahan bangkit duduk.

"Aku gak papa, gak papa ...."

"Yah, terserahlah, tapi keknya kamu ikut aku aja sama sopir." Dia tampak tak mengelak hal itu. "Makanlah dulu, kamu mungkin punya beberapa waktu untuk tidur."

"Baiklah, terima kasih, Sayang." Ajun mendekatkan kepalaku dan menciumku dalam beberapa saat. "Eh, sepertinya itu teman-teman kamu."

Oh ....

Aku menatap mereka, yang tampak agak syok dengan kedua pipi memerah, tetapi kala menatap Ajun, pria itu kelihatan santai, tersenyum, sambil makan menyapa mereka. "Halo, Tyona, Sarah, dan poni tengil."

Hah ... kemesraan kami setelah disalahsangkai perlakuan tak senonoh tadi, sepertinya masih membuat trio perawan itu seakan terguncang keras mental jonesnya. Padahal aku ingat, mereka bertiga lumayan expert dengan yang begitu walau hanya sebatas teori.

Atau memang karena hal tersebut sebatas teori?

Kasihan, semoga mereka segera dapat jodoh.

Husbandfree [tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang