16; husbandfree

6.2K 404 20
                                    

"Oh, atau jangan-jangan kamu ...."

Aku menatap heran Pak Ajun, dia memicing menatapku seakan meneliti sekaligus curiga.

"Kamu, sama cewek, gunting-guntingan--"

"Dih, gak! Meski saya gak bisa bilang saya normal, tapi saya memang gak berniat punya pasangan, Pak! Bapak gak akan mengerti!" Aku menghela napas, menunduk, seraya memeluk perut.

"Kalau begitu, buat saya mengerti, sebenarnya apa yang terjadi sampai-sampai kamu sebegitunya menolak? Bahkan melakukan ... itu pada saya." Aku mendongak menatapnya, dan kembali menghela napas.

Haruskah aku cerita? Sementara pada teman terdekatku bahkan tak tahu kisah ini.

"Saya ...." Entah kenapa, mataku langsung berkaca-kaca, ternyata memang seberat itu ingin membicarakan sebuah trauma yang aku alami semasa kecil kepada orang lain. Aku menunduk sendu.

Salivaku rasanya menjadi batu, sesak.

"Oh ...." Suara Pak Ajun terdengar. "Tampaknya, sedikit paham saya mengerti, kamu trauma dengan masa lalu, soal laki-laki berengsek ...." Aku tak menjawab, tetapi ekspresiku sepertinya mengatakan dengan jelas kalau dia benar. "Maaf, saya sempat tak mengerti dan malah memaksa kamu menghadapi trauma itu."

Aku menyeka sisa air mata dan menggeleng. "Bukan salah Bapak, Bapak kan ... enggak tau."

"Ma ... Ma ...." Anak-anak tiba-tiba merengek melihatku.

"Mamah gak papa, Sayang." Aku memaksakan senyum.

Tiba-tiba, Pak Ajun memegang bahuku lembut, seakan mengintruksi agar aku duduk kembali, dia pun ikut duduk di hadapan kemudian mengembalikan tiga putraku ke pangkuan. Aku memeluk mereka yang jadi pengobat rasa sakit itu.

"Saya ... tidak akan memaksa kamu terikat dengan pernikahan, Romansa. Maaf telah lancang seperti tadi," kata Pak Ajun, dia menatap sendu. "Tapi, apa kamu berniat memberikan kesempatan, agar saya bisa membuktikan ucapan saya pada kamu? Karena saya ... mencintai kalian berempat. Akan saya buktikan ucapan ini, Romansa."

"Saya ...." Aku menjeda, bingung harus berkata apa akan perkataan yang kelihatannya amat sungguh-sungguh dia katakan. "Saya tak akan menghalangi apa pun yang dilakukan Bapak berikutnya, Pak."

"Kalau begitu mulai besok, saya akan jadi versi terbaik diri saya, Romansa." Pak Ajun menyunggingkan senyum hangat, hal yang baru kali ini aku lihat. "Saya akan berusaha, membangun kepercayaan kamu jika tak semua pria sama, mengobati luka-luka masa lalu kamu, lalu apa pun yang terjadi akhirnya, keputusan ada di tangan kamu, tapi kamu tahu ... aku tak akan menyerah sama kamu."

Dia mengubah kosa kata saya-kamu menjadi aku-kamu?

"Terima kasih atas kesempatan yang kamu berikan, Romansa. Aku akan memanfaatkannya sebaik mungkin."

Aku menghela napas, dan masih terbungkam tak menjawab kala dia mulai melangkah keluar setelah memberikan salam perpisahan lembut pada anak-anak.

Aku mencubit diri sendiri berikutnya, ternyata sakit, menandakan apa pun yang terjadi barusan, sangat nyata, atau hanya bagian khayalan yang menjadi kenyataan karena semakin gila? Aku tak tahu.

Namun, jika itu hal nyata, rasanya sangat sulit dipercaya, bagaikan novel-novel absurd Vivian temanya. Tak disangka tak diduga, plot twist-nya membagongkan. Pak Ajun gila, Pak Ajun mandul, Pak Ajun ternyata duda, Pak Ajun yang punya trauma, dan Pak Ajun yang ingin bertanggung jawab.

Akan tetapi, fokusnya malah ke arah penuturan cintanya yang tak romantis sama sekali, ketika dia berani ceplas-ceplos mengaku dia mencintaiku, seperti bukan atasanku saja, apa jiwanya tertukar dengan pria fiksi?

Janji menjadi versi terbaik sendiri ....

Aku bukan tipe wanita yang gampang terbuai janji manis tanpa bukti, tetapi kalau ditanya, aku jelas tahu Pak Ajun tipe pria yang memegang teguh janji. Aku ingat saat meeting, tiba-tiba ada kemacetan panjang, dan demi klien dia rela berjalan kaki ke sana. Meski meresahkannya, aku disuruh ikut juga, melelahkan.

Kalau hati kecilku ditanya ....

Di satu sisi, aku masih sangat membenci jika harus memiliki suami, apalagi jika seperti ayahku di masa lalu, rasanya aku begitu takut. Meskipun Pak Ajun tidak begitu, di satu sisi orang sulit berubah, dan bahkan bisa berubah pula, sepertinya ketakutan terbesarku adalah hal yang tidak aku ketahui terjadi di masa depan, yaitu skenario terburuk dari yang terburuk.

Namun, sisi lain bilang, apakah doa Ibu di masa lalu penyebab kejadian unik dan aneh ini?

Apa memang Pak Ajun yang terbaik untukku? Atau hal ini atas dasar ia terpaksa terjebak denganku karena anak-anak? Akan tetapi yang aku ingat tadi, Pak Ajun ... bilang dia mencintaiku. Selayaknya yang Vivian katakan, tetapi jelas itu sepertinya bukan love language-nya, itu gambaran traumanya sama saja seperti kegilaan sepertiku.

Kalau dua orang gila disatukan dalam satu atap, sepertinya akan ada kekacauan besar.

Haruskah aku mencoba membuka hati ini? Yang sepertinya sulit membalas perasaan seorang Arjuna Thomas yang sifatnya selalu jadi bahan blacklist di buku catatan bayanganku? Katanya, sulit, sih, bukan berarti tidak mungkin.

Oh, Ibu, aku pusing. Andai dirimu ada di sini, aku ingin curhat di pangkuanmu sambil menangis meraung. Meski aku tau doamu selalu menyertaiku, tetapi aku rasa aku tahu dia pula kecewa dengan segala kekonyolan yang aku lakukan hingga berimbas ke titik ini.

Titik di mana, aku tak bisa menyembunyikan apa pun.

Omong-omong, Vivian mana sih? Harusnya si poni itu akan heboh kalau tahu kejadian tadi, dia harusnya sih tahu soal Pak Ajun yang masuk nyelonong selayaknya perbuatan dia seperti biasa. Apa dia tak ada di depan?

"Oh, Ibu, kadang aku tuh pengennya jadi kucing Taylor Swift aja, gak usah kerja, gak perlu capek mikirin ini itu, cuman meong-meong aja jadi sultonah," gumamku frustrasi.

Setelah kejadian ini, hal apa yang akan terjadi padaku dan anak-anakku?

Sebaiknya, aku fokus bermain dengan anak-anak saja, mereka para pangeran tampanku pelepas penat yang hebat. Syukurlah.

Saat asyik-asyik mengobati rasa gundah gulana dengan itu semua, ponselku tiba-tiba berdering, aku segera mengecek ke sana dan menemukan pesan dari grup Sarah dan Tyona.

"Sis! Berita heboh!" Tyona mendahului.

"Pak Ajun jadi gila!" Sarah menimpali.

Tak perlu mereka katakan, sepertinya aku sudah tahu apa penyebabnya.

"Si datar triplek itu senyam-senyum sepanjang masuk kantor!"

"Terus dia nyapa para karyawan, hal yang gak pernah dia lakuin!"

"Dia juga naik ke semua lantai, bikin kaget, apalagi senyumnya rada gelo, meski makin ganteng sih."

"Dan lo tau apa yang dia lakuin berikutnya? Dia teriak di setiap lantai."

"Malam ini, semua saya traktir makan malam setelah pulang!"

"Itu orang kesambet jin baik hati atau gimana ya?"

"Ada yang pelet dia kali!"

"Aneh banget, Sis!"

Oke, kebahagiaannya itu jelas, karena lama divonis mandul, tapi sekali tusuk dapat tiga kayak bakso, itulah penyebabnya. Sepertinya Pak Ajun belum memberitahukan hal tersebut.

Berikutnya, dengan memutar bola mata, aku membalas, "Dia mau insyaf kali. Udah kebanyakan dosa."

Asal saja, setelahnya aku menyenyapkan grup chat itu.

Husbandfree [tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang