14; husbandfree

6.6K 481 43
                                    

"Yah, ampe satu miliar dia nyogok gue, keknya gue bakalan balikin duit dia karena gak akan mempan, gue gak mungkin balik sampe kapan pun." Aku melipat tangan di depan dada penuh keyakinan. "Dia meresahkan."

Kami bertiga hanya tertawa, pun berikutnya haha hihi ngerumpi melepas rindu yang ada, hingga akhirnya malam yang semakin larut memaksa perpisahan yang terjadi. Aku bersyukur ....

Omong-omong, sepertinya semua orang sejauh ini tak ada menyebut soal wajah anakku, yang mungkin mereka tak kenali mirip siapa, karena pasti tak banyak orang tahu wujud bayi seorang Arjuna Thomas, selain wujud tampan rupawan yang dewasa dan agak nerd culun karena berkacamata. Kecuali, sang empunya sendiri.

Namun, aku yakin, semakin bertambah usia mereka, akan semakin serupa seperti sang ayah, jadi jauh-jauh hari surat palsu itu aku persiapkan demi menepis opini yang ada.

Oh, benar, tampaknya foto anakku sudah tersebar di media sosial Vivian, dan Sarah karena baru-baru tadi mereka berfoto.

Segera, aku menuju ponselku, mengecek hal tersebut, ternyata memang benar. Aku pun mengecek postingan Vivian serta Sarah, tak ada tanda-tanda seorang Arjuna Thomas di postingan tersebut.

Lalu, isi pesan.

Tak ada.

Padahal aku sudah siap-siap mengirimkan berkas 'resmi'-nya, tapi kalau seperti ini tampaknya Arjuna Thomas tak mau ambil pusing dengan kemiripan bayiku dengan dia versi bayi. Itu hal bagus, sih.

Aku pun bisa tidur nyenyak setelahnya.

Hari Sabtu, sesuai ungkapan, aku full istirahat dan hanya bersama ketiga putraku saja di rumah. Tak ada hal mengejutkan apa pun sampai akhirnya, tiba hari Minggu. Perayaan kecil-kecilan di kedaiku dan mengundang teman sekantor.

Aku, Vivian, dan Sarah, menyambut kedatangan mereka sambil menggendong si kecil, dan dalam hatiku, bertanya-tanya apakah sang ayah datang?

Aku tak mengharapkan kehadirannya, cuma kalau sampai hadir, amunisiku sudah aku siapkan dengan baik, itu pun jika dia mempertanyakan kemiripan si kembar dengan dirinya saat kecil. Kalau tidak, ya sudah.

Kami menyambut siapa pun yang datang dengan senyuman, termasuk pasangan sejoli kantor karib kami, tetapi Tyona segera menghentikannya.

"Eh, tu apaan yang lo bawa?" tanya Tyona, menunjuk bawaan pria tersebut. "Ada bayi di sini, jangan minum-minum gitulah, nanti aja pas kalian pulang!" Dia mengomel, meski seakan takut dengan bayiku, ternyata Tyona sangat peduli.

"Tuh kan, gue udah bilang jangan bawa beginian! Nanti aja minumnya!" kata sang pacar. "Sorry ya, Guys. Udah gue bilangin masih aja ngotot."

Sang pria tertawa. "Iya maaf maaf."

Dia pun pergi sementara wanitanya membersihkan tangan dan tampak menggodai bayi-bayi imutku.

"Weh weh weh, liat siapa yang dateng," ucap Sarah, kami berempat seketika menoleh, dan siapa sangka dia ternyata datang.

Arjuna Thomas, dan wajah datarnya mulai mendekati kami, kami menyambutnya hangat dan aku ternyata pandai berakting seakan tak ada masalah di antara aku dan dia. Namun, saat mata Pak Ajun menatap ketiga putraku bergantian dengan wajahnya yang sulit aku artikan maksudnya, aku lumayan gugup.

Harusnya tak begitu, karena amunisiku kan sudah terisi.

"Anak-anakmu sangat lucu, Romansa." Bisakah dia memuji sambil senyum barang sedikit saja? Dia seperti manekin.

"Oh, makasih banyak, Pak." Aku tersenyum lebar meski dengan agak emosi.

"Dan lebih lucu lagi karena mereka ...." Entah kenapa, dia menjeda kalimatnya. "Yah, saya ke dalam."

Kenapa jedaan itu? Apa dia mau bilang jika mirip dia saat kecil, tapi ragu? Bagus kalau begitu, semoga saja si kembar berubah jadi lebih tampan kebanding dia saat ini, setidaknya hingga kemiripan tak terdeteksi, walau aku ragu hingga ke tingkat itu.

"Baik, Pak. Selamat dinikmati!" kataku manis, dan dia pun melangkah masuk melewati kami, menuju meja terujung yang menyendiri.

Kasihan jones itu.

Pesta pun berjalan lancar tanpa ada gangguan berarti, anak-anakku sangat disenangi para tamu, tetapi aku kehilangan sesuatu.

"Vi, mainan teether Yoga mana? Jatuh ya?" tanyaku, menatap ke bawah kolong meja.

Tak ada.

"Gak ada di gue, Kak," jawab Vivian sedanya.

"Tyona, ambilin yang baru di ruangan gue dong."

"Oke, oke."

Entah ke mana mainan Yoga terlempar, anakku memang suka melempar barang cukup jauh, huh.

Selesai pesta kecil-kecilan itu, semua pun beranjak pulang, dan aku baru sadar seorang Arjuna Thomas sudah hilang cukup lama sebelum pesta benar-benar selesai. Namun, aku tak mau ambil pusing.

Hari-hari berikutnya, berjalan lancar saja, aku dan pangeran-pangeranku tengah bermain di ruangan yang telah aku sulap menjadi taman bermain aman untuk anak-anak ketika seseorang membuka pintu dan nyelonong masuk begitu saja.

Aku kira, itu Vivian, karena kebiasaan penghalu tersebut memang suka begitu, tetapi dari gesturnya, Vivian kan mungil, bukan sebesar ....

Ini.

Aku mendongak menatap, dan aku terkejut melihat keberadaan sosok yang tak disangka di depan mata. Aku tak mimpi kan?

Seorang Arjuna Thomas berdiri di hadapanku bersama berkas serta mainan teether di tangannya ... itu mainan Yoga yang hilang saat pesta ....

"Bisa kamu jelaskan, perihal ini, Romansa?" tanyanya, aku melongo.

"Ma-maksudnya, Pak?"

Dia menyerahkan berkas dan teether itu padaku, dan aku entah kenapa tahu apa isinya meski aku mau menepisnya. Tanganku gemetar ingin membuka berkas ini.

"Bagaimana kamu melakukannya, Romansa?" tanyanya lagi, dan aku merasa pertanyaan yang aku tahu jawabannya, tetapi ingin aku elak.

Aku dibuat mati kutu, sampai segenap keberanian membuatku berani membuka sedikit berkas itu, dan kata pertama ... DNA.

Apa lagi yang dilakukan Pak Ajun dengan teether penuh air liur Yoga, oh astaga aku teledor, dan aku tak menyangka Pak Ajun jauh lebih cerdas dari bayanganku. Rencana yang aku bangun hancur!

"Mustahil, ini ... ini mustahil, Romansa. Bagaimana cara melakukannya?"

"Sa-saya ...." Kalau dengan berkas valid ini, aku tak bisa mengelak sama sekali, astaga bagaimana ini?!

"Tidak, ini sungguh mustahil, terlepas dari mana kamu mendapatkan benih saya, bagaimana kamu bisa mendapatkannya? Apa saya memperkosa kamu? Kapan itu? Apa ada hal yang lain? Katakan, bagaimana Romansa? Bagaimana itu bisa terjadi?"

Entah kenapa, pertanyaan Pak Ajun terkesan ada yang aneh, atau hanya perasaanku? Nadanya pun lebih ke arah bingung kebanding yang seharusnya marah. Namun, aku entah kenapa tetap hening, aku sungguh merasa takut karena baru saja ketangkap basah dengan berkas berakurasi 90an persen ini.

"Romansa, saya sungguh bingung, saya harus sedih atau bahagia. Maaf saya sepertinya tak sengaja menghamili kamu dan kamu, asisten terbaik saya, menutupi kebejatan saya. Dan saya merasa, merasa sangat bahagia, saya tak menyangka itu semua, Romansa."

Aku semakin melongo, apa Pak Ajun sudah gila? Dia bicara apa, sih?!

Dan aku terperanjat kala dia memegang kedua bahuku.

"Saya tidak mandul! Saya tidak mandul lagi!"

Mandul?!!

Husbandfree [tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang