10; husbandfree

7K 447 11
                                    

"Ah?" Aku bingung dengan ungkapan Vivian, tetapi di satu sisi dia memang gadis yang lumayan peka pada perubahan ekspresi seseorang. Cuma, apa maksudnya memberitahukan itu padaku?

Oh ....

"Keknya dia sedih deh tau lo hamidun duluan, gue rasa--"

"Vi, lo salah liat, Pak Ajun emang kadang mukanya begitu, lagian buat apa dia sedih juga? Aneh aja lo, Vi." Aku menepis ungkapan paling mustahil dari Vivian. "Kita udah bicarain ini oke? Gue gak mood bicarain hal yang sama."

"Eh, sorry sorry, Kak. Gue gak maksud."

"Ya udah, gue tutup, jangan nelepon lagi, gue ada acara gak mau ketinggalan! Bye!" Dan panggilan aku matikan sepihak, aku menghela napas gusar berikutnya, dasar Vivian dengan seribu satu kehaluannya.

Mana mungkin Pak Ajun begitu, aneh-aneh saja, aku pun tak mau ambil pusing memikirkan hal tak penting tersebut. Fokus menonton sampai tak sadar akhirnya aku terlelap.

"Non, bangun, Non." Suara samar-samar terdengar, aku perlahan membuka mata. "Non, makan siang," katanya.

Sepertinya itu pembantuku, dan kala benar-benar jernih penglihatan, memang itu dia. "Oh, iya, Bi. Nanti aku ke sana, tunggu bentar lagi, ya."

"Baiklah, Non."

Semua kebutuhanku, serta tetek bengeknya,  dikerjakan dua ART yang aku sewa. Mereka melakukan dengan baik hingga aku serta bayi yang aku kandung semakin sehat, dan seiring waktu menuju hari H lancar, walau perutku membesar lebih cepat kebanding kehamilan biasa. Jelas, karena tiga sekaligus di dalamnya.

Kelamin pun sudah tampak jelas, laki-laki katanya, perkembangan mereka sangat memuaskan.

Kabar di sini baik, di sana pun demikian, Vivian, Sarah, dan Tyona, serta beberapa insan yang mengenalku, mulai menyerahkan beberapa hadiah untuk bayiku. Meski akurasi mungkin lumayan, tapi tak memungkinkan jika malah lahir sebaliknya, jadi aku menyetok beberapa pakaian unisex di sana.

Dan lalu, aku tak menyangka, seorang Arjuna Thomas juga ikut andil, meski kali ini disalurkan melalui orang kepercayaannya. Ternyata pria itu punya empati juga.

Dengan bantuan orang kepercayaanku, secara rahasia, semua yang mereka beri dikirimkan padaku.

Semakin hari, perut ini semakin sesak karena penghuninya, dan tentu ada rasa tak nyaman karena organku rasanya tergencet hal yang tak bisa aku lawan, apalagi kalau ada tendangan-tendangan, tetapi ini sensasi yang membahagiakan mengetahui bayi-bayiku sehat. Ada rasa nyeri, tetapi bisa aku tahan, karena sebagai calon ibu aku rasa aku memang harus sekuat itu. Selayaknya ibuku dulu. Apa beliau pernah punya anak kembar? Karena tak menutup kemungkinan ada keluarga yang serupa dan terturun padaku. Selain perutku pun, aku baru sadar banyak hal yang membesar dari tubuhku, seperti buah dada, dan berat badan naik drastis.

Lalu, detik demi detik menuju hari H, oh perutku seperti membiru, menonjol ke depan dengan tak masuk akalnya, mungkin di sana akan timbul stretchmark yang lumayan parah, kulit perut benar-benar dipaksa tertarik menonjol ke depan. Namun, aku berusaha tetap kuat, tak ingin bayi-bayiku lahir prematur, lagipula selain bentuk perut, kondisiku lumayan memungkinkan untuk bertahan.

Kemungkinan besar, aku akan melahirkan secara sesar.

Bulan terakhir kehamilanku, aku merasa benar-benar akan meledakkan perut, kontraksi demi kontraksi palsu hadir disertai geliatan tiga bayi mungilku yang sepertinya tak sabar melihat dunia. Menunggu jelang operasi akan dilakukan nantinya.

Lancar jaya, hingga hari H.

Banyak persiapan yang aku lakukan, dan jujur saja aku sangat gugup dengan apa yang terjadi berikutnya, tetapi ternyata tak seburuk itu, mungkin.

Aku tak bisa menceritakan secara pasti apa yang terjadi, pakaian berganti, masuk ke ruang operasi, usai dipasangi kateter, lalu diberi bius lokal yang membuatku masih sadar apa yang terjadi di meja operasi yang menjadi super dingin setelahnya, hingga aku meminta selimut tambahan. Di sana aku berbincang dengan seorang pendamping wanita, demi menghilangkan kegugupan, bayangkan saja saat sadar perut harus dibelah sedemikian rupa demi mengeluarkan tiga bayi kembarku, walau tak terasa sakit.

Namun, ada sensasi tak nyaman kala dokter menekan perut atas, aku tanpa sengaja muntah di sana, untungnya perawat baik itu menolongku dengan itu semua.

Takut dan gugup hal wajar katanya, apalagi ini kali pertamaku, tetapi setelah itu duniaku akan berubah tepat kala mendengar suara tangisan itu. Semua berjalan selancar rencanaku, seperti biasa, dan aku menangis haru usai perjuangan berat yang aku lalui di bekunya ruangan tersebut. Melihat tiga bayi sehat yang menangis kencang, mereka bertiga terlihat sangat tampan.

Lanjut ke perawatan berikutnya, aku bersyukur aku bisa melakukan inisiasi menyusui dini karena kondisiku dan bayi-bayi sehatku amatlah memungkinkan akan hal tersebut, walau agaknya kesulitan. Aku punya dua tempat ASI, tetapi bayiku yang kini semakin imut kala dikeringkan dari sisa-sisa cairan lain tadi, ada tiga. Apalagi kondisiku tengah dijahit. Maaf anakku yang tak kebagian susu sebentar, nanti akan Mama kasih, kok, Sayang.

Selamat datang di dunia yang Mama jamin kalian akan bahagia, ya.

Yasawirya Roman
Yudayana Roman
Yogaswara Roman

Yasa, Yuda, dan Yoga, nama kecil mereka nantinya. Mereka kembar identik, dan aku belum benar-benar bisa membedakan secara fisik, tetapi lama-kelamaan mungkin bisa aku bedakan karena mereka darah dagingku sendiri.

Semua berjalan baik, dan untuk beberapa bulan ke depan, mungkin aku akan tetap di sini sampai waktu yang ditentukan. Jelas, beberapa orang tak sabar melihat bayi triplets dari si triplek itu, tetapi mau bagaimana lagi, kondisi tenang dan damai untuk pemulihan pasca operasi adalah pilihan tepat. Aku pun tak mungkin melakukan perjalanan jauh jika usia bayiku rasanya belum pantas dibawa ke sana kemari, mereka terlalu kecil dan terlihat rapuh. Aku tak mau mengambil risiko, mereka juga harus menerima ragam imunisasi, vaksinasi dulu, agar terhindar dari ragam penyakit.

Lancar sekali rencana ini, meski ternyata, jadi ibu sangatlah melelahkan, apalagi dari tiga anak dan pengobatan pasca sesar, padahal sudah dibantu dua orang perawat khusus. Huh ....

Namun, melihat perkembangan mereka, rasa lelah rasanya bisa ditepis dengan mudah.

Bulan pertama, Yasa, Yuda, dan Yoga, bertumbuh dengan baik selayaknya anak satu bulan kebanyakan. Gerakan refleks, mulai mengikuti gerakan benda yang bergerak, tidak ada masalah, motorik yang lincah. Dan pembeda, Yasa rambutnya lebih terang, Yuda dan Yoga gelap, dan Yoga lebih tipis.

Bulan kedua, ketiganya masih sehat seperti biasa, lebih banyak juga bersuara, cuma sulit sekali menidurkan mereka. Karena satu menangis, semuanya ikut nangis, triple suara pokoknya. Aku dan ART-ku jadi benar-benar kelimpungan, tetapi semua bisa diatasi dengan baik. Masa-masa mereka mulai bisa berpindah tempat dengan merayap sedemikian rupa, lucu sekali, tapi capek.

Bulan ketiga, rayapan mulai ke sana kemari, untungnya memakai pagar jadi mulai bisa dikontrol, tetapi rasanya aku tak bisa lepas mata dari mereka bertiga yang lincah.

Capeeek.

Namun, ragam ekspresi yang kali ini mereka tunjukan, sungguh imut! Apalagi, sesekali tertawa.

Husbandfree [tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang