Ajun tak terlalu buruk memakai pakaian yang berikan, syukur saja itu baju sweater lenga panjang hitam yang memang dirancang oversize hingga muat dengan badannya, serta celana pendek, ini kali pertama aku lihat dia dalam setelan begini selain jas hitam membosankan yang sering membuatku mengira dia mungkin tokoh animasi--tak pernah ganti pakaian.
"Gimana? Nyaman?" tanyaku, dia mengangguk. "Sekarang, kamu jaga anak-anak, aku mau mandi."
"Siap, Bu Bos!" Kami tertawa hangat akan hal tersebut.
Aku pun segera membersihkan diri, tak mau buang-buang waktu khawatir anak-anak merindukanku, syukurlah mereka anteng walau kadang terdengar merengek, Ajun berhasil menenangkan mereka.
Selesai itu, langsung mengeringkan badan, berpakaian, dan mengurus anak-anak lagi.
"Makan malam, mau makan apa?" Ajun angkat suara, entah kenapa aku merasa dia seperti pacarku saja.
"Entahlah, kamu sendiri mau makan apa?"
"Apa kamu ada alergi sesuatu?" Aku menggeleng. "Vegetarian? Vegan?" Hal mustahil karena aku suka makan daging. "Bagaimana kalau memesan spaghetti?"
"Boleh juga, aku mau puttanesca," kataku, spageti enak juga.
"Good choice, aku akan pesan," ucap Ajun. "Kalau anak-anak?"
"Anak-anak biasanya cuma ASI, tapi bisalah cemilan kecil-kecil, apa ada?"
"Ada spageti khusus anak baby di sini, sepertinya boleh dicoba?" Aku mengangguk setuju. "Baiklah, beres, akan segera tiba."
Kegiatan kami berlanjut, pesanan tiba, makan malam bersama, dan tak lupa ganti popok pula, barulah menidurkan para jagoan kami di kamar. Lebih rumit bagian ini, tetapi syukur saja kami bisa menanganinya meski sangat lelah akhirnya.
Kini, aku dan Ajun istirahat sejenak di sofa sebelum pria itu pulang.
"Bagaimana pengalaman jadi ayah yang baik, Arjuna Thomas?"
"Itu sungguh luar biasa ...." Ia menjawab, ada senyuman keluar dari bibirnya saat aku lihat.
"Luar biasa melelahkan?" Kami tertawa bersama.
"Semuanya campur aduk, tapi dominannya, aku senang banget bisa bersama anak-anak seharian ini. Sungguh, sangat-sangat bahagia, pria 'mandul' sepertiku, bisa menghasilkan anak-anak selucu, semanis, setampan, Yoga, Yasa, dan Yuda. Pengalaman yang amat luar biasa ...." Walau kemudian, dia terdiam, tadi kelihatan bahagia.
"Kenapa?"
"Uh, oh, tak apa." Pipinya memerah, aku berusaha membaca isi hatinya, meski aku bukan cenayang sepertinya aku paham isi kepalanya.
"Apa kamu bertanya-tanya gimana aku dan kamu--"
"Oh, gak usah diceritakan, sepertinya itu memalukan," kata Ajun, kelabakan, tapi aku yakin dia penasaran.
Entah kenapa aku tak merasa malu menceritakannya karena tingkahnya begitu, menggoda pria yang dulu sedingin es tetapi isinya aslinya lucu memang semenyenangkan itu ternyata.
"Dalam kue cucur yang aku kasih, ada dosis obat tidur di sana, semua udah aku perhitungkan kalau kamu bakalan gak akan sadar dan kembali ke mobil kamu, yang pasti kamu letakkin di tempat terpencil dari yang lain." Aku memulai ceritaku, dia menatap tak percaya. "Saat tidur, aku melakukan itu."
"Tunggu, itu tepatnya saat ... pesta kepergian kamu?" Ajun bertanya, aku menggumam mengiyakan. "Aku ketiduran dan memang ... uh ... astaga ... itu bukan sembarangan mimpi basah, tapi saat bangun aku ... tak basah."
"Karena jejaknya sudah aku hilangkan. Tentunya dilap, dibersihkan, dan--"
"Kamu melihatnya?!" Matanya membulat tak percaya.
"Enggak, kok, enggak, tapi dia lumayan besar." Aku rasa kalau Ajun di sebuah kursi, dia akan terjengkang, wajahnya lucu kala kaget. "Bagaimana, masih ada yang ingin ditanyakan, Juna?"
"Kamu memang wanita yang ... agak gila." Aku tahu, harusnya aku malu mengatakan itu, tapi ekspresi Ajun sangat manis, aku tak bisa mengelaknya.
Apa aku ini tipe wanita dominan dan dia si imut slave-nya? Aku memang selalu ingin mendominasi.
Gestur Ajun sekarang kelihatan tak nyaman, ada keringat di keningnya, dan dia tampak membenarkan bagian celana. Oh, benar, dia pria dengan nafsu, malam-malam begini sepertinya banyak setan penggoda, aku sih bisa menahan diri tetapi melihat Ajun yang frustrasi, kenapa jiwa ala-ala sugar mama ini ingin semakin menekannya?
Aku rasa aku memang segila itu.
"Maaf, ya, Ajun. Aku tau aku nekat dan bodoh." Aku menyentuh pahanya dan ia terkesiap.
"Mm yah, a-aku mengerti." Kegugupannya memang punya kharisma unik, apa memang sisi ini yang aku butuhkan dari seorang lelaki?
Karena memang, aku benci laki-laki yang terlalu mendominasi dan penekan, Ajun yang dulu aku kenal begitu, tetapi Ajun saat ini sebaliknya, dia memang pria culun yang cupu ... apa kalau aku mengenalnya lebih dalam, dan dia terus-terusan begini, hubungan kami akan berjalan sesuai ekspektasi haluku dalam percintaan?
Benar, kah?
Aku dengar Ajun menghela napas gusar, aku menoleh dan ia menyugar rambutnya ke belakang. "Aku gak tahu harus berkata apa."
"Ajun," panggilku, dia bergumam tanpa menoleh, dia seakan takut melakukannya. "Tanggapan kamu soal ceritaku, malah membuat kamu kelihatan kek perjaka, sementara aku yang kali pertama sama kamu anehnya santai."
"Oke, aku katakan, kamu mungkin bukan hanya agak, tapi memang gila." Akhirnya dia mengutarakan unek-uneknya sepertinya. "Aku kira kamu wanita kalem yang ...." Dia tak melanjutkan, tetapi aku paham maksudnya. "Wajar aku gugup sekali karena berhadapan dengan sisi asli kamu ini, oke? Aku ingin menjaga kamu, kamu trauma soal pria kan? Aku akan jujur, di bawah sana bisa saja menyobek celana yang kamu pinjamkan kalau kamu memulai pembicaraan mesum, better don't."
Aku tersenyum. "Mungkin saja aku bukan trauma dengan pria, tapi trauma dengan sikap yang pernah dilakukan seorang pria itu samaku. Kamu tahu, abusif, toxic, bermulut pedas, tapi kalau sebaliknya ... mungkin saja hubungan ini berjalan lancar."
Kali ini, Ajun menatapku, dia seakan tak berkedip.
"Inilah aku, Ajun, mentalku gak sama setelah kejadian di masa lalu, dan gak satu dua orang mungkin menganggap aku memang gila. Yang kamu liat selama ini, hanya topeng sebagai asisten pribadi yang gak mau bermasalah dengan atasannya yang super duper cerewet," kataku, keadaan terasa lebih melegakan setelahnya. "Sekarang, apa yang kita lakukan berikutnya? Kamu tahu aku sekarang, kamu akan semakin jauh mengerti kalau kamu memutuskan ingin dekat denganku, dan aku pun demikian, bagaimana menurut kamu soal itu?"
Ajun menghela napas. "Sebenarnya, tak banyak berubah selain kamu lebih mesum dan lebih mengekspresikan emosi kamu kepadaku, Romansa. Dan aku tetap mencintai kamu, karena perasaanku kadang seperti ungkapanku. Mutlak. Kalau begitu sepertinya, aku bisa seperti ini, seperti diriku yang dulu si cupu nerd baik hati dan tidak sombong ...." Dia sedikit tertawa akan perkataannya, aku jadi tergelitik.
Ternyata, dia memang nerd cupu, walau penampilannya jika tanpa kacamata bisa jadi womanizer kelas kakap sedingin kulkas ataupun tebar pesona.
Dan aku sedikit tersentak, tersadar karena kini wajahnya tepat di depan wajahku, sejak kapan dia sedekat itu?!
Sangat dekat, sampai-sampai aku bisa mencium aromanya, aroma sabun mandiku serta napas mint.
Kenapa dia sedekat ini? Aku jadi tersipu akan pesona ketampanannya yang harus aku akui, luar biasa! Apa posisi kami terbalik sekarang? Meski aku masih bisa melihat kedua pipinya bersemu juga ....
Oh, nafsukah yang menggerakkan?
Jangan-jangan dia akan ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Husbandfree [tamat]
Romance[21+] Nekat dan TOLOL Adalah hal yang bisa disematkan pada Romansa Nugraha, wanita 27 tahun, seorang asisten pribadi yang di luar kalem, nyatanya di dalam rada gila. Bagaimana tidak? Dirinya bukan penganut childfree, melainkan husbandfree--menurutny...