30; husbandfree

3.8K 253 23
                                    

"Selembar kertas, bisa saja direkayasa." Kenapa pria ini tak mau mempercayai kenyataan? Dia memang tak mau kalah tanding dengan Ajun sepertinya.

"Yah, memang, kamu sepertinya tau sekali soal pemalsuan dokumen di atas kertas," kataku, aku sebenarnya tak terlalu tahu soal dia jadi sindiranku bisa saja tak ngena.

Namun, dia malah tersenyum. Siap dia menyentuh pipi gembul Yasa andai aku tak menepisnya. "Sterilkan dulu tanganmu sebelum menyentuh anak-anak."

"Ouh, aku kira kamu bakalan melarangku menyentuh keponakanku," katanya, tertawa, membersihkan tangannya kemudian siap menggendong Yasa.

Namun, aku diam-diam tersenyum karena Yasa merengek keras tak mau digendong olehnya. Bahkan meronta sedemikian rupa hingga dia menghela napas kewalahan dan sepertinya menyerah.

"Like father like son," katanya, benar sepertinya, anak-anakku seperti ayahnya yang membenci pria ini. "Jadi, besok kalian akan melangsungkan pernikahan? Private?"

"Entahlah, calon mertua saya yang mengurus," jawabku seadanya, aku tak terlalu peduli bagaimana perayaannya nanti, yang terpenting hasilnya.

"Oke ...." Apa dia tak berniat bertanya sesuatu lagi? Baguslah, sebaiknya dia pergi. "Arjuna sepertinya pria yang beruntung mendapatkan wanita sepertimu."

"Saya bukan objek keberuntungan." Apa dia berniat memujiku? Atau menyindirku? Pria ini misterius juga.

"Katakan, apa yang membuatmu tertarik pada Arjuna?"

"Muka tampan." Aku jujur saja, toh memang demikian, menurutnya kenapa aku memilih si bibit unggul itu selain hal tersebut?

"Hanya itu?"

"Dia pria yang baik." Tanpa menoleh aku menjawabnya, fokus pada anak-anak.

"Kaya raya?"

"Yah, boleh, tapi saya pribadi juga cukup berada." Kali ini aku menatapnya dengan senyum manis, omzetku jangan diremehkan. "Paling utama, Arjuna tampan dan baik."

"Kamu yakin dia begitu? Dia bisa saja--"

"Tidak, saya tak pernah seratus persen mempercayai apa yang saya lihat, apalagi dari kalangan manusia, mereka makhluk yang bisa berubah kapan saja."

Ada senyum menyebalkan tercetak di wajahnya, uh harusnya aku mengabaikannya saja, dia sepertinya tak akan mudah pergi sekarang. Ajun, cepatlah datang dan usir makhluk satu ini! Mulut berbibir lihaiku seakan senang sekali menjawabnya.

"Tak ayal Arjuna menyukaimu, kamu memang wanita yang menarik," katanya, aku memutar bola mata malas. "Sepertinya terlalu rendah kalau Arjuna yang bersamamu."

Aku menepis tangannya yang menjalar ingin menyentuh pipiku, ternyata benar kata Ajun, dia punya kecenderungan merebut apa yang Ajun punya. "Tolong, yang sopan, apa maksudnya tadi?"

"Ah, maaf."

"Ingat anak istri, Victor." Aku menekan kata-kataku dan dia hanya tertawa.

"Apa Ajun bilang aku selalu mengambil apa yang dia punya? Maaf, aku tak bermaksud demikian, hanya saja ... well, aku memang lebih pantas di posisi itu kebanding dia yang selalu nomor dua." Malas sekali mendengarkan ocehan orang sok percaya diri ini, lagipula apa lagi selain kenyataan dia memang senang merebut kepunyaan Ajun?

"Bukannya kamu memang berusaha merebut apa yang dia punya sekarang? Termasuk saya, bahkan anak-anak saya?"

"Well, saat ini bukan merebut namanya kalau belum dia miliki, kan?"

Mataku memicing, dia mulai melangkah mendekatiku. "Mau apa kamu?" Dia terus mendekat dan aku diam di tempat, entah kenapa aku tak gentar olehnya.

Aku ingin melakukan sesuatu ....

Dan kini, kami berhadap-hadapan, dia mulai memegang daguku dan mendongakkan kepalaku agar menatapnya. Aku tersenyum bengis membalas senyumannya pula.

"Aku opsi yang lebih baik, kamu bisa lihat pencapaianku daripada si cupu itu, aku--ARGH!"

Tinjuan tepat di bola aku layangkan, membuat Victor mundur memegangi pp-nya dan mengerang kesakitan. "Wanita sialan!"

Berikutnya, aku melayangkan tinjuan ke pipi, membuat Victor tersungkur ke lantai. Tinjuanku menyakitkan, tapi posisinya tak akan menimbulkan bekas berarti.

"Pencapaian saya juga bagus, Victor. Saya ikut kick boxing," kataku, melipat tangan di depan dada. "Dan saya suka sekali menjadikan pria pengkhianat sebuah samsak, itu mengingatkan saya pada mendiang ayah saya dulu. Memang bagusnya, jadi samsak." Aku memperagakan gaya meninju samsak dengan kedua tangan.

"Wa-wanita gila!"

"Enggak satu dua orang yang bilang begitu." Aku tersenyum manis. "Kamu keknya frustrasi banget mencari cara merebut kembali milik Ajun, yang Ajun dapatkan lagi." Aku menerka-nerka, dan dia mengusap pipinya seraya berusaha berdiri. "Menggoda saya itu pilihan buruk, tak ada artinya, tak menghilangkan fakta jika Ajun enggak mandul dan punya anak."

"Apa kamu manusia yang lahir hanya untuk mengambil milik Ajun? Mau dapetin saya biar Ajun sedih? Gitu, kah?" tanyaku lagi, ia masih belum menjawab. "Seru sekali hidup sebagai tukang rampas, apa kamu iri sama Ajun?"

"Di-diam kamu!"

"Saya cuman tanya." Dia sepertinya emosi, menandakan mungkin ucapanku benar. "Apa itu menjadi kebahagiaan tersendiri dari seorang Victor, yang katanya di atas Ajun, harusnya kalau kamu di atas Ajun ya gak perlu merampas hak Ajun toh kamu kan udah di atas dia."

"Sialan!" Tanpa aku duga, dia melayangkan pukulan, untungnya aku bisa menghindar karena dia sepertinya besar badan saja, tenaga tak ada.

"Kamu pria yang menyedihkan, Victor. Jalan hidup yang kamu ambil malah semakin menegaskan kamu di bawah bayangan Ajun. Get a life, Dude." Aku menatapnya santai, seraya menghela napas, dan seperdetik kemudian Victor berbalik dan pergi dari hadapanku.

Aku menghela napas lega setelahnya.

Apa itu tadi? Aku baru saja membuat bendera perang. Namun, aku kalap rasanya, tak mau mendiamkan pria menyebalkan itu.

"Yah sudahlah." Sudah terlanjur terjadi, entah apa yang berikutnya akan terjadi, tetapi perlu diketahui aku bukan wanita kecil yang lemah seperti dulu.

Aku ... tak sendirian.

Aku juga, punya kemampuan.

Berani macam-macam, maka aku akan tampakkan taringku, yang cukup kuat menyobek segala jenis halang rintang yang ada. Dia kira aku wanita murahan yang lemah dan gampang terbuai entah apa kehebatannya.

Kalau dibandingkan Ajun, sih, jelas Ajun juaranya.

Ajun pasti tak akan tinggal diam kalau anak dan calon istrinya kenapa-kenapa. Dari awal aku takut bermasalah dengannya karena tahu statusnya.

Tak lama berselang, akhirnya Ajun datang, dia tampak berseri.

"Coba tebak apa yang orang tuaku katakan," katanya, aku jadi ikut bahagia setelah tadi bersitegang dengan sepupunya, sepertinya aku akan menunda memberitahukan soal hal tersebut pada Ajun.

"Apa?"

"Kita bisa menikah hari ini juga."

"What?!" Aku menatap dengan mata berbinar.

"Yea, ayo kita pergi bersama anak-anak."

Aku berlari ke arah Ajun kemudian memeluknya erat, ini hal baik, dan Ajun balik memelukku. Kami sejenak berciuman sebelum akhirnya menggendong anak-anak, bersiap-siap dengan pernikahan kami.

"Oh ya, ada yang ingin aku beritahu, tapi nanti setelah pernikahan," kataku akhirnya, tak mau menghancurkan kebahagiaan saat ini.

"Kenapa enggak sekarang?" Aku hanya tersenyum membalasnya. "Baiklah, aku bakalan nunggu."

Dan berikutnya, pernikahan.

Versi lengkap chapter 31 dan 32 berikutnya tersedia di karyakarsa ya ;) karena di sini akan diunggah setengahnya saja muehehehe

Husbandfree [tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang