19; husbandfree

5.4K 369 11
                                    

Aku terhenyak di sofa sesekali seraya menonton televisi, semua insan telah terlelap di rumah ini dan hanya aku, orang yang terpaksa bangun dikarenakan menunggu Pak Ajun yang belum juga menampakkan tanda-tanda kedatangan. Bahkan sesekali aku terperanjat karena kepalaku jatuh tiba-tiba, dan ini ketiga kalinya hingga aku menggeram kesal.

Ck, lama sekali, apa orang itu tak jadi datang? Ya sudahlah, aku mau ke kamar saja, capek menunggu.

Namun, belum sempat televisi aku matikan, ketukan di pintu terdengar. Segera aku melangkah ke depan, sedikit mengintip dari balik jendela, sesosok pria berjas tinggi, dan dari samping sudah sangat tampan berisi.

Sudah bisa ditebak, siapa itu, dan aku membuka pintunya dengan wajah masam.

Pak Ajun, yang tadi tersenyum, mulai terlihat merasa bersalah melihat keadaanku. Sepertinya ketahuan persis, aku sangat amat mengantuk, dan dia memaksaku terjaga.

"Ouh ...." Dia kelihatan gagap sekarang. "Maaf, tapi bakso mercon yang aku beli, bakso mercon viral jadi ... banyak sekali pembelinya. Maaf, aku sungguh minta maaf." Dia mengangkat dua bungkus bakso di tangan. "Dan bolehkah, aku minjam mangkok sama sendok kamu?"

Aku menghela napas dan memijat kening sebentar. "Masuklah, Pak."

Aku berbalik dan berjalan menuju tempatku tadi, kala menoleh sekilas Pak Ajun tampak menutup pintu dahulu kemudian mengekoriku. "Duduk dulu aja, Pak, dan letakkin saja di sini, Pak, saya mau ngambil mangkok sama sendok."

"Baiklah." Aku tak perlu menoleh dan yakin dia pasti menurut, langkahku cepat menuju dapur guna mengambil alat makan tersebut sebelum tak lama kembali menghadap Pak Ajun. Dia kelihatan menyembunyikan wajahnya dari televisi.

Takut?

"Ini, Pak."

"Oh shit!" Pak Ajun bahkan terlonjak, aku tertawa geli. "Maaf, aku kaget."

"Bapak takut film ini? Film tentang alien?" tanyaku, memang sedari tadi aku menonton film alien yang lumayan seram dan gore.

"Uh ...." Pak Ajun tak menjawab, meski demikian wajahnya memperlihatkan semua itu dengan jelas, dia jadi semakin ekspresif terhadap sekitar.

Sebenarnya aku rasa aku pernah lihat dia ketakutan di beberapa situasi, meski demikian berhasil mempermanenkan wajah datar, walau keringat dingin membanjiri.

Aku letakkan mangkuk dan sendok ke meja, kemudian mengambil remot, mengganti ke channel kartun dan kebetulan sekali, si beruang sial hadir di sana. Aku tersenyum kecil pada Pak Ajun.

"Favorit Bapak, bukan?" tanyaku.

Dia malah menatapku polos. "Ba-bagaimana kamu tau?"

"Saya pernah liat celana Bapak, lumayan imut." Tak apa kan aku membongkar hal yang sudah diketahui saat aku memperkosanya dulu. Entah kenapa aku tak terlalu malu, malah geli.

Akan tetapi bagi Pak Ajun, sepertinya itu aib, karena kedua pipinya kelihatan bersemu.

"Gak akan saya kasih tahu sama siapa pun, kok, Pak. Saya menjaga image Bapak sebagai atasan yang disegani," kataku, dia menghela napas panjang.

"Kartun memang salah satu obat bagiku, karena sedari kecil dipaksa dengan ragam hal dewasa yang gak sesuai umur, maksudku bukan film dewasa yang itu." Dia meralat, aku tertawa sembari mulai duduk di sampingnya.

"Tau, kok, Pak. Tau. Semua orang punya kesukaan, apa pun itu, saya gak berhak judge--selama gak bikin saya sebel dan meresahkan masyarakat sih." Aku mulai membuka masing-masing bakso kami. "Uh, masih panas ternyata." Tapi mau bagaimanapun, harus dibuka segera, kalau dingin tak akan enak.

"Biar aku bantu." Pak Ajun menawarkan diri, kini dia yang membukakan bakso masing-masing. Bakso mercon, dan bakso beranak biasa, tentu untukku dan untuknya sendiri.

Toleransi pedas Pak Ajun memang sangat rendah.

"Whoa, wangi banget, pantesan viral sih." Aku berkomentar, mulai menyesap kuahnya. "Wah!"

"Gimana, enak?" tanya Pak Ajun, aku mengangguk. "Sepertinya sangat pedas."

"Lumayan, Bapak mau nyoba?" Pak Ajun spontan menggeleng, aku tertawa seraya membelah baksoku.

"Itu kelihatan semerah darah dan uh ... cabai ...." Dia berdesis, aku langsung melahap cabai itu tanpa ragu. "Eh, anak-anak nanti kepedesan."

"ASI pedas karena makanan pedas itu cuma mitos, Pak. Lagian, ini gak sepedes itu, kok, dan saya makannya gak berlebihan," kataku, menikmati bakso di hadapan.

"Oh, begitu." Aku melihat Pak Ajun membelah baksonya juga. "Whoa, isinya ada tiga dan besar-besar," katanya, menoleh ke arahku. "Jadi keinget kamu dan anak-anak." Dia tersenyum ke arahku.

"Bener juga, baksonya gede juga luarnya, saya jadi keinget pas mengandung. Bapak sepertinya belum pernah lihat kondisi perut saya." Dia menatap, ekspresinya kelihatan penasaran. "Mau liat, Pak? Tapi jangan, deh, nanti Bapak takut."

"Memang ... seperti apa? Aku pernah, sih, melihat wanita hamil, tapi hanya satu, dan perutnya sudah cukup besar. Dan tiga ...." Matanya membulat lebar seraya melepaskan kacamatanya. "Apa perut kamu meletus?" tanyanya khawatir.

Ternyata dia malah bertanya dengan polosnya, apa aslinya Pak Ajun sepolos ini? Atau hanya bagian mimpi karena aku ketiduran?

"Enggak segitunya, Pak. Cuman emang gede banget. Makanya aku lahiran sesar."

"Sesar? Dibelah?" Aku mengangguk. "Ga-gak meledak, kan?"

"Eh, Pak, serem banget khayalan Bapak, ya gak segitunya, lah." Aku tertawa geli, entah bagaimana rasanya kantukku hilang karena si Ajun datar kesambet polos ini.

Dia kelihatan memelan saliva. "Aku mau lihat."

Aku mengangkat sebelah alis. "Bapak yakin?"

Dia mengangguk, anggukan yang kelihatan kaku.

"Baiklah, sebentar, ya, Pak." Aku mengambil ponselku yang ada di kamar dengan cepat kemudian menuju ke hadapan Pak Ajun, kembali duduk seperti tadi dan mulai men-scroll galeri turun.

Mencari, perut demi perutku yang aku foto. "Ini, Pak." Aku memperlihatkan galeri foto kecil dahulu, agar dia tak terlalu tegang melihat, tetapi Pak Ajun kelihatan tetap gugup, apalagi kala dia lihat di sisi atas terpojok.

Aku tersenyum dan menyentuh foto itu, dan tampaklah bagaimana aku mengandung. Perutku seakan ada guratan biru, terpaksa maju, melar, dan aku bisa dengan Pak Ajun menarik napas tertahan.

"Perjuangan seorang Ibu memang tiada duanya," gumam Pak Ajun. "Apa itu sakit?"

"Sakit, ngilu, dan rasanya organ seperti ditindih. Kalau berdiri kayak ada barbel diikat di perut," jawabku seadanya. "Cuma, momen-momen itu membahagiakan, saat saya dapet tendangan pertama, kami dengerin musik bersama, baca cerita, banyak hal. Dan akhirnya, Yoga, Yasa, dan Yuda terlahir. Rasanya, kesakitan itu cuma angin lalu." Aku tersenyum mengingat masa-masa pelik perjuanganku sebagai calon ibu.

"Uh ...." Aku menatap Pak Ajun yang menunduk. "Maaf, aku tak di sana menemani kamu."

Aku tersenyum kecut. "Bukan salah Bapak, itu kan saya memang punya rencana busuk, lagian ada atau enggaknya Bapak gak terlalu berpengaruh, yang ngerasain kan saya sendiri." Maksudku hanya bercanda sambil membalas ucapan Pak Ajun di mana dia sering beranggapan kalau tiada aku, dia tak kenapa-kenapa.

Namun, aku rasa, bukan waktu yang tepat.

Husbandfree [tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang