7; husbandfree

7.9K 451 15
                                    

"Kok bisa sih ampe dibentak? Gue seumur-umur jadi asisten dia, gak pernah ampe dibentak, paling dijulidin lho sama dikritik." Aku berkata heran, pasalnya memang begitu gaya seorang Pak Ajun, kesan dingin dan kalem, tetapi nyelekit.

"Gak tau, sih. Dia gak bilang apa-apa pas ditanya, langsung kabur gitu aja." Jelas sih, ada sesuatu yang dia lakukan, dan membuat Pak Ajun semurka itu, kalau tidak ya tak mungkin terjadi hal demikian.

"Itu keknya jelas, ada sesuatu yang dia lakuin yang bikin Pak Ajun murka, gue sih selama ini gak pernah ampe segitu. Entah apa yang dia lakuin." Aku beropini.

"Bener juga, sih. Biasanya juga Pak Ajun kalem, gak ampe bentak-bentak, gue aja udah curiga pas dia bilang soal itu. Pasti macem-macem." Tyona ikut berasumsi, aku memberikan jempol padanya.

"Cuman, tetep aja, semarah apa pun ngapain pake kabur segala, sih? Kami kan perlu dia, dia pimpinan perusahaan lho, hadeh kacau kinerja kami." Sarah pasti menggerutu saat ini, pun Tyona. "Ke mana tu orang sih?!"

"Gue tau dia di mana, dia ada di sini, beli kue gue," kataku to the point.

"Hah, seriusan?!" Mereka sepertinya kaget, bahkan mengirim pesan sama bersamaan.

"Iya, lo tau kan salah satu obat Pak Ajun kala stres ya kue gue, dan keknya dia stres terus karena beli kue gue mulu."

"Sis, tolong dong kasih tau dia buat balik ke perusahaan, minimal cek berkas kami, kek." Aku tak akan tega melihat teman-temanku kariernya amblas karena sikap kekanak-kanakan atasan mereka, meski kesal harus berhadapan dengan Pak Ajun, tetapi ini demi masa depan sobat seperjuanganku.

Namun, bagaimana cara membujuknya? Pak Ajun tipe yang susah kalau sedang ngambek apalagi yang diambekkan persoalan hal yang bahkan membuatnya membentak seseorang. Walau aku rasa dia akan memikirkan soal kelangsungan perusahaannya, tetapi dalam lubuk hati terdalam, ada secercah rasa iba kalau tanpa melakukan bujukan termanis.

Dia--yang sampai ke mode murka--pasti sangat tersakiti, entah apa yang sakit. Dia pria berlogika yang pasti bukan sekadar hal sepele yang membuatnya begitu. Mungkin harus aku sogok dengan kue lagi?

Ide yang lumayan bagus.

Saat keluar dari ruangan, kebetulan sekali, Vivian baru saja lewat dari luar. "Vi, Vi, Vi!" Aku menghentikannya, dan dia jelas berhenti spontan.

"Kenapa, Kak?" tanyanya, bingung.

"Vi, Pak Ajun masih ada di depan?" Sejenak, dia menatapku intens, entah apa yang dipikirkannya tetapi sepertinya heran karena aku tiba-tiba mencari Arjuna Thomas setelah tadi menolak keberadaan pria itu. "Vi, gue ada urusan penting sama dia, bukan kehaluan lo!"

"Eh, masih, Kak, urusan penting apa tuh?" Dia memicingkan mata, mendekatkan wajah seakan mengintimidasi tanda curiga.

Aku mendengkus mendorong wajahnya. "Urusan temen gue sama kantor, tu orang ternyata habis kabur dari tanggung jawab, udah deh jangan banyak tanya lagi. Bikinin makanan spesial lagi, nanti bawa ke gue, mau gue anter ke Pak Ajun."

"Oh, oke, oke, Kak. Hm ...." Sempat-sempatnya dia melirikku dengan ekspresi seakan curiga itu.

"Heh!" tegurku, dia hanya cengengesan kemudian kabur ke dapur. Apa dia tak dengar alasanku tadi? Memang sinyal Vivian terhalang poni meresahkannya itu.

Aku ke depan lagi setelah itu, melihat keberadaan Pak Ajun yang masih di posisi sama, apa dia akan tetap di sana sampai jam kerja kantor selesai? Dasar tukang bolos. Dia sepertinya tak berniat beranjak dari situ, parahnya kalau sampai tokoku tutup.

"Nih, Kak." Aku menoleh dan segera menyambar nampan dari tangan Vivian.

"Thanks, Vi." Dan segera, menuju ke meja Pak Ajun.

Lalu, ketika aku berada dekat mejanya, tiba-tiba pria itu menyeletuk, "Lagi?" Tanpa menoleh, fokus ke gawainya.

"Kali ini, dari temen-temen saya, Pak," kataku, dan seketika mata cokelat berkacamatanya menatapku intens.

"Teman?"

"Ya, sepertinya Bapak ... ada masalah di kantor ...." Aku mengode, dia pasti paham maksudku tanpa perlu penjelasan panjang lebar.

Pak Ajun menghela napas. "Katakan pada mereka, saya akan kembali sebentar lagi, dan tak perlu repot-repot menyogok dengan ini." Dia menunduk sejenak. "Tampaknya kamu pribadi sudah tahu inti masalahnya, meski hanya dari sudut pandang mereka."

"Soal asisten Bapak, kan? Sepertinya dia mengundurkan diri."

"Baguslah, saya tak perlu repot-repot memecat dia." Pak Ajun menyesap sisa kopinya, sepertinya dia sangat emosi sekarang.

Sebenarnya apa yang dilakukan wanita itu sampai Pak Ajun seemosi ini?

"Meski kinerjanya lebih cekatan dari kamu, wanita itu benar-benar keras kepala hari ini, saya beradu mulut dengannya soal penampilannya. Kamu pasti tahu saya sudah menetapkan peraturan agar asisten pribadi berpakaian sopan." Oh, itu peraturan pasti, aku tak pernah bermasalah dengan itu karena aku sendiri tak suka pakaian seksi. Lagipula, apa yang aku ekspos? Kulit bergelambir? "Dan kemudian, dia mulai mengeluarkan unek-uneknya, prinsip my body my choice padahal masih ada prinsip lain, di mana tanah berpijak di situ langit dijunjung, sebenarnya saya pun tak mempermasalahkan bagaimana cara berpakaian, tapi di luar sana, bukan di situ, di situ area pekerjaan saya, saya tak nyaman dengan itu, dan kemudian dia menangis, saya kesal dengan tingkah playing victim wanita itu, ia yang salah dia pula yang merasa teraniaya."

Pantas saja, tetapi aku tak menyangka asisten pribadi Pak Ajun yang baru berani menyolot balik. Cari mati sepertinya. Aku, sih, bukan tak berani menyolot balik dia, hanya saja gajiku terlalu besar untuk ditinggalkan, dan Pak Ajun terlalu ngeri untuk dijadikan musuh bebuyutan. Sayang seribu sayang, tetapi siapa yang sanggup bertahan kalau atasannya modelan penjulid handal Arjuna Thomas.

"Jadi, begitu kronologinya, Pak, sampai Bapak akhirnya memilih kabur?" Aku tak menyangka dia akan berbicara panjang lebar tanpa perlu aku menanyakannya.

"Saya perlu penenang, atau emosi saya akan meledak lebih parah, saya tak mau menyakiti seseorang." Tanpa murka saja dia sebenarnya tak jarang menyakiti orang lain dengan komentar pedas. Kemungkinan orang akan termotivasi sepertinya lebih kecil kebanding down karena hal tersebut.

Lalu tak lama, Pak Ajun berdiri.

"Bapak akan ke kantor?" Mata Pak Ajun hanya menatapku tajam, pasti dia kesal kalau ditanyakan hal yang sudah jelas jawabannya retoris. "Mau dibungkusin saja, Pak, kuenya? Sayang, sih, teman-teman saya ngasih ke Bapak."

"Terserah kamu saja."

Meski ucapannya begitu, aku tetap memanggilkan pelayan guna membawa kotak tas untuk dibawa pulang, semoga saja dengan sogokan kecil itu mood Pak Ajun tak memburuk.

"Terima kasih, Romansa."

"Sama-sama, Pak. Sampai jumpa lagi!" Walau aku tak mengharapkan seorang Arjuna Thomas datang, sih.

Pak Ajun akhirnya pergi, sepertinya bukan karena misiku dia kembali, tetapi apa pun itu, setidaknya dia sadar soal pentingnya posisinya di perusahaan.

Sarah dan Tyona wajib, sih, membayar jasaku ini.

Husbandfree [tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang