Kala bermain dengan anak-anak bersama Ajun, ponsel pria itu berdenting tanda ada notifikasi yang masuk. Dia segera membuka ponselnya dan mengecek isinya.
"Kenapa? Kamu harus ke kantor?" Ajun tak menjawab, dia tersenyum ke arahku.
"Sebenarnya, sekretarisku mengirimi jadwalku hari ini, benar-benar kosong melompong ternyata seharian." Entah kenapa, saat mengatakannya, aku merasa ada sesuatu yang mengganjal. "Kalau boleh, apa aku bisa di sini lebih lama? Aku janji tak akan merepotkan."
Sudah diterka.
"Berarti tandanya, Bapak memilih cuti?" Aku bertanya memastikan, Pak Ajun pria yang jarang mengambil cuti bahkan mungkin nyaris tak pernah. Namun, dia senang kali bersama anak-anak, dan anak-anak sepertinya suka sekali dengan ayah mereka.
Pak Ajun menjawab dengan anggukan, dan aku tak sampai hati memisahkan mereka berempat. Lagipula, Ajun juga membantuku mengurus mereka, tidak ada salahnya sepertinya.
"Baiklah, sekalian aja sih kamu belajar jadi ayah." Dia menatapku seperti antusias. "Mau?"
"Tentu saja, apa yang harus aku lakukan?"
"Beberapa hal." Meski membiarkannya, aku tak mau Arjuna Thomas berleha-leha di sini, senyumku merekah lebar. Apa dia cukup hebat menangani ini? "Untuk sekarang, kita masih bisa nyantai, tunggu sebentar."
Dia mengangguk, sepertinya tak merasa bosan bersama anak-anak sambil memakan cemilan yang ada. Hitunganku, dari pukul 7 ke pukul 10, itu waktu di mana anak-anak mandi dan tiga jam kemudian, adalah saatnya.
"Sepertinya udah saatnya," kataku, mengalihkan perhatian Ajun.
"Oh, kalau begitu, kita ngapain?"
"Ganti, popok." Menjawabnya, aku tersenyum manis.
"Ah, ganti popok ...." Ajun menunduk, apa dia menyerah? "Gimana caranya?"
Yah, aku tak kaget dia tak tahu caranya karena pria ini sepertinya tak pernah berhubungan soal bayi sama sekali.
"Ayo, gendong anak-anak ke kamar." Untuk pelajaran pertama ganti popok anak-anak, ternyata cukup baik, karena memang lumayan gampang meski ada usaha keras karena lincahnya mereka. Dan Ajun kelihatan tak bermasalah dengan aroma popok yang penuh.
Hebat juga.
Sesi berikutnya, anak-anak makan siang, MPASI. Masing-masing dari mereka mendapatkan bubur buatan tangan dari ragam sayuran halus serta tambahan karbo beras merah, serta buah yang aku potong kecil dan satu persatu aku masukkan ke dot.
"Aku baru tau ada benda seperti ini," katanya mengangkat dot berisi buah kiwi dan stroberi di sana, buah-buahan yang dibeli Ajun tadi.
"Iya, dot buat buah."
Ajun mengangguk dan meletakkannya, dan tanpa disangka ia mencomot irisan buah lain, dia sangat cepat hingga kini irisan buah stroberi itu masuk ke mulutnya. Dan spontan, aku menampar tangannya.
"Itu buat anak-anak, mereka kadang suka nambah! Kalau kamu mau ambil yang utuh!" Aku berkata kesal bak emak-emak, tapi memang pada dasarnya aku emak-emak, sih.
"Uh, oh, ma-maaf."
"Potongin yang lain!" Dia sigap melakukan apa yang aku suruh.
Sementara pria itu memotong, aku menggendong anak-anak satu persatu ke meja khusus makan mereka. Oh ya saat ini hanya ada aku dan Ajun, karena aku memutuskan mengurus anak-anak tanpa bantuan bibi, hitung-hitung mengajari Ajun sekalian.
Sekarang, aku hanya perlu menunggunya selesai memotong, sepertinya dia buruk dengan hal itu. Gayanya memotong begitu amatir, dan tanpa aku sangka ....
"Ah, aw aw!" Dia tanpa sengaja mengiris tangannya.
Segera, aku menghampiri. "Kamu lupa?"
"Yah, luka kecil, bukan masalah." Lukanya mungkin kecil, tetapi darahnya cukup banyak dan pasti amat perih.
"Stop dulu, pegangin lukanya biar gak lebih banyak darah keluar, harus segera dibersihin dan ditutup biar gak infeksi," ucapku, sejenak beranjak menuju tempat lemari obat.
"Eh, mau ke mana?" Aku tak menjawab, hanya mengambil kotak P3K di sana dan mengambil pembersih luka, kemudian kembali padanya. Mulai melakukan pertolongan pertama, membersihkan luka dengan alkohol, memberikan obat merah, kemudian menutupinya dengan perban.
"Sudah." Aku menatap Ajun, dan dia kelihatan diam seraya tersenyum menatapku, seakan tak bergerak sama sekali. "Arjuna Thomas," panggilku.
Dia masih saja senyum, tetapi kali ini bersuara. "Terima kasih."
"Bukan masalah besar, ayo kita suapi anak-anak, mereka sudah lapar."
"Buahnya?" tanya Ajun, menunjuk buah yang belum selesai semua.
"Nanti aku aja motong setelah selesai."
Kini kami pun menyuapi anak-anak bergantian, dan siapa sangka, Yasa tiba-tiba bersuara.
"Paaa Paa!" pekiknya bahagia, sontak saja Ajun kelihatan amat bahagia.
"Iya, Sayang, aw manggil papa, ya? Iya Sayang Papa suapin, ya." Dan hal tersebut, diikuti juga Yoga dan Yuda, Ajun kelihatan amat girang dipanggil demikian. Itu pasti kali pertama dia mendengar anak-anak memanggilnya sesuai keinginan, meski dulu aku ingat kata anakku pernah bilang papa.
Suasana makan siang sangat hangat, sampai kami dihentikan oleh suara kentut yang bak basah terdengar, bukan dariku, ataupun Pak Ajun, kami menatap salah satu anak kami yang sepertinya menjadi sumber suara. Yoga.
"Apa itu? Apa popoknya sobek?" tanya Ajun, aku tertawa geli.
"Sepertinya, Yoga sedang pup." Yoga tampak tak nyaman setelahnya, sebelum akhirnya merengek.
Dan aku tak menyangka, berikutnya, anakku yang lain ikut-ikutan, Yuda, bergestur layaknya mengejan. "Ah, Yuda juga sepertinya."
Lalu, disusul yang lain, anak-anak kembarku ini memang hobi barengan, Yasa tampak menangis.
"Apa Yasa juga?"
"Mm-hm, ayo kita bawa mereka ke kamar, kita ... ganti popoknya lagi." Aku tersenyum kejam pada Ajun yang kelihatam ragu-ragu. Namun, sepertinya dia tak bisa menolak itu, jadi berikutnya sambil menggendong anak-anak yang merengek, kami menuju ke kamar.
Ajun kelihatan amat berhati-hati dan terlihat mual tadi.
"Gak kebiasa baunya ya? Pakai masker aja," saranku. "Ada di lemari."
Ajun menggeleng. "Aku ... gak mau jadi ayah yang buruk."
"Apa hubungannya ayah yang buruk sama memang gak tahan bau pup? Toh, kamu akan jadi ayah yang baik kalau sayang dan perhatian dengan anak." Aku menuju lemari, mengambil masker sekali pakai, dan menyerahkannya ke Ajun. "Pakailah."
Dia tersenyum hangat padaku. "Baiklah ... apa yang harus kita lakukan sekarang?"
"Apa lagi? Jelas, mengganti popok." Untuk kali ini, Ajun kelihatan tertekan, meski demikian dia sangat memaksakan diri melalukan pergantian popok anak-anak. Aku geli akan tingkahnya sekaligus terharu, dia memang bisa menjadi ayah yang baik untuk anak-anak.
Saat pergantian popok selesai, pembersihan, lalu memakai popok baru, Ajun tampak sangat lega. Namun, tak selega itu kala aku menyerahkan bungkusan plastik berisi popok anak-anak. "Tolong kamu buangkan ke depan, ya."
Ajun mengangguk seraya tersenyum kecut, dia mengambil bingkisan itu dengan ujung jari, dan sesegera mungkin berlari pergi.
Secepat kilat dia pergi, secepat kilat pula dia datang, pun kami menggendong anak-anak kembali ke depan guna melanjutkan makan cemilan buah untuk mereka. Semua berjalan begitu menyenangkan, kami sudah seperti keluarga kecil ... yang bahagia.
Bisakah begitu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Husbandfree [tamat]
Romance[21+] Nekat dan TOLOL Adalah hal yang bisa disematkan pada Romansa Nugraha, wanita 27 tahun, seorang asisten pribadi yang di luar kalem, nyatanya di dalam rada gila. Bagaimana tidak? Dirinya bukan penganut childfree, melainkan husbandfree--menurutny...