45. Bolehkah Seperti Itu?

186 17 8
                                    

Masih dengan suasana pagi menjelang siang. Pukul setengah sepuluh, waktu besuk pasien sudah mulai di buka.

Para keluarga Jawa mulai berdatangan dengan perintilan yang di tenteng dengan tangan kanan kirinya. Termos yang sudah di isi dengan air panas, tikar yang di selundupkan di dalam tas-----karena sejatinya peraturan di rumah sakit dilarang membawa alas tidur, serta kresek makanan dengan lauk pauk yang lejat di dalamnya. Se nikmat nikmatnya makanan yang di bawa akan terasa hambar jika makan dengan suasana rumah sakit.

Seperti bubur putih dengan taburan abon sapi di atas meja makan Deandra. Gadis itu hanya menatap makanan itu lalu beralih pada bundanya yang kini menggeser meja itu lalu membawa dengan tangannya sendiri.

"Mbok maem to," Ujar perempuan itu lalu menyuapkan sepucuk sendok bubur itu pada mulut Deandra yang sedari tadi terbuka.

Dengan cepat gadis itu menelan bubur itu lalu menggelengkan kepalanya. Lidahnya terasa pahit saat makanan itu melewati pangkal lidahnya.

Dari kursi tunggu ada Wildan yang menghela napasnya dan ikut merapat ke bed.

"Apa nunggu Mas Arya dulu?" Tawar Rita----mama dari Arya yang sejatinya sudah dari pagi bersama suaminya berkumpul di situ. Mendengar nama Arya, Deandra menatap mata Wildan seolah bertanya, kan Mas Arya udah dua bulan hilang, begitu kira-kira.

Sementara Wildan mengerdikkan bahunya tidak tahu. Bahkan Deandra lupa kapan terakhir kali ia bertemu dengan Arya.

Keadaan ruangan itu sedikit ramai karena Suryo dan Egi serta sang istri sedang membicarakan kelanjutan hubungan Deandra dan Arya. Sementara Deandra masih diam dan hanya menatap Wildan yang sedang mengupas anggur. Jika bukan karena Deandra yang meminta, sudah pasti Wildan akan menelan anggur itu beserta kulitnya. Karena gadis itu tidak suka dengan kulit buah. Bahkan makan jeruk saja hanya di hisap sarinya dan di lepehkan ampas buah itu.

Sementara di lorong rumah sakit yang ramai dengan aktivitas, ada sebuah pertemuan yang sangat di benci Dipta. Melihat Arya melewati dirinya begitu saja memakai PDL merah darah dengan siluet tiga balok hitam di kerahnya. Sudah dipastikan jika laki-laki yang melewatinya tadi baru saja mendapatkan kenaikan pangkat.

Demi omong kosong nya kemarin, ternyata mengesampingkan Deandra adalah hal yang mustahil Dipta lakukan sekarang. Mendapat kabar bahwa Deandra sakit dan terbaring di rumah sakit membuat dirinya melangkah cepat dari Semarang hanya untuk membesuk Deandra. Ternyata satu bulan memblokir nama Deandra membuat dirinya menjadi gila. Kabar itu tak sengaja dia dapatkan karena tak sengaja melihat sosial media milik Cahyo.

Dan karena sudah sampai di sini maka ia tak boleh kehilangan kesempatan bertemu Deandra hanya karena ada Arya di depannya.

"Mau ngapain?" Cegat Arya saat Dipta akan mendahului nya, tepat beberapa langkah sebelum pintu masuk ruang rawat.

Dipta diam lama tanpa membalas ucapan laki-laki di dekatnya itu. Melihat tak ada jawaban dari Dipta, Arya hanya menghela napasnya dan memilih duduk di kursi tunggu.

Pun dengan Dipta yang kembali melangkah masuk ke dalam ruangan. Padahal jika Dipta bisa membaca situasi seharusnya dia tahu jika Arya sedang memberi tahu situasi di dalam. Semua orang menoleh serentak ke arah pintu membuat Dipta mematung sesaat. Namun untuk menjaga wibawanya yang sudah rontok, laki-laki itu kembali melangkah ke arah Egi yang duduk di sofa lalu menyalaminya.

Suasana canggung benar-benar bisa membunuh Dipta saat ini juga. Namun dengan tenang laki-laki yang ada di ruangan itu membuat suasana senormal mungkin.

Egi menyambut Dipta dengan ramah lalu menepuk bahu pemuda itu. Sama halnya dengan Suryo yang tertawa menyambut Dipta.

"Dinas di mana sekarang Let?" Tanya mantan Gubernur Akmil itu.

GambuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang