Nembelas

155 20 2
                                    

"Yo, pelog enem. Sukoharjo Makmur,"

Sesantine Sukoharjo makmur

Maju aman konstitusional

Mantap unggul rapi iku dadi sarono

Maju mbangun projo ambangun bebrayan

Subur makmur gemah ripah loh jinawi

Tulus kang tinandur, murah kang tinuku

Wimbuh kuncoro negarane sentoso

Ngurepake saloko sedumuk bathuk senyari bumi

Aman mring swasono, kalis ing rubedo

Konstitusional pranatan prayogo

Mantap ing tekat manunggal sedoyo

Unggul martabat luhur kawibawane

Rapi kang kadulu sengsem kang amulad

Nyoto mahanani Sukoharjo Makmur.

Bunyi gamelan dengan nada dasar pelog enem menggema di pendopo milik Ki Narto. Ke enam cucu nya sedang di tatar agar tak kehilangan kemampuan bermain gamelan kebanggan warga Indonesia. Apalagi di tengah tengah arus modernisasi yang deras saat ini. Banyak budaya tanah air yang mulai luntur karena tidak ada generasi yang mau di warisi. Akan tetapi jika budaya mereka di akui dan sudah di beri label oleh negara lain, mereka sendiri yang panas dan berlagak kesakitan karena budaya mereka di rebut. Padahal di kenyataannya mereka tak perduli dengan hal itu, tapi giliran di lestarikan orang lain kenapa protes?

Suara Deandra mengalun merdu menyanyikan Langgam Sukoharjo Makmur. Sementara dua abang nya, ponakan serta Cahyo yang mengiringi dengan alat musik masing-masing di tangan mereka. Berbeda dengan si kembar adik dari Cahyo yang memilih duduk diam dan memainkan wayang dengan asal. Tapi bagi Ki Narto tak masalah, malah dia senang cucunya bisa berinteraksi dengan apa yang ia jaga dan lestarikan selama ini. Sedari kecil Ki Narto sudah mengenalkan kesenian Jawa pada anak dan cucu nya, agar mereka tak melupakan budaya tersebut. Walaupun pada akhirnya mereka tak menjadi dalang sepertinya tetapi paling tidak mereka tau dan bisa.

"Yo ganti Bengawan Solo, slendro."  Lanjut sesepuh itu dengan melihat buku yang ia baca dengan kacamata,"Yo Cahyo, sing banter leh mu nutuk Le. Kok klemar klemer sajak e wis kaku tanganmu."
[Yo Cahyo, yang keras kamu mukulnya Le. Kok klemar klemer sepertinya tanganmu kaku]

Mata laki-laki tua itu memperhatikan dan mengamati kecakapan Cahyo yang memukul kendang. Kemampuan laki-laki sajaknya berkurang dan sudah tak se luwes dulu lagi.

"Kung ojo kuwi, anu wae. Ngidam Sari,"

"Lewung wae Kung,"

"Meneng'o aku sing nyanyi Kowe sing repot!"Dengus Deandra yang bingung dengan suara-suara itu.
[Diamlah aku yang nyanyi kenapa kamu yang repot]

"Ndang nyanyio dewe rasah di gameli. Paling yo gur Suket Teki,"
[Gih nyanyi sendiri nggak usah di gameli. Palingan juga cuma Suket Teki]

"Wis mbuh, bar bar. Aku meh madang ndak mati," gadis itu melenggang pergi
[Udah, bubar bubar. Aku mau makan ntar mati]

"Putu wedok siji, e gawean e mutung tok." Sang kakung menggelengkan kepalanya saat Deandra pergi dan masuk rumah, tapi setelah itu kembali dengan semangkuk mie di tangan kanan. Satu tangannya lagi memegangi celana longgar yang kedodoran milik bundanya,
[Cucu perempuan satu aja hobinya cuma ngambek]

Deandra itu tipikal manusia yang anti ribet apalagi soal pakaian. Dia mau mau saja memakai pakaian yang tak di pakai milik bunda atau bulik buliknya. Toh pakaian mereka masih sangat layak di pakai apalagi mereka selalu membeli pakaian yang sangat nyaman---dan tentunya mahal. Jadi tak ada alasan gadis itu menolak rejeki. Lagipula untuk hamba diskon itu adalah sebuah hadiah yang pamali jika di tolak.

GambuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang