Kalian punya baju? Pertanyaan bodoh, maaf. Maksudku baju sobek atau mungkin sudah tidak layak pakai tapi masih sering di pakai di rumah? Punya? Jika iya maka sama denganku. Kaos biru muda dengan gambar Snoopy yang bagian ketiak dan pundaknya sudah bolong serta beberapa jahitan yang sudah lepas. Tapi aku malah nyaman dengan baju ini jika di pakai di rumah saja. Cacat, di rumah dan hanya ada keluarga ku. Bukan saat tiba-tiba Radipta datang dan langsung memburu ku sejak tadi.
"Kamu, kok bisa di sini Dip?" Tanyaku saat sudah ada kesempatan.
"Ada cuti Praspa, jadi aku sampai sini. Dan cari kamu! Kamu kenapa sih kok ilang-ilangan mulu akhir-akhir ini Raaa. Aku bingung kalau harus nyari kabar kamu lewat orang lain."
Aku hanya menggelengkan kepala, "aku capek Dip, tugas ku banyak banget dan aku juga mau nyoba jadi panitia ospek. Aku mau ngejar lulus cepat tiga setengah tahun." Ya, sedari awal masuk kuliah aku memiliki goal lulus tiga setengah tahun dan aku harus bisa mencapainya. Karena jika tidak maka akan terus terbayang-bayang di kepala. Lagipula sudah terlalu banyak uang ayah terbuang demi UKT, untung saja bukan anak FK. Daripada kuliah kedokteran lebih baik ayah membeli vila atau tanah lagi. Tapi kata beliau lebih baik mewariskan ilmu daripada harta ke anaknya. Sungguh mulia, sangking berprinsipnya ayah Bang Faishal pusing jika di buru ayah untuk mengambil program kuliah lagi.
"Kalau dari awal kamu bilang alasannya aku nggak bakal bingung kaya gini Ra. Susah fokus aku kalau kamu hilang kabar," ucapnya masih dongkol lalu meletakkan tasnya yang sedari tadi di pangkuan, "tapi," ucapnya menggantung dan fokus pada wajahku,
"Tapi apa?"
"Kamu lucu kalau pakai kacamata kaya gitu. Walaupun kalau di lihat-lihat masih terasa asing banget kalau kamu pakai kacamata." Ujarnya lalu melepas kacamata yang ku kenakan.
Lalu tangan kanannya terangkat dan melipat ketiga jarinya, hanya menyisakan hari telunjuk dan tengah, "ini berapa Ra?"
Aku mendengus kesal, sudah ku duga, "aku itu minus, nggak buta."
Lalu tertawa. Aku menggelengkan kepala. Kembali ia memasangkan kacamata itu di tempatnya dan pandanganku tidak buram lagi.
Dipta menghela napas, "ayo main, kamu nggak boleh di rumah terus mikir tugas. Boleh ambis tapi jangan sampai lupa diri."
Lalu masuk ke dalam rumah, seperti rumahnya sendiri dan mencari Kakung di dalam. Dan aku tebak anak ini belum pulang ke rumahnya sendiri dan langsung kemari. Ini sebenarnya yang aku tak suka dari Dipta. Dari keluarganya maupun dirinya sendiri tak ada yang benar benar mau mencoba untuk saling mendekat dan komunikasi. Benar dia anak orang kaya, benar dia anak dari keluarga yang tidak kekurangan materi apapun. Tapi kebutuhan batin di dalam nya sangat minim. Yang aku takutkan lagi jika suatu saat keluarga Dipta menyalahkan diriku karena mengambil waktu milik laki-laki itu.
Dan seperti saat ini, kami tengah berada di taman Balekambang untuk piknik dadakan. Bersama Dipta yang beberapa menit lalu mengendarai mobil miliknya. Diam-diam Dipta saat di rumah tadi sudah menyuruh satpam di rumah ayahnya untuk mengirimkan mobil.
"Kamu belum pulang ke rumah ayahmu lagi Dip?" Tanyaku setelah kami selesai mengelar kain di atas rumput, yang jelas jauh dari kerumunan rusa-rusa penghuni Balekambang.
Dia menggeleng, "belum dan belum kepikiran. Kalaupun kepikiran pulang pasti ke rumah Mama."
"Maaf kalau nyinggung kamu, tapi memang Mama sama Papa sudah resmi pisah?" Tanyaku takut-takut pada Dipta yang kini melepas sepatu PDH miliknya lalu bersila kaki.
Kembali dia menggeleng, "setauku belum, cuma sebatas beda rumah. Papa nggak mau lepasin Mama, karena dia ngerasa nggak pernah ngelakuin apa yang Mama tuduhkan. Dan aku jadi curiga ada orang yang ikut campur."
KAMU SEDANG MEMBACA
Gambuh
Romance"Lalu apa, jangan buat aku benci diriku sendiri karena kamu pergi dari ku Ra." "Aku cuma ngerasa kalau aku nggak guna kali ini. Kamu curhat sama aku tapi aku sendiri nggak tau harus kasih saran apa ke kamu. Karena kalaupun aku kasih saran ke kamu...