Hari Rabu yang mendung di bulan Desember membuat semua orang memilih melakukan aktifitas di dalam ruangan. Suhu udara dingin menyelimuti kota Solo dan sekitarnya. Tetapi di sore hari saat semburat jingga muncul, semua orang berbondong-bondong keluar ruangan demi memotret sang senja. Semburat orange, ungu, kuning, merah dan biru menyatu seperti tumpahan cat di ufuk barat. Bagian yang indah dari bulan November dan Desember, ialah senja yang magis di hati manusia indie.
Malamnya di sebuah kedai bernama 'Tiga Tjeret' sekumpulan pemuda tengah mengerjakan tugas mereka dengan berapi-api. Padahal seharusnya mereka sudah libur sehabis ulangan akhir semester. Tapi kelihatannya mereka masih di sibukkan dengan tugas yang masih mangkrak di penghujung semester ini.
"Ro, anak Teknik itu ribet banget nggak sih? Apalagi kamu yang teknik sipil gituan tiap hari kantong matanya hitam mulu." Ujar Deandra yang kini duduk berdua bersama Anggoro,
Pemuda berambut di belah tengah itu menyugar rambutnya pelan lalu menghadap Deandra, "taulah, tiap hari nggak ada yang namanya longgar kalau kita. Rasanya pingin pindah ke PG PAUD aja deh,"
Deandra mengernyit heran, "yakin? Padahal kan PG PAUD banyak cewek nya, nanti kamu termasuk manusia ganteng loh di sana."
"Boleh juga, kan di Teknik saingan nya banyak. Cowok semua isinya,"
Deandra tertawa pelan, "pindah biologi aja biar sama aku nih, di FMIPA lumayan perbandingannya. Nggak mayor sama minor Ro,"
"Kalau pindah biologi nanti aku nyontek tugas mu terus boleh nggak nih?"
"Ya nggak lah! Kaya tugas nya bisa nyontek aja, di sana tuh ya kalau ada yang nyontek entah kenapa selalu ketahuan sama dosennya. Kayak mereka tu punya mata batin gitu lah,"
Kini giliran Anggoro tertawa mendengar penjelasan Deandra yang mengebu-gebu, "kirain kamu itu dermawan eh ternyata berprinsip ya. Tapi aku kalau aku pindah ke biologi nggak tau mau ngapain habis gitu hahaha. Kalau kamu gimana nih, habis lulus mau jadi apa?"
Deandra terlihat berpikir setelah itu, "iya ya, aku bingung kalau kamu tiba-tiba tanya kaya gitu. Soalnya aku dulu pas milih jurusan tinggal klik aja, eh malah lulus."
"Loh kok, jadi guru?"
"Bukan passion ku kalau jadi guru, aku orangnya nggak sabaran. Yang ada nanti di cap killer sama murid-murid ku,"
"Dosen, tapi lanjut S2 dulu."
"Nggak juga, kalau mahasiswa ku lebih pintar kan aku juga bingung."
"Peneliti gitu?"
"Emmm bisa sih, aku pingin gitu di LIPI tapi kayaknya nggak juga. Kayak sulit gitu Ro, aku orangnya pesimis dan sadar diri aja deh."
"Yaudah ribet! Nikah aja sama aku mau nggak? Kamu nggak usah kerja nanti, duduk duduk cantik di rumah, ngurus anak-anak kita nanti."
Mata gadis itu membulat dan tersedak karena mendengar Anggoro yang berkata demikian, "nggak deh makasih, aku bukan seleramu yang high class. Aku bukan Maudy Ayunda,"
"Dih, serius aku Ra. Nggak usah jauh-jauh nikah, sekarang aku serius. Mau nggak kamu jadi pacarku Ra?"
Deandra mengerutkan dahinya tak paham dengan jalan pikiran Anggoro. Jika hal seperti ini Sampai di dengar olah Dipta, maka ia sudah di seret pulang sejak tadi. Matanya terpejam sejenak, ia bingung harus bagaimana. Karena dalam kamus hidupnya ia sama sekali tak pernah menolak laki-laki. Itu juga yang membuat ia dulu memberikan kesempatan pada Dipta meski dari awal ia sebenarnya sama sekali tidak tertarik pada laki-laki itu. Sampai suara dering ponsel membuatnya berdiri dan menjauh. Panggilan dari Dipta memang penyelamat hidupnya,
KAMU SEDANG MEMBACA
Gambuh
Romance"Lalu apa, jangan buat aku benci diriku sendiri karena kamu pergi dari ku Ra." "Aku cuma ngerasa kalau aku nggak guna kali ini. Kamu curhat sama aku tapi aku sendiri nggak tau harus kasih saran apa ke kamu. Karena kalaupun aku kasih saran ke kamu...