Telungpuluh Limo

187 18 0
                                    

Deandra tersenyum lebar saat menerima kecupan hangat oleh bundanya. Juga senyum haru bangga ayahnya yang kini mengusap air mata. Sontak saja gadis itu memeluk erat ayahnya dan mendengar sang ayah menangis.

"Ayah bangga sama kamu ndhuk, setelah ini kamu bebas mau jadi apa aja yang kamu mau. Tugas ayah buat sekolahin kamu sampai sarjana selesai, tapi kalau kamu mau lanjut lagi silahkan. Ayah siap dorong kamu lagi," Deandra mengurai pelukan Egi dan mencebik kesal.

"Matur nuwun sangettt pak,"

Hari ini adalah hari wisuda Deandra dan resmi mendapatkan gelar sarjana. Di dampingi ayah dan bundanya yang sudah janji menyempatkan waktu untuk menghadiri momen istimewa ini. Pukul setengah lima pagi tadi dirinya mulai di rias oleh buliknya. Dengan polesan natural yang membuatnya segar dan terlihat seperti umur tujuh belas tahun.

Gadis tinggi semampai itu di balut dengan kebaya berwarna ungu tua yang di rancang oleh buliknya dan di jahit oleh utinya secara khusus. Sebuah persembahan yang membuat dirinya merasa terharu. Di tangannya dua buket bunga dan uang nampak indah di pandang, apalagi uangnya. Satu dari orang tuanya, satu lagi dari dua abang Abang nya yang berjejer uang ratusan ribu. Sungguh buket yang sangat ia suka. Satu buket lagi datang dari Gelis, yang juga membawa sebuah paperbag. Katanya dari Dipta, ya memang benar Deandra sudah menerima pesan dan panggilan viduo beberapa hari yang lalu saat mendapat pesiar. Karena wisuda nya digelar saat Dipta tidak mendapatkan pesiar. Pasangan itu masih intens berkomunikasi walau temga di landa kebimbangan.

"Kamu kapan nyusul Ndhuk?" Tanya nyonya Egi pada Gelis yang langsung mengerucutkan bibirnya.

"Atu itu skripsi teh belum mulai Tante. Aku juga lagi ngejar Deandra kok, tapi nggak kekejar aja."

"Sibuk jadi model ya kan Lis?" Goda Egi yang membuat Gelis meringis,

Keluarga kecil itu mulai di foto oleh Awan yang sedari tadi ikut dengan mereka. Beberapa foto sudah di ambil sedari di rumah tadi. Karena bagi manusia seperti Deandra, foto itu penting untuk mengabadikan momen. Karena sebuah peristiwa tidak akan bisa terulang kejadiannya maka harus di abadikan untuk di kenang.

Deandra tersenyum tipis sambil melihat sekeliling nya. Ramai orang di lapangan depan rektorat ini sedang berkumpul dengan keluarganya. Kisahnya selama tiga setengah tahun sudah akan berakhir di almamater telur asin. Warna yang aneh namun ia banggakan ini.

Matanya berhenti menyusuri halaman saat bertemu dengan seorang laki-laki yang berlari ke arah dia berdiri. Dengan celana hijau pekat, batik panjang dengan motif seperti jarik yang ia kenakan serta sepatu pantofel mengkilat. Laki-laki itu juga membawa sebuket besar bunga matahari.

Arya, ya laki-laki itu, siapa lagi jika bukan dia. Segera menyalami tangan kedua orang tuanya yang di sambut dengan tangan terbuka.

"Loh, nggak jadi ambil cuti Le?" Pertanyaan itu di wakilkan oleh ayahnya,

"Siap, jadi tapi tidak sekarang pak." Jawab nya,

Deandra melirik bawahan Arya yang sedikit njomplang dengan batik yang di kenakan, "iya bawahan PDH," sebelum bertanya lagi Arya sudah menjawab tatapan mata Deandra. Namun gadis itu tak ayal mengambil tangan Arya dan menempelkannya ke dahi serta mengambil buket bunga matahari yang dia bawa.

"Berapa hari cutinya Le?" Tanya nyonya Egi selanjutnya,

"Ijin, dua hari aja Bu. Tapi di mulai lusa, setelah ini saya harus balik ke kesatuan lagi."

"Walah tak kira mau sekalian aja, papa Mama mu apa kabar?"

"Alhamdulillah baik pak, tapi masih sibuk."

Egi tertawa pelan, "yo sama aja to Le, ini di selo selo aja buat anak wedok. Yaudah nanti aja tak telfon papamu lagi,"

Setelah itu Arya mendekat ke Awan yang serius memainkan kamera milik Deandra. Remaja itu terperanjat kaget saat Arya mendekat ke arahnya, "kaget aku Mas,"

GambuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang