Pitulas

132 20 1
                                    

R A D I P T A

"Kamu nggak papa kalau nggak mandi dulu Ra?" Tanyaku sungkan pada kekasih ku ini, wanita yang ku cintai setelah Mama ku. Atau mungkin Deandra dulu setelah itu baru mamaku.

Dia menggeleng dan tersenyum kecil menatap ku. Membiarkan kepala ku merebah di bahunya, sesuatu yang jarang kami lakukan setelah aku menjadi Taruna.

Di bawah langit yang kebetulan cerah di awal Januari. Aku memejamkan mata dan mengingat kejadian sore tadi, sebelum aku mengantar Cak Eko dan tiga bocil ke rumah pribadiku di daerah Semanggi. Rumah yang sengaja ku tempatkan untuk mereka,

"Dik, aku nggak pernah sekalipun selingkuh sama wanita di luar sana. Apa yang kamu tuduhkan itu nggak benar, semua nggak ada buktinya!"

Kakiku berhenti melangkah tepat di depan pintu melihat papa yang memerah berbicara dengan Mama.

"Nggak ada apa?! Semua bukti mengarah jelas kalau kamu selingkuh Mas! Apalagi sampai kamu bawa perempuan masuk bersama ke hotel, berulang kali?! Kamu pikir aku nggak tahu? Kamu pikir aku bodoh seperti itu, hah?! Suami macam apa kamu sampai rela keluar negeri demi  menikmati perempuan lain? Biadap kamu?!"

Satu hentakan keras mengebrak meja kaca sampai pecah, "kamu tau darimana? Jangan bicara tanpa bukti! Aku belum jelasin sama kamu dan kamu malah nuduh aku yang nggak nggak?"

"Aku nggak mau tahu lagi soal itu, kamu boleh talak aku sekarang juga?! Aku nggak masalah kalau harus cerai sama kamu, aku masih ada Dipta?!"

Aku masih diam dan mendengarkan mereka,

"Nggak! Aku nggak mau cerai dari kamu, selamanya kita bakal jadi suami istri. Kamu harus dengar dulu penjelasan dari mulut ku sendiri Dik! Dan Dipta bakalan tetep tinggal bareng sama kita!"

"Tau apa kamu sampai minta Dipta tinggal bareng sama kamu? Selama ini kamu kemana aja waktu dia jadi berandal? Giliran dia sudah jadi orang kamu mau mengakui Dipta anak mu? Kamu perhatian sama dia seolah olah kamu bapak yang baik seperti itu?"

"Ya memang aku bapaknya, sudah seharusnya aku perhatian sama dia!" Aku tersenyum getir, yang seperti ini memang seharusnya di putar ketika aku masih nakal dulu. Di sia-sia kan, di nistakan seolah-olah aku hanya remahan seharusnya tidak hadir di antara mereka.

"Bapak darimana?! Kamu kemana selama Dipta di elek elek keluargamu. Kamu tau nggak kalau dia di bedakan sama kakak kakaknya dan selama ini kamu diam aja. Nggak pernah sekalipun kamu bela dia, yang ada kamu cuma mengunggulkan dua putramu itu. Apa karena dia bukan anaknya Anita?!"

Hening, hanya Mama yang memandang remeh papa.

"Kenapa diam Pa? Aku juga butuh jawaban,"

Kedua orang yang telah membuat aku ada di dunia itu menoleh dengan wajah kaget. Apalagi papa yang langsung gelagapan dan Mama yang mendekat memburuku,

Tangan yang mulai putih itu memegang lenganku dengan pandangan yang amat bersalah, "Dipta, kapan kamu sampai sini nak?"

"Kamu dengar semua Dip?" Tanya papa yang kini melihat ku dengan wajah yang merah padam,

Ku tarik senyum tak bersalah, "makasih sudah di jelaskan tanpa Dipta minta. Sekarang aku tau kenapa aku nggak di anggap sama keluarga papa dan kalau kalian mau cerai silahkan. Nggak ada hubungannya juga sama rumahnya Dipta ini. Aku sudah punya rumah nanti, nggak perlu mikir aku ikut siapa. Makasih banyak,"

"Tau nggak sih Dip, waktu kamu mau Wisjur kemarin tuh aslinya aku nginep di rumahmu. Mamamu yang nyuruh dan di sana ada Abang Abang mu juga." Suara itu membuyarkan lamunan ku tentang rumah,

GambuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang