Wolulas

175 19 3
                                    

Sementara di sebuah sudut Kita Solo tepatnya di Puro Mangkunegaran. Ada Cahyo yang kini memakai samir merah-kuning-merah terkalung di lehernya. Samir yang seharusnya di pakai di Kraton Surakarta itu di pakai masuk ke Mangkunegaran. Pukul tujuh malam ia mengendarai mobil milik ayahnya dan mencari perempuan yang beberapa bulan ini menjadi teman dekatnya. Di temani sang kakung yang juga sedang ingin berkunjung ke dalam Mangkunegaran lengkap dengan samir dan KTA sama seperti Cahyo. Tapi kali ini mereka ada di Puro Mangkunegaran untuk karawitan,

"Rasah kakean polah, sing ra perlu di lakoni yo rasah!" Weling sang kakung dengan merangkul kencang bahu cucu nya itu.
[Nggak usah kebanyakan tingkah, yang nggak usah ya nggak usah]

"Nggih Kung,"

"Mripat e Mbah mu iki ning ngendi-ngendi lo,"
[Matanya Mbah mu ini dimana-mana loh]

Cahyo bergidik ngeri saat sang kakung mengatakan hal itu dan meninggalkan dirinya. Lalu ia mengikuti arah Kakung nya tadi. Selain ingin ikut sang kakung berkumpul dan memainkan gamelan, kakungnya juga tau jika Cahyo ingin bertemu dengan salah satu putri dari abdi dalem Mangkunegaran.

Mata laki-laki yang mengenakan seragam pesiar malam itu melirik kesana-kemari. Harap harap menemukan Mayang yang tak membalas pesannya sejak tadi siang.

Bibirnya terbuka penuh saat menemukan seorang gadis tengah menari Gambyong Pareanom di sebuah pendopo bersama remaja lain di sana. Langkahnya terhenti karena melihat keluesan Mayang yang sedang menari. Anggun di bawah cahaya lampu kuning remang dan membuat suasana magis.

Setelah kurang lebih lima menit, gerakan itu terhenti dan gadis tadi pamit dari rombongannya. Menghampiri Cahyo yang masih setia berdiri sepuluh meter dari salah satu pendopo tadi.

"Mas Cahyo kapan datang e tho?" Tanya gadis tadi saat sudah berada di depan Cahyo yang tersenyum kecil.

"Baru aja kok Yang,"

Pemilik nama Mayang Sari Sugito itu tersipu malu lalu menutup wajahnya dengan sampur, "mbok ya jangan di potong belakangnya to Mas namaku,"

"Hehe," laki laki yang memakai seragam pesiar malam itu menggaruk tengkuknya,

"Muter muter purun mboten Mas? Mumpung lagi rame," ajak nya pada Cahyo yang masih diam.

"May, tumut Pakarti* pun suwe?" Tanya Cahyo pada Mayang,
[Ikut Pakarti udah lama]

Gadis itu mengangguk, "sampun Mas, aku umur 6 tahun sampun tumut nari,"
[Sudah]

"Pantesan luwes banget gerakanmu, nggak kaya Deandra robot."

Mayang ikut terkekeh mendengarnya, "tapi Mbak Deandra suaranya bagus lo Mas, beberapa kali ikut karawitan juga."

"Iya, kapan aku bisa lihat kamu nari?"

"Kalau aku latihan Pakarti ikut aja, Mas ndherek Kakung mriki kan? Atau ndak, pas ada pertunjukan di Balekambang."

"Loh, kamu ikut yang di Balekambang juga to?"

Gadis itu mengangguk dan tersenyum manis, "nggih Mas, aku juga beberapa kali nonton Mas Cahyo juga pas ndhalang di sana."

"Mosok May, tapi aku ora dong yen kuwi ono kowe. Kapan kamu lihat aku? Aku jarang di Balekambang, lebih sering nongkrong di ISI atau Taman Budaya."

Mayang menunduk malu, "aku sering nonton kalau Mas latihan tapi Mas ndak tau. Aku juga beberapa kali lihat Mas ke sini sama kakungnya Mas,"

"Tapi aku nggak pernah lihat kamu di sini,"

Langkah Mayang terhenti setelah itu, "ya aku malu to Mass," Jawabnya yang membuat Cahyo salah tingkah,

"Kenapa malu? Kan pake baju juga to," lawaknya mencoba lucu di malam hari. Tetapi Mayang hanya menarik segaris senyum,

GambuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang