42. Memutus Jalan

185 20 9
                                    

Kadang aku bertanya tanya kenapa ada saja orang yang iri dengan ku. Entah iri dengan pencapaian yang tak seberapa ini atau iri dengan keluarga Egi. Sebentar, mungkin yang terakhir itu bisa jadi pengecualian. Hidup dengan privilege sebagai anak perwira tinggi dan masih penuh perhatian, siapa yang tidak mau? Tapi, itu yang di lihat dari media saja. Padahal sebenarnya aku kesepian tanpa mereka.

Benar kami mendapat beberapa keistimewaan tetapi yang lebih aku butuhkan adalah kehadiran mereka secara langsung di samping ku. Tapi setidaknya bersama kakung dan uti sudah bisa menggantikan mereka, tapi rasanya tetap beda.

Menghela napas.

Kenapa ya aku pikirkan itu lagi? Bagaimana lagi, hal seperti itu yang selalu melintas di pikiran ku ketika malam menjelang atau sedang sendiri.

Walaupun malam ini aku tidak sendirian, melainkan  bersama bang Faishal yang sedang membereskan barang nya. Benar sekali, tugas nya di sini sudah selesai. Adiknya satu ini sudah menemukan lampunya kembali. Maka kini giliran Faishal yang akan tumbuh dan berkembang di tempat baru.

"Jadinya dapat di mana Mas?" Panggilan Mas dan abang akan berubah sesuai mood ku. Jika dia manusia laki-laki itu sedang baik maka akan melembut seperti ini.

"Yogjo,"

"Mana?"

"403, Sleman."

"Kok Jawa terus,"

"Loh di pikir aku 4 tahun di Kalimantan ngapain Ren?" Aku hanya bercanda, masa awal dinas sebagai perwira remaja bang Faishal memang di habiskan di pulau Kalimantan hingga satgas di Papua. Dan bisa dinas di pulau Jawa adalah suatu kebahagian bagi keluarga kami.

"Hehe, besok di ajak Mas Arya ngajak ke Saba Buana. Dipta juga, tapi aku bingung mau ikut siapa."

"Nggak usah ikut kalau nggak mau bikin ribut, cari aja alesan. Susah men dadi wong. Makane kalau di bilangin jangan ngeyel, cepet bilang ke Dipta Ren. Mbok wis ndang ngomong, kamu itu mbok ya mikir Dipta dikit lah. Mesakne wong e kalau ngak cepet di kasih tau. Makin lama kamu tunda, makin besar rasa kecewanya."

Aku menunduk, "aku udah bilang lo Mas, tapi aku belum bilang kalau Mas Arya orangnya."

"Ngawur, Dipta sama Arya satu turunan keluarga asuh."

Tubuhku mematung, apa lagi ini? Kapan waktu yang tepat untuk memberi tahu Dipta?

Tok tok tok

Kepala ku dan Bang Faishal menoleh bersamaan ke arah pintu kamar. Dengan tangan yang panjang itu satu tarikan di buka olehnya.

"Loh, Mas? Masuk aja nggak papa. Aku juga di dalam." Melebarkan daun pintu hingga semua terbuka, ada Mas Arya yang berdiri di depan pintu lalu melengos saat melihatku. Kenapa? Ya karena aku tidak memakai jilbab, dia sekarang semakin menjaga jarak semenjak kami resmi lamaran. Tapi tidak dengan ku yang masih seenaknya.

Setelah ku tarik jilbab instan di meja belajar barulah dia masuk dan menarik kursi meja belajar agar dekat dengan pintu.

"Kenapa?" Tanyaku pada laki-laki itu.

Dia menghela napasnya, "sampai kapan kamu nggak mau bilang ke Dipta?"

Sama seperti Mas Arya, Bang Faishal di bawah ku juga menghela napasnya dan menatap ku, "baru aja mingkem aku Mas, kalau di tunda tunda terus kapan Ren? Atau mau aku aja yang bilang ke Dipta?"

"Sekarang gini aja Ren, dalam kurun waktu dua bulan ini kita bakal pengajuan,"

"Pengajuan?" Potongku, aku kaget sekali. Aku tahu aku akan menikah tapi apakah harus secepat ini?

GambuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang