22. INFORMASI

3.1K 321 6
                                    

Jam berdenting mengisi suasana ruang rawat Ammar. Kini sudah hampir dini hari ketika Karl terbangun karena erangan gelisah Ammar dari ranjang pesakitan.

Pria itu menggendong sang putra yang masih enggan berbaring lagi. Menepuk pelan paha Ammar agar kembali tertidur. Malam masih panjang.

"Kenapa masih belum tidur juga? Ayo tutup matamu. Kamu harus banyak beristirahat." Ujar Karl.

Remaja kecil itu meletakkan pipinya di pundak lebar Karl. Memandang wajah lelaki itu dari samping. Baru kali ini Ammar melihat Karl dengan jarak sedekat ini.

"Takut." Lirih Ammar.

"Papa akan menjagamu. Tidurlah, besok kamu ada jadwal pemeriksaan. Kalau membaik lusa kamu sudah boleh pulang."

Sebelah tangan Karl mengusap kepala Ammar lembut. Mencoba memberikan afeksi seperti yang Emiko lakukan.

Mendengar panggilan itu keluar dari mulut yang hanya berkata dingin, ia merasa asing dan juga rindu. Ammar dulu juga pernah punya seorang lelaki yang ia sebut dengan ayah.

"Maaf bikin Papa repot."

Tidak. Seharusnya Karl yang meminta maaf atas penderitaan yang Ammar alami. Tapi, lidahnya kelu. Seolah maaf saja tidak cukup mengampuni ayah yang tak berguna seperti dirinya.

Carel bukanlah putra bungsunya. Dulu mereka dikaruniai anak yang tak terduga kehadirannya. Saat bayinya lahir, Karl merasa asing. Tangan kecil dan wajah yang mirip sang istri membuat ia merasa lucu. Hanya putra bungsunya yang tidak mirip dengan dirinya.

"Cepatlah sembuh."

Saat menginjak umur dua tahun, ia sadar putra bungsunya mirip dengan seseorang. Ternyata Emiko juga tahu akan hal itu. Dan dimana bayinya divonis meninggal dunia karena sakit yang datang tiba-tiba.

"Jangan sakit lagi. Papa tidak suka." Karl mengecup dahi Ammar.

"Aku juga gak suka. Banyak orang yang repot ngurusin aku." Gumam Ammar tersenyum tipis.

Karl menggigit bibir. Ia merasa Ammar terlalu dewasa untuk umurnya yang masih tiga belas tahun. Karl mendongak. Ia tak boleh selemah ini. Karena ketakutan Emiko, putranya yang tak bersalah harus menanggung semuanya.

Pria itu menghela napas lega saat mendengar dengkuran halus Ammar. Baru saja ia akan membaringkan tubuh Ammar, remaja kecil itu melenguh membuat Karl menegakkan tubuh kembali.

Ceklek

"Kenapa kamu kemari?" Ujar Karl saat mendapati putra sulungnya datang.

Melihat keterdiaman Nial, pria itu tau sang putra telah mengetahui semuanya. Sorot yang biasanya dingin tak peduli, kini terlihat kekecewaan besar dalam bola matanya.

"Jangan marah pada mamamu. Dia hanya perlu diberi pengertian."

Nial memalingkan wajah. Ia berusaha menetralkan deru nafasnya. Masih teringat jelas saat Nial pulang dan baru mencapai pintu utama kediamannya. Ia dikejutkan dengan sang ibu yang memeluk dirinya dengan tangis pilu.

Wanita itu bergumam maaf. Hingga cerita yang mengalir dari bibir Emiko, menjawab semua pertanyaan yang ia hiraukan selama ini. Bagaimana ibunya berlaku begitu baik pada Ammar yang hanyalah orang asing. Begitu juga dimana Emiko terus mendesak ayahnya untuk segera mengurus surat adopsi.

"Boleh aku memeluknya?"

Suara lirih itu membuat Karl tersenyum tipis. Dengan hati-hati ia memberikan tubuh Ammar hingga berada di gendongan Nial. Pria itu membenarkan selang infus Ammar.

Karl terduduk di sofa. Membiarkan Nial melepaskan rindu pada adik yang dikira sudah mati. Saat menatap keduanya, Karl baru sadar jika tubuh Ammar begitu kecil di dalam dekapan si sulung.

"Adam Bawara, Raditya Agung, dan Cazim Arzan."

Nial menatap Karl dengan raut bertanya ketika mendengar tiga nama asing yang pria itu sebutkan.

"Mereka pernah mengadopsi Ammar. Tapi, keluarga mereka tewas beberapa bulan setelah Ammar tinggal bersama mereka." Ujar Karl memijit pelipisnya.

"Luka bakar dan sayatan itu, Papa pikir mereka yang menganiaya Ammar."

Tangan Nial mengepal. Dekapannya pada tubuh kecil itu mengerat. Amarah menyelimuti hatinya. Ammar, ah bukan. Saskara Ein Dawson, adiknya ini harus menderita ditangan orang bejat seperti mereka.

"Bagaimana dengan Vince?" Tanya Nial. Bagaimana Ammar mengenal orang yang sedang diburu para mafia itu.

Karl terdiam. Banyak informasi yang hilang membuat berbagai spekulasi menghampirinya. Karl melirik Ammar, hanya anak itu yang bisa menjelaskan tentang Vince. Semua jejak pria itu tak bisa ia temukan. Ada seseorang yang sengaja menghilangkan semua informasi mengenai Vince.

"Besok Ammar akan mulai terapi dengan psikiater." Ujar Karl.

Pemuda itu bukan anak kecil yang tak tau jika sang ayah mengalihkan topik lain. Nial paham, mencari informasi mengenai Vince tak semudah itu.

Menghiraukan itu, Nial menatap wajah adik bungsunya yang tengah terlelap nyaman. Ia bukan lagi anak SMP yang lemah. Nial sudah punya kuasa sendiri untuk melindungi semua adiknya dengan tangannya sendiri.

"Bukan Ammar, tapi Ein."

****

Atlas memasuki pagar besi penuh karat. Sebuah gedung yang tertutupi ilalang terpampang dihadapannya. Sepi, rumah yang hangus terbakar itu kini tak berpenghuni lagi.

Pemuda itu berjalan masuk. Ia datang sendirian. Hingga kini, Atlas masih dalam misi kaburnya dari Challen. Apalagi ia mendapat kabar jika sang ayah telah tiba di Indonesia beberapa jam lalu.

Rumah mewah itu diliputi hawa dingin yang menusuk. Menelusuri setiap sudut, Atlas hanya menangkap perabotan yang lapuk. Beberapa dinding pun hampir roboh. Hingga matanya seolah melihat bagaimana saat api melalap rumah itu dan melukai tubuh kecil Ammar.

"Wah, kukira kau belum datang."

Atlas berbalik. Melihat seorang lelaki yang kini tengah menatap sekeliling dengan kagum seolah tak pernah datang ke tempat seperti itu.

"Kenapa mengajak bertemu di tempat seperti ini, sih? Aku akan lebih senang jika kau mengundangku ke klub seperti kakak keduamu." Ujarnya dengan nada setengah kecewa.

"Kau tau kan, siapa yang membakar tempat ini, Noah?" Kata Atlas dingin.

Pria itu tertawa lucu. "Hei, sopanlah sedikit. Aku ini lebih tua darimu loh." Katanya terkekeh.

"Berisik. Pasti ini ulah Vince, kan? Kau juga tau dia ada dimana." Desak Atlas.

"Wow, santai. Karena kamu sudah membayar mahal, akan aku beri dua informasi yang ingin kamu tanyakan." Ujar Noah tersenyum miring.

Atlas berdecak. Pria berdarah Jerman itu sangatlah licik seperti yang dirumorkan.

"Bagaimana Vince mengenal Ammar? Kenapa dia mengincar anak itu disaat adikku sudah ia bunuh?!"

"Bisa kau ganti pertanyaannya? Aku bukan cenayang. Bagaimana bisa aku tau isi pikirannya." Keluh Noah.

Pemuda itu menahal kesal dengan sikap Noah yang seenaknya. Bagaimana bisa ayah dan kakaknya bisa tahan dengan sikap sebrono pria itu saat mereka bertemu.

"Hah!"

Atlas mendekat. Tangannya mencengkram erat jaket yang dikenakan Noah. Menatap dingin wajah yang kini malah tersenyum remeh.

"Lalu pasti kau tau dimana Vince berada sekarang, bukan." Tekan Atlas.

"Oh, dia ada di apartemenku." Jawab Noah enteng.

Sialan! Jadi orang yang selama ini menyembunyikan Vince adalah orang gila di depannya. Atlas melepaskan cekalannya dengan kasar.

"Tapi, mungkin sekarang dia sudah pindah ke tempat lain. Entahlah, orang sinting itu selalu tau saat aku membocorkan keberadaannya pada orang lain." Ujar Noah bingung.

"Lupakan. Sekarang beritahu padaku tentang Mada Algiser Vidor. Berikan datanya padaku. Ada yang aneh dengan latar belakangnya."

Noah tersenyum lebar. "Kepuasan pelanggan adalah prioritasku."

TUAN MUDA [Sequel] (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang