2. SIAPA?

12.3K 896 14
                                        

"Nih, gajian bulan ini. Kamu emang paling rajin, saya akui Ammar."

Remaja kecil itu tersenyum lebar mendapati amplop coklat berisi uang. Berjalan mundur karena giliran pekerja yang lain, Ammar menghitung pendapatannya bulan ini. Satu, dua, tiga,... kalau dihitung ini cukup untuk makan, naik transportasi, dan sisanya dapat ditabung. Kalau perlu, sekali kali Ammar membelikan beberapa bungkus mie dan kopi instan untuk ditaruh di dapur sebagai tanda terima kasih pada para remaja itu. Bukan ide yang buruk.

Memikirkan itu, Ammar mampir ke toko grosir dekat tukang print depan Alpadia. Lumayan ada perbedaan harga lebih murah dari warung biasa.

"Mas, boleh dibungkus kardus aja gak ya? Saya gak bisa bawa kalau pakai kresek." Pinta Ammar melihat belanjaannya yang cukup banyak. Sekalian stok mie untuknya juga.

"Bentar ya, dek."

Tak lama ketika pemuda itu kembali dan menyerahkan belanjaan Ammar. Kalau begini Ammar bisa membawanya lebih mudah.

Hari sudah menuju malam tepat pukul setengah tujuh. Sudah seminggu sejak ia diberitahu untuk tidak naik bus ketika jam pulang sekolah. Jadi, hari ini dia mengalah dengan menghabiskan waktu di tempat kerjanya daripada menunggu dihalte sendirian.

"Kok lama banget, ya? Biasanya juga beberapa menit udah dateng."

Dan Ammar baru sadar jika jalanan tampak lebih sepi atau bagaimana. Ia tak pernah berada dikawasan itu sampai semalam ini. Ammar jadi punya firasat buruk.

Tuk

Remaja kecil itu terjengkit saat seseorang menepuk pundaknya. Saat menoleh ia mendapati seorang pemuda dengan kaos berwarna merah dan terlihat berkeringat.

"Anak kecil ngapain keluar malem-malem. Lo kabur dari rumah?"

Ammar mendelik. Enak saja, susah-susah ia mencari tempat tinggal malah dikatai kabur dari rumah. Ia tak bisa sembarangan berbuat seperti itu tanpa alasan mendesak.

"Enak aja. Ini saya mau pulang, kok." Sewotnya. Ia melengos dengan memegang erat kardus yang ia bawa.

Pemuda itu mengernyit melihat gelagat anak di depannya yang bergeser pelan menjauh darinya. Kalau tidak kabur kenapa anak sekecil ini ada diluar semalam ini.

"Lagi nunggu kakak lo? Tapi anak Alpad udah pada balik semua tuh." Ujar pemuda itu heran.

"Enggak, saya gak nunggu siapa-siapa. Kamu jangan kepo deh." Kata Ammar ketus.

Pemuda itu berdecak. Padahal dia tanya baik-baik malah mendapat respon seperti ini. Tapi, mungkin anak itu takut atau tidak nyaman berada di dekat orang asing. Dari nada dan panggilan saja sangat formal.

"Terserah. Gue cuman mau bilang kalau lo nunggu bis sampe pagi pun lo gak bakal liat lewat sini. Jalan depan sana ditutup karena lagi ada tawuran." Ujar pemuda asing itu sambil menaiki motor dan mengenakan helmnya.

Ammar melirik. Dari sudut matanya, pemuda itu sudah menyalakan motornya dan bersiap pergi. Benar saja, motor cruiser itu melaju meninggalkan Ammar yang terdiam ditempatnya.

Tawuran. Bukan hal asing yang ia dengar setelah lama mengenal lingkungan tempat itu. Ammar tidak tau persisnya dimana atau bagaimana tawuran itu bisa terjadi. Tapi rumornya tempat yang sering digunakan tidak jauh dari sini. Ammar merinding. Lebih baik ia berjalan ke daerah yang lebih ramai dan mencari halte. Daripada ia menunggu disana hingga jadi objek salah sasaran kan tidak lucu.

Brum

Brum

Haha sungguh tidak lucu.

Ammar mempercepat jalannya dengan susah payah karena membawa kardus yang lumayan berat. Mendengar suara motor membuatnya jadi parno sendiri. Apa ada yang membututinya.

TUAN MUDA [Sequel] (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang