"Ini yang paling murah, dek. Sebulan tiga ratus ribu."
Dengan fasilitas satu kamar sempit, kasur tipis, satu meja kecil, dan kamar mandi luar ini terbilang murah untuk kos di daerah Jakarta yang apa-apa mahal. Tapi, itu hampir setengah dari gaji Ammar.
"Gimana? Tinggal satu aja ini. Nanti keburu diambil orang." Ujar pemiliknya.
"Saya ambil deh, Bu."
Ammar menghitung uangnya. Lalu menyerahkan tiga lembar uang merah dan menerima kunci kamarnya. Menghela napas, besok pagi saat akan berangkat kerja Ammar akan membawa semua barangnya yang tidak seberapa banyaknya itu.
Remaja kecil itu berbalik pergi. Ia harus cepat kembali. Tadi Ammar ijin keluar saat jam istirahat makan siang untuk mencari kos disekitar tempat kerjanya.
"Udah nemu, Mar?" Tanya pemuda yang tengah mencuci motor pelanggan.
"Udah. Makasih Bang, udah ngasih tau tempatnya." Ujar Ammar tersenyum lebar.
Pemuda itu mengacungkan jempol. Lalu kembali sibuk dengan pekerjaannya. Tempat itu tidak seramai kemarin lusa. Tapi, tidak pernah sepi juga.
Tiga hari ini Ammar bersyukur tidak bertemu dengan Eros. Paling hanya Abyaz yang mampir untuk sekedar numpang tidur sebentar dan pulang saat hampir tengah malam.
"Cil, cuciin motor gue dong."
Baru saja Ammar merasa lega tidak bertemu dengan remaja menyeramkan itu, ia terkejut saat ada yang berbicara tepat di samping wajahnya. Menoleh, ia memandang horor kehadiran seorang pemuda yang akhir-akhir ini sering muncul disekitarnya secara tiba-tiba.
"Kamu gak liat? Saya lagi cuci motor pelanggan yang lain." Ujar Ammar sewot.
"Punya gue dulu. Gue lagi buru-buru." Desaknya.
Ammar memicing sanksi. Ia berdiri, menatap motor cruiser itu dan pemiliknya bergantian. Orang aneh. Tidak ada satu bagian pun yang kotor pada bodi motor.
"Ngapain dicuci, orang bersih gini."
Remaja itu berdecak. "Tinggal cuci aja apa susahnya sih. Nanti gue kasih lo uang jajan lebih, deh." Ujarnya.
"Eh, ada apa nih mas?" Tanya bos Ammar. Takut ada pelanggan yang komplain.
"Pak, saya mau dia yang cuci motor saya." Kata remaja itu.
"Oke, siap mas. Mar, itu tinggalin aja. Nanti biar yang lain lanjutin."
Ammar menatap sinis dan ditanggapi tawa oleh pemuda itu. Suka sekali ia melihat wajah merenggut milik Ammar. Menjahili remaja kecil itu sangat menyenangkan.
"Saya lagi ada urusan. Nanti biar dia yang antar motor saya ke gedung belakang Alpadia. Dia kenal saya kok, Pak." Ujarnya menambahi.
Remaja itu pergi bersama temannya yang menunggu di depan. Meninggalkan Ammar yang menatap tak percaya perkataan pemuda itu yang seenaknya sendiri.
****
"Itu kayaknya deh, Bang." Tunjuk Ammar pada sebuah gedung minimalis tepat di belakang Alpadia.
Karena Ammar tak bisa mengendarai motor, jadi dia ditemani salah satu pekerja yang lain. Ia hanya akan menunjukkan mana si pemilik motor.
Ckit
Lelaki itu menghentikan laju motornya. Keduanya melongo mendapati suasana yang tampak tak biasa itu. Puluhan remaja dengan seragam berbeda tengah saling adu tinju.
"Gimana ini, Mar?" Tanya lelaki itu bingung dengan situasi.
Maunya juga Ammar putar balik dan mengantarkan motornya nanti saat keadaan sudah kondusif. Tapi, tempat kerja Ammar sudah tutup dan lelaki yang mengantarnya ini harus cepat pulang karena ada urusan lain.
