Ammar malu.
Remaja kecil itu sedikit menjauh dari halte yang dipenuhi anak SMA dari sekolah elite yang berada disekitar kawasan tempat pencucian motor dimana ia bekerja. Ammar melihat dirinya. Kaos cream yang menghitam, celana coklat pendek, dan sendal jepit. Dilihat dari penampilan sekilas saja, Ammar seperti batu kerikil.
"Mr.Hudsen nyebelin banget sumpah. Kenapa sering banget ngasih kuis sih. Gue kemarin malem abis ada acara keluarga di Bandung. Mana sempet baca buku. Capek banget deh." Salah satu gadis disana mengeluh.
"Gue sih bodo amat ya sama nilai. Lagian sejak kapan lo belajar? Berangkat sekolah aja lo langsung belok ke kantin. Nih, buku lo isi iler lo iiuuh."
"Diem lo, lonte!"
Ammar memperhatikan. Pasti asik jika ia bisa punya teman seumuran yang bisa diajak bercanda seperti itu. Tapi, ia tidak bersekolah lagi sejak 4 SD. Lalu dengan latar belakang seperti itu membuat dirinya tidak bisa bekerja secara layak. Lagi ia masih dibawah umur. Andai saja ia punya keluarga.
Menghempaskan pikiran anehnya, Ammar menggenggam buku yang ia bawa dari perpustakaan lokal itu erat. Mahasiswa yang mengelola tempat itu memberinya beberapa buku bacaan yang tidak terpakai. Setidaknya ia beruntung dikelilingi banyak orang baik.
Bus datang. Ammar bimbang, ingin ikut masuk dan berada diantara para orang kaya itu atau menunggu bus berikutnya yang tidak ia ketahui kapan datangnya.
"Nak, mau masuk tidak?"
Remaja itu mendongak ketika merasa supir bus bertanya padanya. Melihat langit yang kian gelap, Ammar tak yakin untuk menunggu bus yang lain.
"Iya, pak."
Kenapa juga para anak SMA itu naik angkutan umum. Biasanya halte itu sepi dijam segini. Seberang jalan dekat gerbang lebih banyak kendaraan jemputan yang terparkir.
"Heh, minggir lo. Jangan halangin jalan!"
Ammar sedikit terdorong ketika seorang gadis dengan bando merah berjalan tergesa ke bangku yang tersisa. Dan lagi Ammar menatap miris, itu bangku terakhir yang kosong. Jadi, ia bergerak ke depan lagi untuk berdiri di dekat tempat duduk supir. Ia tak nyaman.
"Mau kemana, nak?"
Remaja kecil itu tersenyum, "mau pulang, Pak. Nanti turun di halte deket Grand Blue Lagoon aja, Pak."
"Wah, itu hampir di perhentian terakhir. Sini, duduk deket saya aja. Pegel nanti kamu, Jakarta macet." Candanya.
Ammar menurut. Ia duduk di undakan tangga pintu masuk. Benar kata si supir. Baru saja masuk ke jalan utama, ratusan kendaraan memadati jalan. Sembari menunggu ia membuka buku yang ia genggam.
"Kamu tinggal di perumahan itu, dek? Itu perumahan elite banget loh. Saya aja pernah diusir paksa, padahal niatnya mau tanya alamat." Tanya si supir.
"Gak, Pak. Saya tinggal disekitar situ aja. Gak ada halte dekat rumah, jadinya saya turun disitu." Jelasnya.
Lelaki paruh baya itu mengangguk paham. Dia kira remaja itu anak dari salah satu pekerja disana.
"Saya sering liat kamu naik bis saya. Biasanya kamu duduk di kursi belakang dekat pintu keluar. Tapi hari ini kamu malah duduk di deket saya." Lelaki itu tertawa kecil. Dari gerak geriknya, remaja disebelahnya merasa tidak nyaman di dekat orang asing.
"Buat ke depannya kamu mending naik bis sebelum jam pulang sekolah aja."
"Loh, kenapa Pak?" Ammar penasaran tentunya.
"Saya denger tiap jumat dari sekarang, sekolah itu dilarang ada jemputan. Daripada kamu berdiri sepanjang jalan, lebih baik pulang awal." Ujarnya.
Pantas saja. Tapi, Ammar tak yakin untuk meminta pulang lebih awal pada bosnya. Mungkin ia yang akan mengalah untuk menunggu bus selanjutnya. Tak apa, untuk hari jumat saja ia akan pulang lebih malam.