Ammar sudah pindah dari markas Leysin. Memang keuangannya menjadi terganggu dan harus lebih hemat dari sebelumnya. Tapi, setidaknya ia akan tenang tanpa Eros ataupun rasa hutang budi.
Sekarang jam makan siang. Ammar sudah menghabiskan makanan yang bosnya bagikan pada karyawannya. Ia bersyukur karena Ammar tak punya cukup uang untuk membeli makan hari ini.
"Gimana, betah gak Mar di kos barunya?" Tanya Dani.
Remaja kecil itu mengangguk dengan senyum cerah. Walau ia hanya makan sehari sekali, Ammar tak mengeluh.
"Aman, Bang. Malah kadang ibunya kasih makan gratis." Ujarnya terkekeh.
Yang Ammar katakan memang benar. Tapi, itu makanan sisa. Namun itu lebih baik dari pada makan mie instan tiap hari. Ia juga tak bisa makan bubur setengah harga milik Mang Mamat.
"Bagus deh. Gue tadinya khawatir, soalnya lo sendirian disana." Katanya.
Ammar memberikan gestur jempol tanda ia baik-baik saja. Ia sudah terbiasa hidup mandiri sejak kecil. Tak apa, Ammar harus bisa bertahan hingga umurnya legal dan mencari pekerjaan lebih.
Hingga sebuah mobil berwarna hitam mewah berhenti tepat di depan keduanya. Hanya Dani yang merasa takjub. Ammar memandang mobil itu sanksi. Sampai kaca belakang turun dan menampilkan pemuda yang akhir-akhir ini ia jumpai.
"Boleh pinjam dia?" Ujarnya.
Dani mengikuti pandangan pemuda itu dan mengerti jika dia memiliki urusan dengan Ammar. Belum sempat menjawab, suara Ammar menyela.
"Mau ngapain?" Tanya Ammar sewot.
Pemuda itu menatap tajam. Ia tidak suka ditolak. Apalagi oleh anak kecil tengil seperti Ammar ini.
"Makan siang."
"Gak perlu. Saya udah makan." Tolak Ammar tanpa berpikir.
Nial, pemuda yang mengajak Ammar makan siang itu berdecak sebal. Susah sekali membujuk anak itu untuk makan yang bahkan lebih enak dari nasi bungkus.
"Mama saya sudah masak banyak untuk kamu." Ujarnya beralasan.
Ammar beringsut. Bersembunyi di balik punggung Dani dan mengintip dari celah lengannya.
"Bilang ke tante Emi kalau saya masih kerja." Balas Ammar kukuh.
"Kalau begitu, ayo makan di restoran dekat sini."
Ammar memicingkan mata. Bukan hanya hari ini Nial ataupun Emiko datang ke tempatnya bekerja atau ke kosnya untuk mengajak makan. Hey, mereka tidak saling mengenal. Kenapa sikap keluarga itu terasa aneh setelah sekali bertemu dengannya di jalan waktu itu.
"Saya masih kenyang!" Ujar Ammar setengah berteriak kesal.
Merasa semua bujukannya sia-sia, Nial turun dari mobil dan menyeret lengan Ammar. Mendorong pelan tubuh kecil itu dan ikut memasuki mobil.
"Heh! Kan saya bilang gak mau." Kata Ammar memberontak. Ia segera meraih gagang pintu walau akhirnya tak bisa membukanya.
"Temani saya makan. Nanti akan saya beri upah setiap jamnya."
Ammar melongo. Sekaya apa pemuda itu hingga mau menghamburkan uang untuk menemaninya makan.
"Saya belum izin sama bos."
Walau mobil sudah melaju, rupanya Ammar tidak menyerah untuk keluar dari jeratan lelaki itu. Keluarga mereka terlalu aneh dengan sikap yang terlalu baik padanya.
"Kris." Panggil Nial.
Sosok lelaki yang duduk di samping pengemudi menoleh dan menunduk sopan ke arah Nial.
