Bab 2

2.8K 216 19
                                    

Selamat membaca :)

Saya akan usahakan update setiap Senin dan Kamis.
Tinggalkan komentar-komentar menarik, ya biar aku ada hiburan.

Sharon Aulia adalah istri dari Bima Pamungkas. Wanita berusia 38 tahun itu merupakan seorang artis sinetron papan atas yang sekarang beralih profesi menjadi seorang politikus. Setelah menjabat sebagai anggota DPR selama 4 tahun, penampilannya yang glamour dan nyentrik berubah menjadi elegan dan berkelas.

Bagi para penggemarnya, dia adalah sosok ibu peri karena sering menyuarakan tentang isu-isu perempuan dan anak. Sangat ironis dengan perbuatan suaminya yang sudah menelantarkan seorang perempuan dan anaknya.

Kubuka story IG nya. Di tengah-tengah kesibukannya sebagai wakil rakyat, dia tidak pernah absen meng-update kegiatan-kegiatannya bersama suami dan anak-anaknya. Itulah yang membuat netizen semakin takjub dan iri pada keluarga mereka.

Aku menekan layar ponselku dengan cepat, melewatkan beberapa story tentang kegiatan rapatnya di "istana tikus". Jempolku berhenti tap layar saat wajah pria itu muncul di layar ponselku. Ternyata putri mereka yang berusia 10 tahun sedang berulang tahun hari ini.

Terlihat Bima Pamungkas sedang mencium pipi kiri dan kanan putrinya lalu memeluknya. "Selamat ulang tahun anak Papa yang cantik."

Sial! Aku tidak bisa melihat ini. Kusudahi aktifitas stalking-ku lalu menatap nanar ke langit-langit kamar. Mataku mulai mengkristal. Beberapa saat kemudian, air mata jatuh dari kedua sudut mataku.

Bohong jika aku tidak iri pada kedua anaknya, terutama putrinya. Jauh di sudut hatiku yang paling tersembunyi, aku juga ingin merasakan pelukannya, kasih sayangnya, dan perhatiannya. Kenapa dia tidak bisa berlaku sama pada anak yang lahir dari rahim ibuku?

Ibuku sudah meninggal 3 tahun lalu setelah mengidap suatu penyakit di ususnya . Aku tidak tahu pasti apa nama penyakitnya karena hingga akhir hayatnya ibu tidak pernah diperiksa ke rumah sakit. Dia hanya mengandalkan obat gratis dari puskesmas untuk mengurangi rasa sakitnya saat sedang kambuh. Bukan karena ibu tidak mau ke rumah sakit, tapi kami tidak punya uang. Jangankan untuk berobat ke rumah sakit, untuk makan sehari-hari pun susah.

Aku hanya tinggal berdua saja bersama ibuku di sebuah kontrakan yang jauh dari kata layak. Makian dan hinaan adalah makanan kami sehari-hari.

Julukan "perek" seringkali orang-orang tujukan pada ibuku hanya karena ibu melahirkan anak tanpa suami. Bukan aku membenarkan perbuatan ibu, tapi apa hak mereka berkata seperti itu? Apakah mereka merasa lebih suci dari ibu? Belum tentu.

Ibuku merawatku dengan sangat baik. Dia memberikan aku pendidikan yang layak walaupun dia harus kerja banting tulang sana-sini. Mereka belum tentu bisa seperti ibuku. Jadi, apapun kata orang tentang ibu, aku tetap bangga padanya.

Di sekolah, aku tidak pernah punya teman dekat. Statusku sebagai anak tanpa ayah membuat mereka menjauhiku seperti virus. Aku sudah terbiasa dengan orang-orang yang berbisik di belakangku atau menatapku dari atas ke bawah dengan tatapan sinis seolah mengatakan, "anak perek kok sekolah?"

Jadi korban pelecehan verbal pun sudah sering kualami. Label sebagai anak perek dan anak haram yang melekat pada diriku membuat para lelaki binatang itu memandangku rendah. Hanya karena aku tidak punya ayah, mereka merasa bebas untuk menyentuhku.

"Udah pernah cipokan belum? Sini abang ajarin," kata seorang anak tetangga yang baru saja dilantik sebagai abdi negara.

"Daripada emut pulpen, mending emut punyaku. Besar loh," ucap teman sekelasku yang katanya keponakan kepala sekolah.

I'm Your BloodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang