Setelah aku menolak mentah-mentah tawarannya untuk resign dari hotel dan bekerja untuknya, semburat kecewa terpancar jelas di wajahnya. Setelah pembicaraan selesai, dia pun mengantarku pulang ke kos.
Hujan sudah berhenti. Di jalan ada beberapa pohon yang tumbang karena kencangnya angin. Setelah memasuki persimpangan menuju kosku, firasatku mulai tidak enak. Melihat jalan yang dipenuhi lumpur dan penduduk yang terlihat sibuk menyikat teras rumahnya, aku menduga sudah terjadi banjir di jalan ini tadi.
Kami pun sampai di depan gang. Air setinggi mata kaki orang dewasa terlihat menggenang di sepanjang gang.
"Sepertinya daerah ini kebanjiran," cetusnya.
Aku hanya menghela nafas membayangkan kamar kosku yang sudah luluh lantak akibat banjir. Kasurku pastinya sudah tidak terselamatkan dari amukan lumpur.
"Ayo turun," ujarnya. Kami menggulung celana sampai betis sebelum keluar dari mobil. "Hati-hati," ucapnya. Dia memegang pergelangan tanganku dan berjalan di depan selama melewati genangan air itu.
Setibanya di depan kos, kami mendapati semua penghuni kamar sedang sibuk menguras air dari kamar masing-masing. Kami pun saling berpandangan.
"Kamu yakin mau tinggal disini malam ini?" tanyanya bernada prihatin.
Aku mengangguk, lalu membuka pagar. Dia mengikutiku sampai ke depan kamar. Saat pintu terbuka, situasi di dalam kamarku tepat seperti bayanganku. Air sudah surut, tapi lumpur menumpuk dimana-mana. Seprai kasurku yang berwarna biru muda sudah berubah menjadi coklat. Melihatnya saja sudah membuatku pusing dan bingung harus mulai dari mana untuk membersihkannya.
Tiba-tiba dia menepuk pundakku. Saat aku melihatnya, di tangannya sudah ada sekop, sapu lidi, dan sapu karet.
"Kamarnya tidak akan berubah bersih kalau hanya dilihat-lihat. Let's go!" serunya antusias.
Semangatnya menular padaku. Kuanggukan kepala dan kulepas jaketku. Kuambil sapu karet darinya. Dia masuk lebih dulu ke kamarku dan mengeluarkan kasur busa yang sudah basah kuyup dan sangat berat.
"Ini sudah tidak layak pakai. Dibuang saja," ujarnya. Tanpa persetujuanku, dia menariknya keluar pagar dan memasukkannya ke bak sampah.
Kusapu lumpur yang menempel di seluruh lantai. Beberapa saat kemudian dia datang dengan membawa seember air bersih. Dia menyiramkannya ke lantai.
Kuakui dia sangat cekatan dalam bekerja. Dia juga tidak terkesan jijik atau canggung saat memegang sapu dan mengepel kamarku. Padahal dia termasuk orang yang sudah kaya dari lahir.
Setelah bekerja sama selama lebih dari satu jam, akhirnya kamar kos-ku pun kembali bersih dan wangi. Namun masalahnya, aku tidak punya tempat untuk tidur malam ini.
"Ini sudah jam 2 pagi. Kamu harus istirahat. Bagaimana kalau malam ini kamu menginap di apartemen saya," anjurnya. Untuk kesekian kalinya, aku terlihat begitu menyedihkan di depannya.
"Saya akan tidur di sofa," cetusnya saat aku masih mempertimbangkan tawarannya.
Akhirnya aku setuju. Aku tidak bisa menolak karena aku tidak punya tempat tujuan lain.
Kami pun kembali ke apartemennya.
"Kamu boleh pakai baju saya di lemari kalau kamu mau ganti baju. Handuk bersih ada di lemari paling bawah," ujarnya.
Aku mengangguk. "Selamat malam, Pak Bima," ucapku sebelum meninggalkannya di ruang tamu.
"Selamat malam, Mentari," jawabnya.
#
Aku terbangun dari tidurku yang sangat nyaman. Cahaya mendung sudah mulai mengintip dari balik tirai jendela. Kulihat jam di ponselku. Ternyata sudah jam 6 pagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Your Blood
Romance"Bagaimanapun, darahnya mengalir dalam tubuhku. Tidak sepantasnnya aku memiliki perasaan ini untuknya." Mentari berniat membalaskan dendamnya pada Bima Pamungkas, ayah biologisnya, atas perbuatannya yang telah meninggalkan ibunya saat sedang hamil d...