Tekan ☆ sebelum scroll ke bawah!!
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
Aku berbalik perlahan dan sosok pemilik suara berat itu sudah beranjak dari kursi, berjalan perlahan mendekatiku. Dia melangkah tertatih sambil memegang perutnya dengan tangan kanannya. Sumpah demi Tuhan, aku ingin berlari ke pelukannya, tapi kakiku tertahan karena mengingat doaku di depan ruang ICU saat dia sekarat. Aku sudah berjanji untuk menjauhinya kalau dia sembuh.
Tapi kenapa dia bisa menemukanku? Kapan dia pulang? Kenapa Sharon tidak meng-update apa pun di media sosialnya terkait kepulangan mereka?
"Dari mana kamu?" Dia mengulang pertanyaannya saat sudah berdiri sejengkal di depanku.
"Aku..."
Otakku blank. Aku masih bingung dengan keberadaannya yang tiba-tiba di sini. Padahal aku sengaja mengambil tempat kos di luar kota Jakarta agar dia tidak bisa menemukanku, tapi kok..
Astaga! Bodoh sekali kamu Mentari. Bisa-bisanya aku lupa kalau dia pernah menghubungkan fitur maps ponselku dengan ponselnya. Pantas saja dia bisa melacak posisiku dengan mudah.
Kedua lengan atasku dipegang olehnya dengan lembut. "Bisa tolong jelaskan ada apa?" Dia bertanya dengan tegas, tapi masih tetap tenang dan lembut. Dia tidak menyakitiku sedikitpun.
"Gak ada apa-apa." Aku menepis kedua tangannya dari lenganku lalu berlari menaiki tangga, meninggalkannya.
"Mentari! Sayang!" Dia memanggilku berkali-kali.
Aku menoleh ke bawah dan melihatnya sedang berusaha menaiki tangga dengan susah payah. Tangan kirinya memegang railing tangga dan tangan kanannya terus memegang perutnya. Kenapa dia harus memaksakan diri? Aku yakin dia tidak akan sanggup menaiki tangga dengan keadaan fisik seperti itu.
"Tolong berhenti," ucapku memohon. Aku tidak tega melihatnya kesakitan.
Dia berhenti. Melihatku dari bawah sambil mengulurkan tangan kanannya. "Ayo pulang," katanya.
Aku menggeleng. "Nggak bisa."
"Kenapa?"
"Kita sebaiknya nggak usah sama-sama lagi."
Dia menurunkan tangannya sambil menatapku sendu. Kemudian dia melangkah lagi menaiki satu demi satu anak tangga, sementara aku tetap berdiri di tempat seolah menunggunya. Beberapa kali dia berhenti untuk menarik napas. Wajah dan telinganya yang memerah menunjukkan betapa besar usahanya untuk menaiki anak-anak tangga itu. Sejujurnya hatiku terenyuh. Aku benar-benar tidak tega melihatnya seperti itu. Mati-matian aku menahan diri agar tidak melangkahkan kakiku ke bawah. Aku memang lemah dengan apa pun menyangkut dirinya.
Dia berhenti pada dua anak tangga di bawahku. Posisi wajah kami hampir sejajar. Dari jarak yang sangat dekat ini, aku bisa melihat bibirnya yang pucat dan bulir-bulir keringat di lehernya.
"Saya butuh penjelasan," ucapnya sambil meraih tangan kiriku dan menggenggamnya erat.
"Nggak ada yang perlu dijelaskan. Aku cuma berubah pikiran. Aku mau balik ke Medan dan cari kerja di sana."
Aku segera menarik tanganku dan berbalik. Namun, setelah beberapa langkah aku berlari, aku mendengar suara rintih kesakitan darinya. Seketika itu juga aku kalah. Tanpa pikir panjang, aku segera berhenti berlari dan kembali turun menghampirinya. Dia sedang duduk di tangga sambil memegangi perutnya.
Aku membungkuk di depannya, lalu memegang tangannya yang berada di perutnya. "Ada apa? Mana yang sakit?" tanyaku panik.
Dia mengangkat wajahnya, tersenyum letih melihatku, lalu menggeleng pelan. Kemudian dia menumpukan kepalanya di bahuku.

KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Your Blood
Romance"Bagaimanapun, darahnya mengalir dalam tubuhku. Tidak sepantasnnya aku memiliki perasaan ini untuknya." Mentari berniat membalaskan dendamnya pada Bima Pamungkas, ayah biologisnya, atas perbuatannya yang telah meninggalkan ibunya saat sedang hamil d...