Selamat datang kembali :)
Tidak bosan-bosan saya mengingatkan agar kalian tidak lupa memberikan vote dan komentar sebanyak-banyaknya, ya.
Terima kasih.
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
Saya baru saja tiba di ruang kerja. Segelas kopi panas sudah tersedia di atas meja. Saya menyeruputnya, lalu duduk. Setumpuk surat dan berkas di atas meja siap untuk ditandatangani dan didisposisi. Di tengah kesibukan membaca satu per satu surat masuk, pintu ruangan saya tiba-tiba diketuk oleh salah satu pegawai ruangan. Dia masuk untuk menyampaikan pesan dari staf rektorat.
"Bapak diminta datang ke ruang rektor siang ini," ucapnya.
"Terkait apa? Apakah ada laporan yang harus disiapkan?" Seingat saya tidak ada hal urgen yang berurusan dengan rektorat dalam waktu dekat ini.
"Tidak ada, Pak. Pesan dari sana hanya meminta Anda datang langsung menemui Pak Rektor."
Setelah menerima pesan itu, saya segera mengirim pesan pada Mentari, memberitahukan kalau saya tidak bisa makan siang bersamanya hari ini. Dia sudah masuk kuliah lagi setelah absen satu hari untuk pemulihan kakinya. Saya sendiri yang menjemputnya tadi pagi dari apartemen.
Saya tiba di gedung rektorat pada jam makan siang. Pak Rektor masih ada rapat di ruangan lain, jadi stafnya menyuruh saya menunggu di ruangannya. Saya pun masuk ke ruangan itu dan duduk di sofa. Selagi menunggu, saya melacak keberadaan Mentari melalui aplikasi maps yang terhubung ke ponselnya. Dia sedang berada di Gedung C Fakultas Ekonomi. Setelah mengetahui keberadaannya, saya membuka pesan darinya yang ia kirim sekitar 5 menit lalu. Dia mengatakan kalau kelas untuk mata kuliah siang ini pindah ke Gedung C karena AC di ruangan mereka sedang diperbaiki. Saya pun membalas pesannya dengan mengatakan kalau saya sudah berada di ruang rektor dan mengingatkannya agar tidak lupa makan siang. Dengan saling berkabar seperti ini, saya merasa lebih tenang meskipun tidak berada di dekatnya.
"Sudah lama menunggu, Pak Bima?"
Suara Pak Sanusi yang tiba-tiba itu membuat saya sedikit tercekat. Segera saya letakkan ponsel di atas meja lalu berdiri untuk menyalam beliau. Pria berusia 58 tahun dengan ciri khasnya yang selalu memakai kopiah putih dan kemeja koko itu mengulurkan tangan untuk membalas jabat tangan saya, kemudian mempersilakan saya duduk.
Saya duduk di tengah-tengah sofa panjang, sementara beliau duduk di sofa single. Beberapa saat setelah kami duduk, seorang pegawai datang membawa 2 gelas kopi panas.
"Jadi begini, Pak Bima," ucap beliau setelah menyeruput kopinya dan mengembalikannya ke atas meja. "Tadi pagi istri Anda datang ke sini menemui saya."
Tangan saya mengepal di lutut. Saya sudah bisa menebak arah pembicaraan ini. Sharon pasti berulah lagi.
"Sepertinya Anda sudah tahu arah pembicaraan saya," lanjutnya.
Saya menunduk dan menghela napas sebentar. "Saya paham, Pak."
"Jadi benar Anda memiliki hubungan gelap dengan salah satu mahasiswi Anda?"
Saya mengangguk pelan. "Benar, Pak."
Beliau geleng-geleng kepala dan menghela napas kasar. Dia memajukan posisi duduknya dan mencondongkan tubuhnya ke arah saya. "Anda pasti tahu kalau ini adalah masalah serius. Bisa berdampak buruk terhadap karir Anda," ucapnya.
Tidak ada bantahan. Apa yang dikatakannya itu benar. Sejak awal saya sudah siap menanggung resikonya. Ini adalah harga yang harus saya bayar demi mempertahankan orang yang saya cintai.

KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Your Blood
Romance"Bagaimanapun, darahnya mengalir dalam tubuhku. Tidak sepantasnnya aku memiliki perasaan ini untuknya." Mentari berniat membalaskan dendamnya pada Bima Pamungkas, ayah biologisnya, atas perbuatannya yang telah meninggalkan ibunya saat sedang hamil d...