Bab 11

2.7K 251 24
                                    

MENTARI

Mataku terbuka perlahan. Kuamati sekitarku yang terasa asing tapi nyaman. Setelah beberapa saat, aku pun mengingat kalau aku masih berada di kamar orang itu.

Aku berbaring di atas ranjang dengan selimut yang menutupi tubuhku sampai pundak. Kukeluarkan kedua tanganku dari dalam selimut. Aku tersenyum tipis melihat kedua tanganku yang tenggelam di dalam lengan kemeja putihnya yang kebesaran untukku. Kuhirup dalam-dalam aroma miliknya yang menempel pada kemeja itu.

Aku kembali teringat dengan kekonyolanku yang menangis di pelukannya tadi. Seumur-umur aku belum pernah menangis selepas itu di depan siapapun, termasuk ibuku. Aku selalu berhasil menahan air mataku dan akan menumpahkannya saat sedang sendirian. Namun entah kenapa tadi itu rasanya sangat menyesakkan dan saat dia memelukku, aku tidak bisa menahannya lagi.

Aku memutar badan ke sisi kiri. Selembar kertas yang berada di atas meja nakas menarik perhatianku. Aku segera mengambilnya dan membacanya.

Ternyata dia menyuruhku tidur disini sampai besok pagi. Kulihat jam sudah menunjukkan pukul 2 pagi. Mungkin memang sebaiknya aku menginap disini untuk malam ini.

Wait! Bukannya tadi aku tiduran di sofa? Kenapa sekarang ada ranjang? Apa dia yang menggendongku aku kesini?

Aku bergidik ngeri membayangkannya.

Kusibak selimut yang menutupiku dan aku beranjak dari ranjang menuju kamar mandi. Aku berdiri di depan wastafel dan membasuh wajahku dengan air keran. Kupandangi wajahku yang basah di depan cermin.

Kenapa wajahnya belum juga hilang dari kepalaku? Perasaan macam apa ini?

Aku keluar dari kamar mandi. Kulihat seragam kerjaku dilipat dengan rapi dan diletakkan di atas sofa. Aku duduk disana. Dadaku kembali sesak mengingat peristiwa beberapa jam lalu yang membuat baju ini basah.

Sekitar pukul 7 malam tadi, aku mendapat tugas mengantarkan bath towel ke sebuah kamar berstatus occupied, yaitu kamar yang telah ditempati oleh tamu. Aku pun bergegas membawa handuk ke kamar yang terletak di lantai 9.

Tidak ada firasat apapun yang kurasakan saat aku menekan bel kamar itu. Namun setelah pintu dibuka dan aroma alkohol yang sangat pekat menyeruak dari dalam kamar itu, perasaanku mulai tidak enak. Meski begitu, aku tetap berusaha bersikap tenang.

"Selamat malam, Pak. Apakah Anda meminta tambahan bath towel?" tanyaku dengan ramah pada pria beruban yang memegang botol alkohol itu.

"Ya. Silakan masuk, Nona."

Perasaanku semakin tidak tenang saat melihat matanya yang jelalatan dan nada bicaranya yang menjijikkan. Aku masuk ke dalam kamar dan masuk ke kamar mandi untuk meletakkan handuk. Disanalah terjadi hal yang kutakutkan itu.

Saat aku tengah menggantungkan handuk pada tempatnya, pria tua berperut buncit itu berdiri di depan pintu kamar mandi. Dia menopang tangannya di kedua sisi pintu untuk menghalangi jalanku.

"Permisi, Pak." Aku masih memintanya dengan sopan agar menyingkir dari pintu.

"Temani Om sebentar, ya, Cantik. Kalau adik bisa bikin Om puas, nanti Om belikan Iphone terbaru," ucapnya.

"Maaf, Pak. Saya tidak melakukan hal semacam itu."

Bukan sekali dua kali aku menghadapi tamu resek seperti ini. Itu sudah menjadi resiko pekerjaan kami sebagai housekeeping hotel. Biasanya mereka hanya sekedar menggoda saja. Kalau kita menolak dengan tegas, mereka tidak akan bertindak lebih.

Namun, nasib sial tak dapat ditolak. "Alah, bacot!" Dia tiba-tiba menarik tanganku.

Aku menjerit minta tolong saat dia berusaha menarikku ke ranjang, walaupun aku tahu usahaku itu sia-sia. Tidak akan ada yang mendengar teriakanku dari ruang kedap suara ini.

I'm Your BloodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang