Capai target vote 300 dan komen 200 untuk buka bab selanjutnya.
MENTARI
Pagi yang sangat indah, ditemani sereal campur susu, duduk santai di sofa sambil menonton TV. Berita infotainment dari artis senior bernama Sharon menghiasi layar datar berukuran 50 inci di hadapanku. Wanita yang sedang memakai gaun putih gading berkilau itu, berjalan dengan kepala tertunduk didampingi asisten pribadinya. Dia berusaha melewati belasan wartawan yang menghadangnya, menyorotnya dengan kamera menyala dan berebut menyodorkan mic ke depan mulutnya.
"Suaminya dimana, Bu Sharon?"
"Kenapa suami Anda meninggalkan pesta dipertengahan acara?"
"Apa harapan Anda di ulang tahun pernikahan yang 14 tahun ini?"
"Apakah Anda optimis akan terpilih menjadi anggota DPR untuk kedua kalinya?"
"Apa hadiah ulang tahun pernikahan dari suami Anda, Bu Sharon?"
"Maaf, ya. Saya buru-buru. Ada urusan mendadak."
Sharon memasuki mobil Mercedes-Benz warna hitam tanpa menjawab satu pun pertanyaan wartawan. Setelah dia pergi, gerombolan wartawan itu menyorakinya dan bubar.
Aku tersenyum puas. Rencanaku berhasil lagi. Selagi masih ada aku disini, tidak akan kubiarkan mereka hidup tenang dan damai mengarungi rumah mereka yang berkelimpahan dan tampak sempurna itu. Walaupun pria itu mengatakan kalau dia tidak pernah mencintai Sharon, aku tidak bisa percaya begitu saja. Bisa saja itu hanya akal-akalannya saja untuk menarik simpatiku.
Aku berjalan ke dapur untuk mencuci mangkok dan gelas yang sudah kosong. Saat aku sedang mencuci di wastafel, ponselku berbunyi. Pria yang menemani tidurku tadi malam menelepon. Mengingat peristiwa tadi malam, aku sedikit gugup untuk menjawab panggilannya. Aku berdehem keras sebelum mengangkatnya.
"Halo," sapaku.
"Selamat pagi, Sayang. Kamu sudah bangun?"
Kugigit kuku jempolku. Hatiku menjerit girang mendengar panggilan sayang darinya. Bodohnya aku.
"Udah. Lagi siap-siap mau masak."
"Kamu nggak usah masakin saya sarapan untuk hari ini, ya. Saya tidak ke kampus hari ini."
"Kenapa?" tanyaku kecewa. Itu artinya kami tidak akan bertemu pagi ini.
"Sharon sakit. Saya harus stay di rumah untuk menjaganya."
Kekecewaanku bertambah berpuluh kali lipat. Aku tidak suka dia perhatian pada Sharon. Aku tidak rela membayangkan Sharon bermanja-manja padanya. Aku benci saat dia mengkhawatirkan kondisi Sharon. Memang, Sharon istrinya. Tapi dia juga milikku sekarang.
"Bukannya di rumah kamu banyak asisten rumah tangga?" Aku berusaha menahan intonasi bicaraku agar terdengar biasa-biasa saja.
"Iya, betul. Tapi tetap saja tanggung jawab saya untuk merawatnya saat sedang sakit. Saya harap kamu mengerti, ya."
Aku berdecak keras. Tidak bisa lagi kutahan kekesalan di hatiku. "Yaudalah. Aku mau mandi dulu."
Kuputus sambungan telepon dengannya, lalu bersiap-siap ke kampus.
Saat aku sampai di kelas, dosen pengampu untuk pagi ini belum hadir. Seperti biasa, aku mengambil tempat yang jauh dari kerumunan. Kursi barisan tengah paling pojok menjadi pilihanku. Aku memakai headset di kedua telinga, lalu meletakkan kepala di meja dengan menggunakan kedua tangan sebagai alas. Kupejamkan mata menikmati lantunan lagu dari album Sour milik Olivia Rodrigo.

KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Your Blood
Romance"Bagaimanapun, darahnya mengalir dalam tubuhku. Tidak sepantasnnya aku memiliki perasaan ini untuknya." Mentari berniat membalaskan dendamnya pada Bima Pamungkas, ayah biologisnya, atas perbuatannya yang telah meninggalkan ibunya saat sedang hamil d...