BIMA
Selama bertahun-tehun menjadi dosen, saya selalu memberi batasan yang jelas antara dosen dan mahasiswa. Tidak boleh ada percakapan di luar akademik, apalagi pertemuan di luar kampus. Saya juga tidak pernah mau menerima pemberian dari mahasiswa, tidak peduli sekecil apapun itu. Prinsip itu selalu saya pegang teguh sampai saat ini.
Tidak pernah terbersit di benak saya untuk membuat pengecualian pada satu orang mahasiswa saya.
Namanya Mentari Virginita, seorang mahasiswi baru di Fakultas Ekonomi jurusan Akuntansi. Awalnya saya mengira dia masih berusia 17 atau 18 tahun seperti teman seangkatannya yang lain. Tapi setelah melihat tahun kelahirannya di database mahasiswa, saya pun jadi tahu kalau dia sudah berusia 20 tahun.
Tubuh yang mungil dan wajah yang kecil membuatnya tidak terlihat lebih muda dari usianya.
Secara kasatmata, tidak ada yang istimewa dari gadis itu. Dia memang cantik, tapi banyak yang lebih cantik dari dia. Soal kecerdasan, dia juga tidak terlalu mencolok di kelas saya. Soal perilaku, dia jauh dari kata baik. Dia juga terlihat penyendiri. Setiap kali saya berpapasan dengannya, dia selalu berjalan sendirian.
Tidak heran. Dengan sifatnya yang ketus dan dingin itu, pasti orang lain enggan berteman dengannya.
Di mata saya, dia hanyalah salah satu dari banyak mahasiswi yang berusaha cari perhatian pada saya.
Jika mahasiswi lain berusaha mencari perhatian saya dengan bertingkah genit, maka dia menggunakan cara lain, yaitu dengan bersikap kurang ajar dan seolah sengaja memancing kemarahan saya. Namun sayangnya, saya tidak terpengaruh sedikitpun.
Itu adalah penilaian saya padanya sebelum saya mengenalnya lebih dekat. Kecelakaan kecil yang melibatkan saya dan dia di suatu pagi adalah awal dari semuanya.
Sejak kecelakaan itu, pertemuan kami menjadi semakin intens karena saya harus mempertanggungjawabkan kelalaian saya yang sudah membuat kakinya cedera.
Setelah saya mengetahui latar belakang gadis itu, saya jadi mengerti kenapa dia memiliki sifat yang dingin, mudah tersinggung, dan ketus saat berbicara.
Hidup serba kekurangan dan sebatang kara tentu bukanlah sesuatu yang mudah bagi gadis belia seperti dirinya. Dia pasti sangat berjuang menghadapi kerasnya dunia ini dan jahatnya manusia-manusia di sekitarnya. Cara hidup yang keras itulah yang pada akhirnya membentuk dirinya menjadi pribadi yang "tidak tersentuh".
Saya tidak lagi marah atau kesal jika dia bersikap tidak sopan pada saya selaku dosennya. Saya tidak lagi memandangnya sebagai gadis pembangkang dan suka cari perhatian. Di mata saya, dia hanyalah seorang gadis ringkih yang butuh kasih sayang dan perlindungan.
Setelah beberapa hari intens bertemu dengannya, entah kenapa, seperti ada yang kurang jika tidak bersamanya. Entah sihir apa yang dimiliki gadis muda itu sehingga saya bisa dengan mudahnya mematahkan prinsip hidup yang saya pegang teguh selama ini hanya demi dia.
Saya pun tidak mengerti bagaimana menjelaskannya.
Beberapa hari belakangan ini, saya sering terbangun tengah malam dan memikirkan bagaimana kondisinya. Apakah dia baik-baik saja atau tidak, bagaimana kalau dia kesusahan berjalan ke kamar mandi dan pingsan lagi seperti beberapa hari lalu, bagaimana kalau ada orang jahat yang masuk ke kamarnya, dan berbagai pikiran negatif lainnya.
Semakin saya memikirkannya, semakin banyak kekhawatiran saya.
Langkah saya selalu berat setiap kali mengantarkannya pulang ke tempat kosnya yang sempit dan kumuh itu. Membayangkan dia tidur di kasur yang dingin itu membuat hati saya pedih.
Andai saja dia mau, saya tidak akan keberatan jika dia bersedia pindah ke apartemen saya. Sayangnya, dia tidak mungkin mau. Gadis keras kepala dengan gengsi tingkat tinggi seperti dia tidak akan suka dikasihani, apalagi menerima pemberian cuma-cuma dari orang lain.

KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Your Blood
Storie d'amore"Bagaimanapun, darahnya mengalir dalam tubuhku. Tidak sepantasnnya aku memiliki perasaan ini untuknya." Mentari berniat membalaskan dendamnya pada Bima Pamungkas, ayah biologisnya, atas perbuatannya yang telah meninggalkan ibunya saat sedang hamil d...