Bab 9b

2.8K 260 26
                                    

Selamat membaca :)

Tidak terasa sepuluh hari sudah berlalu. Gips di kakiku baru saja dilepas oleh dokter dan aku sudah tidak berjalan dengan kruk lagi. Namun dokter belum menyarankanku untuk beraktivitas berat dan harus berjalan pelan-pelan sampai nyeri di pergelangan kaki benar-benar hilang.

"Pak, mulai besok Anda tidak perlu mengantar-jemput saya lagi. Saya sudah bisa berjalan sendiri," ucapku setelah kami berada di dalam mobil di parkiran rumah sakit.

Dia menoleh padaku dengan tatapan serius. "Anda tidak dengar kata dokter tadi? Kaki Anda belum pulih sepenuhnya. Kesepakatan kita sampai Anda bisa menaiki sepeda lagi," tegasnya.

Aku mencebik kesal, tapi tidak bisa membantah kata-katanya. Kupalingkan wajahku keluar jendela dengan tangan bersedekap.

Mobil pun melaju meningggalkan rumah sakit.

"Loh, Pak. Kita mau kemana?" tanyaku heran saat mobilnya belok ke arah yang berbeda dengan jalan ke kosanku.

"Sebelum pulang, kita makan siang dulu."

Aku menatapnya heran. Tidak biasanya dia mengajakku mampir kemana-mana saat akan mengantarku pulang.

Melihat ekspresiku yang tidak biasa, dia pun terkekeh. "Jangan berpikir macam-macam. Kebetulan tadi pagi saya tidak sempat sarapan, jadi saya sudah sangat lapar sekarang."

"Kalau begitu Bapak bisa turunkan saya dan pergi makan sendirian," balasku ketus. Aku tidak suka dia berbuat seenaknya tanpa seizinku.

"Mana bisa begitu. Saya yang membawa Anda pergi, maka harus saya juga yang mengantar Anda pulang," ucapnya dengan santai.

Kembali kupalingkan wajahku ke samping. "Sok asik banget, anjir!" umpatku pelan.

"Anda bicara sesuatu?"

"Nggak!"

Syukurlah dia tidak mendengarnya.

"Saya akan bawa Anda ke tempat makan favorit saya. Saya jamin Anda pasti suka," ujarnya.

Aku tidak meresponnya. Emangnya aku peduli?

"Tempatnya memang sederhana dan harganya tergolong murah. Tapi rasanya..." Dia menggantung kalimatnya. "Makanan di restoran bintang lima saja kalah," lanjutnya.

Semakin hari dia memang semakin banyak bicara. Sangat jauh berbeda dari pertama kali aku bertemu dengannya. Image-nya yang dingin dan tegas sudah runtuh sejak beberapa hari lalu.

"Saya pernah mengajak anak-anak saya kesana sekali. Tapi sayangnya mereka tidak terlalu suka karena tempatnya kurang nyaman untuk mereka."

Aku berdecak keras sambil mengucek telinga secara terang-terangan untuk menunjukkan ketidaknyamananku. Sumpah demi apapun aku tidak peduli dengan anak-anaknya dan segala prestasi mereka yang seringkali dia banggakan saat kami berada di dalam mobil.

Untungnya dia cukup peka. Dia tidak bicara lagi setelah itu dan membiarkanku menikmati ketenangan sambil menatap kosong ke luar jendela.

Setelah cukup lama menghabiskan waktu dalam perjalanan, akhirnya mobilnya berhenti di sebuah rumah makan yang terletak di belakang rel kereta api. Aku agak tercengang karena tidak menyangka dia menyukai tempat makan yang sederhana seperti ini. Pantas saja anak-anaknya yang manja itu tidak suka makan disini.

Rumah makan yang menjual aneka olahan daging babi itu terbuat dari susunan bambu dengan atap seng, atau lebih tepat disebut kedai. Tempatnya pun tidak luas. Hanya mampu menampung 4 pasang kursi dan meja di dalam. Kalau dilihat dari luar, sepertinya kurang meyakinkan.

I'm Your BloodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang