Bab 30a

1.6K 143 20
                                    

Tekan ☆ sebelum scroll ke bawah!!

>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>

“Ada apa, Kak? Kenapa kita ke rumah sakit? Siapa yang sakit? Dia baik-baik aja, kan?”

Aku segera menodong Joana dengan pertanyaan beruntun setelah masuk ke dalam mobilnya.

"Pak Bima kecelakaan!"

Bak disambar petir di siang bolong saat aku melihat foto yang ditunjukkan oleh Joana di ponselnya. Tanganku gemetar menggenggam benda pipih yang menunjukkan gambar sebuah mobil sedan hitam yang hancur sampai bagian depannya hampir tak berbentuk. Aku sangat mengenali mobil itu juga pemiliknya.

"Gimana keadaannya, Kak?" Suaraku tercekat menahan tangis.

"Info dari polisi yang ngehubungin tadi, katanya Pak Bima udah dibawa ke ruang ICU. Masih belum sadar. Kalau Felix sama Feli aman, cuman luka ringan."

Seketika duniaku runtuh dan hancur berkeping-keping. Aku tidak mampu lagi membendung air mata yang menggenang di pelupuk mataku. Kalau sudah tidar sadar dan dibawa ke ruang ICU artinya kondisinya parah.

Berbagai skenario berseliweran di kepalaku. Skenario terburuknya adalah jika dia sampai meninggal. Aku tidak tahu lagi bagaimana harus bertahan di dunia ini kalau dia sampai pergi dengan cara seperti ini. Sudah cukup sekali saja aku merasakan kehilangan orang yang paling aku cintai.

Kenapa harus aku lagi? Padahal aku baru saja merasakan kebahagiaan. Hanya dia satu-satunya yang kupunya di dunia ini. Selain ibu, hanya dia yang mencintaiku dengan tulus. Kalau dia pergi juga, aku dengan siapa?

“Berdoa ya, Tar.” Joana menepuk pundakku.

Aku mengangguk meski masih menangis.

Kapan terakhir kali aku berdoa? Sudah sangat lama sampai aku tidak bisa mengingatnya. Bahkan aku tidak berdoa di hari pemakaman ibuku.

Saat pemakaman ibu, aku hanya memaki Tuhan yang sudah merampas ibu dariku. Dulu, ibu yang selalu mengajari dan mengingatkanku berdoa. Setelah ibu pergi, aku tidak pernah lagi berdoa. Aku kecewa pada pribadi yang ibu sebut Maha Pengasih dan Maha Penyembuh itu.

Kalau Dia Maha Pengasih, kenapa Dia tega membiarkan kami kelaparan dan hidup menderita dalam kemiskinan? Kalau Dia Maha Penyembuh, kenapa Dia tidak menyembuhkan ibuku dari penyakitnya? Padahal ibu selalu berdoa dan membaca kitab suci setiap hari. Aku juga selalu berdoa untuk kesembuhan ibu setiap hari. Tapi bukannya menyembuhkan ibuku, Dia malah mengambilnya. Aku benar-benar kecewa.

Ponsel Jo berdering saat kami berhenti di lampu merah.

"Dari rumah sakit," gumamnya sebelum mengangkat panggilan itu.

"Halo?"

"Iya, Sus. Sebentar lagi sampai. Sekitar..." Jo melihat jam tangannya. "20 menit lagi," lanjutnya.

"Operasi?!" Suara Jo memekik tajam.

Badanku lemas seketika saat mendengar kata "operasi". Aku dan Jo saling bertatapan. Gestur tubuh Jo yang gelisah dan tegang memberikan pertanda buruk.

Jo menghela napas sambil menekan pelipisnya. "Baik, Sus. Akan saya usahakan," ucapnya lesu.

Setelah sambungan telepon dengan pihak rumah sakit terputus, aku langsung bertanya pada Jo. "Siapa yang dioperasi, Kak?"

Jo tidak menjawab pertanyaanku. Dia menghubungi seseorang dengan tergesa. Sembari menunggu panggilannya terhubung, dia pun berbicara padaku.

"Ada pendarahan di lambung Pak Bima, jadi harus dioperasi segera dan Pak Bima butuh donor darah. Gue lagi nyari orang yang bisa —"

I'm Your BloodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang